Malam, Nenek Moyang Pengetahuan

1,363 kali dibaca

NENEK MOYANG ILMU PENGETAHUAN

Kilatan berkas cahaya di langit
melintas rendah sehabis Maghrib
“Seorang malim segera pergi…”

Advertisements

Itu bukan meteor, itu bukan benda langit
hanya cahaya yang melintas dekat
selepas ghurub

Lalu, ada kala seberkas cahaya
melintas tinggi di jumantara malam
membawa curiga dalam hati
“Itu cerawat yang dibawa setan
seseorang akan buncit perutnya
lalu meninggal dengan sengsara”

Itu juga bukan benda langit
sebab, ia tak jatuh melayang ke bumi
membuat kerusakan

Kami belajar pada alam
membaca tanda duaja dan perubahan
pada angin, pada cahaya dan gelap
pada nanar, pada mimpi dan kenyataan

Pengetahuan beranak pinak
dari pengalaman dan khayalan
kami belajar melapangkan ruang penafsiran
belakangan, sarjana-sarjana setelah kami
mencari wahyu-wahyu ilmiah
di laboratorium dan perpustakaan

Pengalaman dan khayalan
puisi dan pepindannya
merupakan leluhur kami
nenek moyang ilmu pengetahuan

25/08/2009

Menjadi seorang penikmat sastra lebih mudah dan lebih enjoy ketimbang menjadi apresiator, apalagi penikmat yang apresiator. Seorang penikmat sastra tidak dituntut untuk memberikan ide, penilaian, ataupun apresiasi terhadap karya sastra yang dimaksud. Berbeda dengan apresiator yang dituntut untuk memberikan penilaian baik-buruknya(?) sebuah karya sastra.

Maka saya di sini mencoba menjadi yang pertama, sebagai penikmat sastra agar tidak dituntut memberikan penilaian, karena saya bukan seorang kritikus atau apresiator sastra. Saya hanya mampu mengungkapkan hal-hal yang berhubungan dengan pengalaman pribadi, terkait dengan sebuah karya sastra.

Bermula dari sebuah kebetulan, seorang teman saya sekitar awal September 2014 bercerita tentang sebuah buku kumpulan puisi. Pengarangnya adalah M Faizi, dengan judul Permaisuri Malamku; Buku Kumpulan Puisi. Saya pun tertarik dengan buku tetsebut, dan Alhamdulillah, saat ini buku yang dimaksud sudah ada di tangan saya.

Pertama kali saya bersinggungan dengan buku ini, ada kesan realitas kehidupan di malam hari. Hubungannya dengan gelap, kelam, purnama, bintang, dan semacamnya. Seperti yang diungkapkan pengarang dalam pengantarnya, meski buku kumpulan puisi ini berbicara “perbintangan”, tetapi bukanlah sebagai buku astronomi, akan tetapi tetap sebagai buku sastra puisi yang harus diperlakukan sebagai lingua puitika.

Salah satu puisi yang saya garis-bawahi, dari beberapa puisi (sebanyak 41 judul puisi) adalah seperti yang saya tulis di atas: Nenek Moyang Ilmu Pengetahuan.

Membaca puisi ini mengingatkan saya pada masa kecil, ketika listrik masih sebuah khayalan. Pada saat itu, biasanya, malam hari saya dan anggota keluarga lainnya, menggelar tikar di halaman. Menikmati taburan bintang-bintang di langit, atau cahaya rembulan jika pas purnama. Kami biasanya menikmati malam sambil memandang lekat ke cakrawala. Menghitung bintang, atau mencakapkan rasi bintang yang nampak di penglihatan. Dalam bahasa saya (Madura Batuputih), ada bintang karteka, bintang kiblat, ada bintang ngaysongayan, bintang nanggala, dan bintang lainnya. Semua ada dalam percakapan yang seakan tidak berkesudahan.

Dalam puisi Nenek Moyang Ilmu Pengetahuan, saya diingatkan pada salah satu garis cahaya, yang dalam pemahaman kampung saya adalah pana(h). Sebentuk cahaya, yang dalam diskripsi puisi M Faizi ini adalah,

“Kilatan berkas cahaya di langit
melintas rendah sehabis Maghrib
“Seorang malim segera pergi…””

Ya, di kampung saya juga ada kepercayaan seperti itu. Bahwa cahaya yang dalam pemahaman orang dulu bukan meteor, namun sebentuk sihir yang dilepaskan oleh para tukang sihir. Cahaya tersebut terlahir dari sebab ritual seseorang untuk mencelakai orang lain tersebab oleh sesuatu yang tak pasti.

Lalu, ada kala seberkas cahaya
melintas tinggi di jumantara malam
membawa curiga dalam hati
“Itu cerawat yang dibawa setan
seseorang akan buncit perutnya
lalu meninggal dengan sengsara”

Cerita teman-teman saya, juga yang dewasa saat saya masih bocah ingusan, cahaya tersebut berasal dari pisau, beling, paku, dan lainnya, ditaruh dalam sebuah mangkuk, kemudian dibacakan mantra atasnya, dan melesatlah sebagai cahaya pana(h). Jika seseorang melihat cahaya tersebut (cerawat), maka ia harus berteriak ‘pana(h) tae‘, dan dipercaya sihir tersebut tidak akan mempan. Maka, gema ‘pana(h) tae‘ seringkali akan terdengar pada setiap waktu dan kesempatan. Itu dulu, sekarang hal tersebut sudah musnah. Tinggal kenangan.

Membaca alam, termasuk legenda di dalamnya, adalah bagian dari proses keilmuan. Dari melihat, memperhatikan, memprediksi, atau bahkan mengkhayal, adalah cikal-bakal terbukanya pengetahuan. Katakanlah, di zaman batu kepercayaan geosentris masih berurat berakar. Bahkan, jika ada yang menyalahi kesepakatan saat itu, maka taruhannya adalah penjara, bahkan nyawa.

“Pengetahuan beranak pinak
dari pengalaman dan khayalan
kami belajar melapangkan ruang penafsiran
belakangan, sarjana-sarjana setelah kami
mencari wahyu-wahyu ilmiah
di laboratorium dan perpustakaan”

Walaupun pada akhirnya yang nyata adalah heliosentris, Matahari sebagai pusat tata surya, maka proses menuju jalan realita ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Maka saya setuju, jika kurikulum 2013 mengutamakan proses daripada hasil, meski seharusnya hasil juga harus mencerminkan sebuah logika.

Pada bait terakhir puisi M Faizi ini menjelaskan tentang cikal bakal keilmiahan.

“Pengalaman dan khayalan
puisi dan pepindannya
merupakan leluhur kami
nenek moyang ilmu pengetahuan”

Membaca buku puisi M Faizi, akan dibawa ke ruang-ruang kegelapan, malam. Akan mengingatkan kita pada zaman tanpa listrik. Sinar bulan adalah harapan pasti untuk menemani perjalanan malam. Dan masih banyak lagi, pembacaan malam yang akan menjadi kenangan saat ini. Bahkan, anak cucu kita, kemungkinan, sudah tidak dapat menikmati malam seperti yang kita (khususnya saya) pernah alami di masa awal-awal kehidupan dulu.

Tidak hanya itu, menikmati kumpulan puisi ini pembaca diajak untuk bernustalgia dengan malam, berserta segala kisah yang melatarbelakanginya. Di samping juga, perbendaharaan kata yang begitu kasat, hingga kita disuguhi kosa kata baru yang koheren. Benarnya lagi, di pengujung halaman buku ini terdapat perbendaharaan kata yang termaktub, terjabarkan makna dan artinya.

Membaca puisi Nenek Moyang Ilmu Pengetahuan, saya juga diajak untuk kembali pada memoar puisi D Zawawi Imron. Nenek Moyangku Air Mata adalah salah satu judul puisi Zawawi yang kental di ingatan saya, semasa masih di Pesantren Annuqayah. Kebetulan juga, pemuisi si Celurit Emas ini seringkali diundang untuk mengisi acara sastra di Pesantren Annuqayah. Tentu saja, nenek moyangnya M Faizi berbeda dengan nenek moyangnya Zawai Imron. Kontemplasi makna dan jabaran puitiknya mempunyai kekhasan masing-masing, di samping latar belakang lahirnya puisi-puisi yang dimaksud.

Di pengujung sesobek catatan ini, saya mohon maaf kepada semuanya, tanpa kecuali, utamanya M Faizi sebagai pihak yang terlibat langsung dalam penciptaan puisi ini. Harapan saya, kreativitas sastra Beliau tertular dan terjabarkan dalam jiwa saya. Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan