Meluruskan Definisi Islam sebagai Agama

791 kali dibaca

Beberapa kali saya membaca tulisan yang berseliweran di dinding atau beranda Facebook, terlihat para pengkaji, pemangku, pemerhati wacana agama masih sering menggunakan istilah Islam sebagai agama formal. Islam masih dipandang sebagai identitas seseorang, identitas keberagamaan seseorang.

Pertanyaan yang muncul sering berbunyi; agamanya apa? Coba kita periksa kembali hadis Nabi terkait definisi agama. Hadis yang bercerita tentang kedatangan Jibril kemudian berdialog bersama Nabi dengan maksud mengajari agama kepada sahabat-sahabat.

Advertisements

Di akhir dialog, Nabi melemparkan tanya kepada sahabat: “Tahukah kalian siapa tadi yang datang?”

“Tidak, wahai Nabi,” kompak para sahabat menjawab.

“Itu tadi Jibril yang datang kepada kalian mengajarkan agama kepada kalian.”

Apa saja yang diajarkan Jibril? Sudah mafhum bahwa yang diajarkan Jibril ada tiga hal mendasar tentang agama; yaitu Islam, Iman, dan Ihsan. Lalu, apa yang baru?

Definisi Islam yang sering diutarakan para pakar, pemerhati, bahkan pemangku agama Islam adalah definisi ini; agama adalah yang diikrarkan oleh lisan, dibenarkan oleh hati, dan dibuktikan dengan pengamalan organ tubuh. Kecenderungan mengakui Islam sebagai agama formal barangkali didasari atas definisi ini. Coba kita periksa ulang jawaban Nabi ketika Jibril bertanya perihal Islam.

“Wahai Nabi, katakan padaku, apa itu Islam?” tanya Malaikat Jibril.

“Kamu menyaksikan bahwa tiada tiada Tuhan selain Allah dan kamu menyaksikan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”

Format yang digunakan dalam hadis ini menggunakan fi’il mudhori’, redaksinya berbunyi an tasyhada; artinya menyaksikan. Salah satu faedah dari fi’il mudhori’ adalah temporal, bermakna sekarang dan yang akan datang, lawannya statis. Adapula hadis yang menggunakan redaksi mashdar (kata benda), yang berbunyi syahaadatu; artinya kesaksian.

Hadis pertama dengan redaksi fi’il mudhori’ diriwayatkan oleh Sahabat Umar, sedangkan hadis yang kedua diriwayatkan putranya; Ibnu Umar. Dilihat dari kedekatan jalur periwayatan saja, Sahabat Umar jelas lebih dekat. Selain itu, perbedaan tajam antara makna menyaksikan dan kesaksian menjadi problem tersendiri. Menyaksikan punya implikasi dan implementasi terus menerus, sedangkan kesaksian bersifat sesaat dan kesementaraan sekaligus formalistik.

Melalui redaksi menyaksikan, seseorang dituntut sekaligus ditantang. Seseorang yang sudah mengucapkan syahadat, harus selalu menyaksikan Allah dalam setiap ruang dan waktu. Menyadari kehadiran Allah dalam segala aktivitas kehidupan, baik sebagai makhluk sosial maupun individu. Tantangannya, apakah kesadaran seseorang benar-benar berisi atau tertuju pada Allah, bahwa Allah benar-benar hadir dalam keberlangsungan aktivitas atau masih tertutup oleh banyak hal, baik berupa hal tertinggi ataupun hal remeh-temeh. Uang, jabatan, pujian, kemasyhuran, kemampuan diri, kepintaran, apakah sudah benar-benar tidak menyelebungi kehadiran Allah. Apakah kesadaran kehadiran Allah benar-benar mengatasi semua hal demikian.

Ilustrasinya sederhana; ketika aku melihat Ibnu Umar yang kulihat adalah Umar, ketika aku melihat Umar aku lupa Ibnu Umar. Jika dipraktikan dalam keseharian yang dilihat, ketika aku melihat uang yang terlihat Allah, ketika aku melihat atau mengingat Allah aku lupa uang. Sedemikian mudah ilustrasinya, tapi belum tentu mudah mengamalkannya.

Definisi inilah yang perlu ditawarkan kepada pemeluk agama. Ketika seseorang masih menomorsatukan selain Allah, atau menduakan, maka akan berkurang syahadatnya, bukan keislamannya. Artinya, seseorang tidak menyadari atau berkurang kesadarannya akan terlibatnya Allah dalam segala aktivitasnya karena tidak menyaksikan peran Allah. Sederhananya lalai.

Dalam koridor konsep semacam ini, tensi ketegangan antarpemeluk agama bisa dikurangi untuk menghindari kata dihilangkan. Selain itu, konsep bahwa apa yang kita pahami tentang tuhan hanyalah konsep belaka, spekulasi, bisa diistilahkan dengan tuhan “t” kecil. Ibnu Arabi mengistilahkannya tuhan tasybih, sebagai lawan dari Tuhan Tanzih. Tuhan dengan segala kemisteriusannya adalah Tuhan dengan “T” besar. Filsafat menyebutnya Tuhan Transenden dan Tuhan Immanen.

Kesadaran demikian akan menumbuhkan sikap inklusif. Pada tataran tertentu, semua manusia tidak mampu menggapai Yang Tertinggi, Yang Tanzih, Yang Transenden. Jadi, tak usah sok.

ilustrasi: mural di jl gunung pongkor bogor/mukhlisin.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan