Larik Cinta Sang Mahacinta

1,361 kali dibaca

Sebuah buku puisi yang ciamik. Dengan pola cetak yang tidak biasa. Dari dua sosok yang sudah tidak terasing lagi. Gus Nadir, Nadirsyah Hosen dan Kang Maman, adalah dua sosok yang sudah malang melintang di dunia kepenulisan. Khusus Gus Nadir, merupakan seorang tokoh yang berkecimpung di dunia akademisi. Saat ini Beliau tercatat sebagai dosen senior di Monash University. Selain itu, Gus Nadir juga aktif di media sosial, khusunya Twitter untuk berdakwah menyebarkan agama Islam sebagai rahmatallil’alamin (hal. 48).

Sementara, Kang Maman, adalah seseorang yang aktif berkecimpung di dunia literasi. Aktif menulis dan beberapa tulisannya sudah banyak yang diterbitkan. Sering pergi ke luar negeri dalam rangka kepenulisan, dan terus menebar kebaikan bagi lingkungan dan orang banyak. Kang Maman juga aktif di media Twitter dari tulisan yang serius hingga kalimat-kalimat “receh” (hal. 98).

Advertisements

Dihadapkan pada lirik puisi, kita akan mendapatkan berbagai larik aksara yang penuh dengan nilai kekhususan. Ada rima, ritme, irama, dan citraan. Ada bait-bait dan penggalan kata yang memiliki makna tersendiri. Membangun sebuah tubuh perpuisian dengan rangkaian arti yang penuh dengan corak dan ragam tafsir. Puisi merupakan ungkapan rasa yang memiliki banyak makna ambigu bagi pembacanya. Tentu tidak bagi pencipta puisi itu sendiri. Kali ini kita dihadapkan pada sebuah buku puisi yang ditulis oleh Gus Nadir dan Kang Maman.

Buku puisi yang diresensi pada kesempatan ini, dengan judul “Cinta Itu Alasan Sekaligus Tujuan,” adalah buku puisi tentang cinta. Tentu saja bukan cinta dalam warna awam, dalam kebanyakan maksud dan tujuan. Cinta di sini adalah cinta keabadian. Kalau dalam bahasa puisinya Gus Nadir, merupakan “cintaitu.” Antara kata “cinta” dengan “itu” tidak ada pemisah. Penulis teringat kaidah nahu yang dipelajari di pesantren dulu. Dari sebuah kata الحب, dengan arti “cintaitu”, ال pada kata الحب adalah sebuah kekhususan. Kalau dalam bahasa nahu adalah al makrifat. Kata “cintaitu” merupakan kekhususan khusus, khusus yang paling khusus. Sebuah cinta yang hanya, sekali lagi hanya, cinta kepada Allah.

Lebih dari itu, demi kekhususan yang paling khusus, Gus Nadir membuat sebuah judul puisi cinta dengan tanda pagar (#). Seperti pada judul puisi #CintaItu Satu Titik” (hal. 6). //#Cintaitu sungguh berada pada satu titik// sebuah kalimat cinta dengan satu titik. Kita tahu, bahwa titik itu tidak ada pemisah. Satu dalam kesatuan yang padu. Begitu juga dengan cinta Gus Nadir kepada Allah. Tidak berjarak, tidak ada jeda. Satu dalam tungal, esa dalam cinta yang abadi.

#CintaItu Satu Titik 

#Cintaitu sejatinya berada pada satu titik

Titik antara Iyyaka Na’budu dan Iyyaka Nasta’in

Titik antara Anta Maqshudi dan Ridhaka Matlubi

 

#Cintaitu sungguh berada satu titik.

Titik antara hati ini menjadi tentram saat mengingat diriMu dan hatiku bergetar saat menyebut namaMu.

Masih dalam puisi Gus Nadir. Beliau bukan saja menggarap larik aksara cinta kepada kepada sang Khalik. Tetapi, juga membangun tutur dan ujaran cinta terhadap Kanjeng Nabi (Muhammad saw). Dalam puisi yang berjudul “#CintaItu Muhammadku” (hal. 8), Gus Nadir berusaha menghadirkan ragam rindu dari rindu yang paling mendada. Dalam puisi ini, Gus Nadir menghadirkan rindu dengan ungkapan seadanya, nyata, dan sesungguhnya. “Oh Muhammadku//shalawat dan salam rinduku.” Sebuah kalimat puitik yang menyembul begitu saja dari lubuk hati yang paling dalam. Rindu keabadian. Rindu yang paling durja.

Selama ini kita selalu berkalung rindu. Rindu kepada Nabi Muhammad. Menyenandungkan kalimat-kalimat mujarab. Helai aksara cinta dan kuntum huruf-huruf rindu. Di bulan ini, bulan Maulid (Rabi’ul Awal), sebagai bulan kelahiran Rasulullah. Maka sudah sangat familiar di mana-mana, di seantero jagat, kalimat-kalimat doa itu meluruh di relung jiwa umat Muhammad. Membumikan teks “rinduitu” menjadi konteks kerinduan dengan tahbis lelaku keseharian mengikuti sunah Rasulullah.

Sementara, dalam judul puisi “Doa Malam” (hal.26), Gus Nadir membangun rangkaian doa yang lebih bias. Dari lingkar batang puisi tidak diketahui ke mana arah doa itu diunjukkan. Namun, penulis tetap dalam jangkauan cinta abadi dan rindu yang kekal. Dalam puisi ini Gus Nadir masih kukuh pada ruh doa Nabi Muhammad. //Malam esok kan kusiapkan doa berikutnya/Tiada malam terlewat tanpa mendoakanmu/Begitulah caraku menunggumu//. Mengapa penulis cenderung kepada Nabi Muhammad? Karen dari liris puisi yang ditulis oleh Gus Nadir, kata ganti “mu” untuk Tuhan menggunakan huruf kapital. Sementara untuk Nabi Muhammad menggunakan huruf kecil. Tapi, boleh saja pembaca membangun makna puisi dengan ragam tafsir. Karena puisi dicipta dengan ragam makna yang memungkinkan. Meniscayakan.

Puisi Gus Nadir ini selesai pada halaman terakhir. Sedangkan halaman terakhir bukan di halaman akhir buku, namun di tengah-tengah buku. Apa pasal? Karena buku unik ini dibagi dalam dua bagian dengan halaman awal yang berkebalikan. Di buku sebaliknya diisi oleh tulisan puisi Kang Maman. Dan lagi-lagi akhir puisi Kang Maman juga di tengah-tengah buku. Pas di tengah-tengah buku (tidak pas benar, puisi Gus Nadir berakhir pada halaman 48, sedangkan puisi Kang Maman berakhir pada halaman 98), adalah biodata kedua penyair dengan halaman gelap dan tulisan putih. Unik, bukan?

Sementara itu, puisi-puisi Kang Maman lebih umum, membias dalam ambigu makna yang sangat luas. Seperti pada judul puisi Doa (hal. 6), Kang Maman membangun nuansa kesetaraan antara lelaki dan perempuan. //Di punggung lelaki/Doa-doa dituliskan/Dan dilangitkan//Di pangkuan perempuan//Doa-doa dirangkaikan/dan dibumikan//.

Puisi dengan rangkaian frasa ini ingin membangun diksi kesamaan antara laki-laki dan perempuan. Bahwa keduanya mempunyai peran yang tidak sama. Namun memiliki kesempatan yang padu, saling melengkapi, dan kerja sama yang akan menghasilkan kesempurnaan. Doa itu dilangitkan (munajat kepada Khalik), sekaligus dibumikan (reflaksi dari doa yang dilangitkan menjadi kasih dan hidayah di muka bumi).

Berikutnya Kang Maman yang suka membangun citraan puisi dengan kata dan frasa, dalam judul puisi Lebaran menabur diksi yang asik. “Lebarkan,” “Lebur,” “Luber,” dan “Labur” adalah diksi dengan awalan huruf yang sama (L) dan huruf akhir yang sama pula (r). Citraan puisi dibangun atas kesesuaian fonem atau bunyi yang padu.

Tetapi, Kang Maman tidak hanya menulis bait-bait puisi yang jelas, tegas, dengan kata dan frasa yang pendek. Pada judul puisi Melangit Bersama (hal. 31) diawali dengan sebuah prosa. Sebuah titah sejarah dari keluarga Rasulullah. Meskipun pada akhirnya, puisi yang ditulis di bawah judul “Melangit Bersama” ini, tetap pada jalur kata dan frasa yang pendek namun tegas. Kang Maman kembali pada karakter penulisan puisi yang seadanya dan sepantasnya.

Buku puisi ini, dengan cetakan yang unik menjadi nilai lebih tersendiri. Tidak banyak buku yang ditulis oleh dua orang kemudian di atas dua sisi yang berlainan. Hal ini merupakan sebuah terobosan, agar pembaca menikmati suguhan litarasi (baca: karya puisi) dengan format yang tidak biasa. Apalagi, buku puisi yang diterbitkan oleh PT Grasindo (2020), dicetak dengan kover tebal (hard cover). Menjadi keunggulan tersendiri dan nilai plus untuk sebuah buku puisi yang baik. Maka penulis sarankan, bagi para pecinta literasi untuk membaca buku ini sebagai bagian dari khazanah perpuisian.

Dalam pengamatan penulis, kedua penulis puisi ini memiliki karakter pengungkapan yang berbeda. Kalau Gus Nadir lebih religius meski ada juga puisi yang nasionalis, sebaliknya Kang Maman lebih nasionalis, meski ada juga puisi yang religius. Namun keduanya memiliki format kesamaan dalam hal tujuan dari penulisan ini, yaitu menyebarkan kemanfaatan untuk orang lain.

Ada sedikit hal yang agak membingungkan, dalam beberapa puisi tidak terdaftar di daftar isi. Hal ini sempat membingungkan penulis. Entah disengaja atau tidak, yang pasti kemudian adalah, bahwa buku puisi ini layak untuk kita baca. Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan