…, Trump, dan Lain-lain

858 kali dibaca

Trump adalah fenomena. Dan ia memang fenomenal. Dari seorang pebisnis sukses, Donald Trump bertransformasi menjadi tokoh politik paling populis yang memegang tampuk kekuasaan paling berpengaruh sejagat: Presiden Amerika Serikat.

Tapi Trump juga sebuah paradoks. Lahir dari rahim demokrasi, ia mengada dalam sebentuk antitesis demokrasi.

Advertisements

Jika kita membaca kembali buku Bagaimana Demokrasi Mati (How Democracies Die) karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018), sejak mula kemunculannya di panggung politik dunia Trump adalah penggambaran dari karakter-karakter antidemokrasi yang lahir dan hidup di alam demokrasi.

Karakter-karakter itu menjadi begitu telanjang di panggung kontestasi pemilihan Presiden Amerika Serikat hari-hari ini. Tidak bisa atau tidak mau menerima kekalahan dan kemudian mencoba mendelegitimasi lembaga penyelenggara pemilihan umum (pemilu) adalah di antara indikator karakter antitesis demokrasi itu.

Tokoh populis dengan karakter seperti ini selalu menaburkan narasi kecurangan di pihak lawan, bahkan sebelum pertandingan dimulai; hanya kecurangan yang bisa menumbangkan dirinya. Narasi seperti ini dibangun untuk menggiring dan membentuk opini publik bahwa dirinya sebagai representasi dari kebenaran dan kebaikan, dan sisi yang berseberangan, lawannya mewakili kesesatan dan kejahatan. Kontestasi demokrasi dibayangkan sebagai peperangan antara kebaikan melawan kejahatan, antara tentara Tuhan melawan setan-setan.

Jika akhirnya memenangi kontestasi demokrasi, dan duduk di kursi kekuasaan, apa yang dilakukan tokoh populis seperti ini dengan kekuasaannya adalah pembusukan dan pembunuhan demokrasi dari dalam, justru melalui cara-cara dan lembaga-lembaga demokrasi. Yang paling kasat mata adalah apa yang dilakukan melalui pengerasan politik identitas. Baik politik identitas berdasarkan agama, ras dan kesukuan, maupun kelompok-kelompok lain. Pengerasan politik identitas ini, di antaranya, mewujud pada penegasian atau penafian terhadap kelompok identitas lain.

Yang paling ekstrem, misalnya, terjadi pada pengerasan politik identitas berbasis agama. Beragama tidak lagi berurusan dengan bagaimana menjadi manusia yang lebih baik, melainkan bagaimana meniadakan atau bahkan kalau bisa membasmi mereka yang tak seiman.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan