Mbah Wo Kucing: Beda Kok Dimusuhi …

7,468 kali dibaca

“Terus Terang, aku ini dudu Arab, nanging aku duwe piugeman urip. Aku uga ora duwe kitab, kerana kitab iku yo awakku iki” (terus terang saya ini bukan Arab, tetapi saya mempunyai pegangan hidup. Saya juga tidak mempunyai kitab, karena diriku adalah kitab).

Penegasan itu meluncur tanpa beban dari mulut Mbah Wo Kucing ketika mengawali percakapan dengan tiga anak muda dari Pemuda Islam Indonesia (PII) yang bertandang ke rumahnya Januari 2001. Ketiga anak muda itu hanya manggut-manggut sembari menorehkan penanya di blocknote yang keihatannya baru dibeli. Mbah Wo, sebutan akrab sehari-hari, memang selalu tegas dan tak peduli siapa lawan bicaranya dalam mengungkapkan apa yang menjadi keyakinannya. Ia sadar bahwa yang di hadapannya adalah tiga anak muda Islam modernis yang hampir pasti tidak toleran terhadap ajaran Kejawen seperti yang dianut Mbah Wo dengan gigih.

Advertisements

Bagi masyarakat Ponorogo, nama Mbah Wo Kucing (nama sebenarnya adalah Kasni Gunopati) tidak asing. Lelaki kelahiran 30 Juni 1934 ini memang warok yang disegani di kalangan seniman Reyog, bahkan sampai di luar Ponorogo (Jakarta, Jember, Riau, Kalimantan, dan Malaysia), di mana ia tercantum sebagai sesepuh yang selalu dimintai nasihat tentang kemungkinan perkembangan kesenian khas Ponorogo ini. Mbah Wo juga dikenal sebagai sesepuh aliran kepercayaan Purwa Ayu Mardi Utama yang kini berkembang cukup luas terutama di Jawa Timur. Pernyataan di awal tulisan ini lebih menampakkannya sebagai penganut gigih ajaran yang mirip dengan umumya kebatinan Jawa tersebut.

Berbeda dengan kesan umum yang menganggap warok sebagai representasi kebrandalan, adhigung-adhiguna, bagi masyarakat Ponorogo warok itu wongkang linuwih. Seorang warok adalah yang mempunyai kelebihan-kelebihan, khususnya dalam ilmu kanuragan dan derajat spiritualitas tinggi dalam pengertian Kejawen.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan