Lukisan Samsul

1,694 kali dibaca

Cahaya bulan tepat menerangi selembar kanvas yang masih bergelut dengan tangan keriput milik pria tua di teras sebuah sanggar. Lebih dari tiga belas tahun Samsul menghabiskan waktunya di sanggar itu. Meski bola matanya mulai kelabu dan cekung semakin dalam, ia belum ingin berhenti melukis, barangkali tidak akan pernah. Semilir angin yang menggigit malam itu membuat dadanya berguncang. Terbatuk-batuk.

“Bapak lebih baik istirahat.” Raka, pekerja muda yang setia menemani, menghampirinya. Ia cepat menggeleng sembari menutup mulut dengan kerah baju. Untungnya, batuknya lekas mereda.

Advertisements

“Jam kerjamu kan sudah selesai, pulanglah. Kenapa masih di sini?” timpalnya.

“Mau nginep saja, Pak,” ujar Raka memijat pundaknya.

“Memangnya nggak jadi keluar sama pacarmu?” tanyanya lagi. Tanpa sengaja pagi tadi ia mendengar percakapan Raka dengan pacarnya melalui telepon.

“Nggak jadi, Pak.”

Pak tua itu kembali berkutat dengan kanvasnya ditemani Raka yang beralih duduk di sisi lain. Sesekali ia berhenti memandangi lukisannya. Hening. Hanya terdengar hewan malam yang rajin mengerik. Keduanya larut dalam kebisuan.

“Ka, kalau ada janji sebaiknya ditepati.” Suara Samsul terdengar lirih dan tegas.

“Saya nggak ada janji dengan Marni, Pak. Lagipula dia sibuk dengan tugas kuliah.”

“Ya sudah, Bapak juga nggak keberatan kalau sendiri, sudah biasa.”

Lalu Samsul memiringkan kepala ke kanan dan ke kiri meletakkan kuasnya.

“Menurutmu lukisan ini bagaimana?” tanyanya kemudian.

“Bagus.” Suara Raka terdengar sedikit ragu. Karena selama bekerja di sini, ini kali pertama Samsul bertanya tentang lukisannya. Pak tua itu beranjak dari tempat duduk, memandangi lukisan dari jauh dan tersenyum. Senyum itu membuat Raka tak tahan menyimpan pertanyaannya lebih lama lagi.

“Kenapa jarang ada yang beli lukisan Bapak ? Maaf kalau saya lancang. Malah lukisan Pak Tomi dan murid-muridnya yang lebih laris.”

“Ya, seni kan cuma soal selera. Berarti sudah rezeki mereka,” jawab Samsul kembali mendekat ke lukisannya.

“Saya memang bukan seniman, kalau boleh kasih saran, Bapak ikuti yang lagi ngetren. Biar cepat laku. Apalagi sanggar kita kan lumayan ramai Pak.”

Selain bekerja jadi tukang bersih-bersih di sanggar milik Samsul, Raka adalah saksi bisu awal mula sanggar tersebut beroperasi dengan bantuan para pegiat seni meskipun pemiliknya sendiri nihil pengalaman. Dengan sabar, Samsul belajar melukis pada Tomi. Mengikuti kelas yang digelar setiap pagi. Ikut bergabung dengan para kawula muda. Membina kerja sama dengan para kolektor dan kurator tersohor. Walaupun usianya sudah 70-an, postur tubuhnya tetap tegap dan tegas. Tangannya tak pernah alpa mencelup warna-warni cat, tenggelam dalam imajinasi. Hanya saja Raka menangkap satu kejanggalan. Karya milik Samsul sedikit sekali yang terjual. Hanya teman-teman dekatnya yang membeli. Hal tersebut dikuatkan oleh ocehan dari para pengunjung adan beberapa rekan kerjanya.

“Ide yang bagus, tapi laku atau tidak bagi saya yang penting senang.”

“Waktu Bapak tidak sia-sia? Saya lihat Bapak tekun sekali membuatnya.”

“Tidak ada yang sia-sia untuk pekerjaan yang dikerjakan dengan hati, Ka.” Samsul menepuk-nepuk punggung Raka dengan terkekeh kecil.

Kalimat itu lantas membungkam pemuda itu. Pertanyaan berikut tak lolos keluar dari mulutnya. Susah payah ia menelan ucapannya. Sebagai ganti, mata Raka justru menerawang pada bola mata di lukisan Samsul. Hitam pekat warnanya. Meski belum purna, ada pendar ketulusan yang ia rasakan. Tulusnya cinta Samsul pada mendiang istrinya, Kumala. Dengan gigih Pak Tua itu memenuhi keinginan terakhir istrinya. Foto Kumala di sebuah kanvas.

Dulu, Raka pernah bertanya perihal permintaan Kumala. Bukankah lebih mudah memesan lukisan pada seniman lain dibanding bertahun-tahun harus gigih belajar melukis dan mendirikan sanggar seni. Lagipula Samsul sendiri terbilang hidup cukup dengan kiriman uang dari anaknya, juga jatah pensiunnya.

“Ya, karena ingin mengenang,” jawabnya singkat.

“Waktu muda dulu saya terlalu sibuk bekerja sampai nggak sadar kalau Kumala itu cantik sekali,” gumam Samsul memuji potret lukisan sang istri dengan takjub.

Semua karya terilhami dari kenangannya bersama Kumala. Tempat, makanan, atau lagu kesukaan bertransformasi menjadi goresan di puluhan kanvas.

“Kalau sudah tua nanti, kau akan mengerti. Mengenang itu lebih indah daripada pemberian uang seratus juta,” kata Samsul lagi.

Raka hafal betul tabiatnya. Terkadang ia menemani Pak tua itu hingga larut malam, rela tak pulang. Sebab, ia khawatir meninggalkan Samsul sendirian di sanggar. Kalau sudah keasyikan ia bisa lupa waktu dan mengabaikan kondisi tubuhnya.

“Kalau nggak terjual bukan berarti jelek kan?” tanya Samsul memandangi pemuda itu yang sedari tadi termenung dalam lukisan tersebut. Raka tersadar dan lekas mengangguk menanggapi.

***

Tidak ada yang tahu ke arah mana takdir membawa setiap manusia. Satu hal yang pasti hanyalah kematian. Begitupula nasib Samsul yang ditemukan tergeletak di dekat kanvasnya menjelang Subuh. Malam itu Raka tak kuasa menahan kantuknya. Ia lebih dulu terlelap setelah membuatkan secangkir teh untuk Pak tua tersebut. Ia baru sadar saat hendak menunaikan salat Subuh. Menyadari tangan Samsul yang membeku dingin dan denyut nadinya tak lagi berfungsi.

Seminggu setelah kepergian Samsul, Raka membersihkan seluruh lukisan milik majikannya itu. Lalu, dipindahkan ke ruang utama, tempat biasa karya dipamerkan. Kali itu, hanya milik Samsul yang dipajang. Kabarnya, kolektor dan para seniman akan berdatangan ke sanggar tersebut.

Tanpa disangka pacarnya turut hadir. Acaranya memang digelar untuk umum. “Bapak yang menyuruhku. Sudah lama ingin melihat lukisan Pak Samsul,” jawab Marni, pacarnya.

Pengunjung yang datang membeludak, di luar perkiraan Raka. Matanya terpana saat melihat gerombolan para seniman kondang yang pernah masuk layar kaca ikut hadir memeriahkan. Raka terheran-heran dengan pemandangan tersebut. Sebab, sepanjang ia bekerja belum pernah melihat kunjungan seramai itu. Ia pun teringat dengan pertanyaannya di malam terakhir bersama Samsul.

“Sudah lama sebenarnya saya ingin menikmati lukisan Samsul. Tapi, takut duluan sama harganya. Ritme artistik, proporsi gambar dan tekstur terlihat harmonis dalam tone dan tint warna yang sempurna. Lukisan yang wow,” tutur seniman kondang itu saat memberi sambutan. Sorot matanya membingkai rasa takjub.

“Saya kagum sama Pak Samsul. Sudah berumur tapi semangat sekali berkarya. Kalah saya. Dalam sebulan beliau bisa menghasilkan puluhan lukisan,” celetuk Pak Tomi pada para rekannya yang tanpa sengaja ia dengar saat menemani Marni berkeliling.

Saat tepat di depan karya terakhir yang dilukisnya, Raka terdiam cukup lama. Sosok Kumala dalam kebaya putih tersenyum. Senyumnya mirip seperti senyum Samsul sebelum sempurna tertutup kafan. Raka kini mengerti harga yang pantas untuk lukisan Samsul. Tidak semua hal yang bernilai harus dihargai dengan materi. Ini yang membuat Raka menggumam sendiri, “Barangkali yang mengira lukisan Samsul tidak bagus hanya segelintir orang yang tak paham soal seni. Tapi bukannya seni itu soal selera.” Pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

Malang, 20 September 2021.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan