Ladang Mbah Setu

2,317 kali dibaca

Listrik mati sejak siang. Ada perbaikan di gardu pusat PLTA, begitu kata tetanggaku yang ngerumpi di depan rumah sehabis maghrib tadi. Suasana lengang pun menyergap kampungku. Tak ada suara dangdut yang menghentak. Tak ada sahut-sahutan suara adzan atau puji-pujian dari corong-corong musala. Apalagi ketika petang telah datang begini. Tak ada kendaraan berseliweran sama sekali. Jangkrik pun sepertinya enggan bernyanyi.

Namun bukan berarti padamnya lampu lantas menghentikan segalanya. Dengan penerangan api unggun, aku menguliti singkong bersama istri di samping rumah. Hawa dingin yang datang di musim kemarau membuatku tak ingin berjauhan dengan api. Bau singkong bakar setengah gosong juga ikut menghangatkan suasana.

Advertisements

Dua anakku telah terlelap di atas kasur semenjak usai jamaah salat isya di ruang tengah tadi. Dan istriku yang belum bisa tidur mengajakku lembur nggaplek, menguliti singkong untuk dijadikan nasi tiwul, atau dijual dalam bentuk gaplek.

Tiba-tiba istriku nyeletuk ketika aku sedang membongkar bara api untuk mengambil singkong bakar.

“Listrik nyala, Mas,” katanya sambil menatap ke ujung jalan. Ada sorot cahaya di sana.

“Itu lampu sepeda Mbah Setu,” timpalku. Aku tengah mengupas kulit singkong bakar yang berhias gosong di sana-sini.

“Mbah Setu? Siapa itu?”

“Yang biasanya bersepeda lewat depan rumah, pagi dan sore itu.” Tanganku meraih segelas kopi yang diseduhnya beberapa saat lalu.

“Oh, itu.”

“Iya,” jawabku sambil mengunyah singkong bakar.

“Mas mau kerja apa makan sih? Mulutnya nggak berhenti dari tadi.”

Kutanggapi sindiran istriku itu dengan deraian tawa.

“Sudah setua itu, bukannya mendekat pada Tuhan, malam-malam begini malah baru pulang. Berangkat pagi pulangnya sore, setiap hari. Seperti tak akan mati saja. Dari mana sih sebenarnya orang tua itu?” Mulut nyinyirnya mulai berulah.

“Tidak tahu,” sahutku.

“Pas musim hujan kemarin dia berteduh di sebelah rumah Kang Karjo. Terdengar adzan isya harusnya ia ke musala, salat sambil menunggu hujan reda, kan enak. Eh, malah tidur di emperan, padahal jarak musala kan dekat dari situ. Hmm. Rumahnya mana sih orang itu Mas?”

“Tak tahu.” Aku menimpali pertanyaan itu dengan enggan. Mulutku tengah sibuk mengunyah ketela.

“Apa sih yang kamu tahu?”

“Rumahnya di mana pun aku juga tak tahu, dan tak peduli. Tak ada untungnya ngurusi kehidupan orang lain.”

“BH istrinya putus pun tak tahu. Apalagi kehidupan Mbah Setu.”

Tawaku kembali berderai, tersinggung tapi geli mendengar sindirannya.

“Besoklah beli. Kalau gaplek ini sudah laku,” sahutku akhirnya.

Kami lantas terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Yang aku heran, semenjak aku masih anak-anak, dia sudah setua itu, dan tetap sehat hingga kini. Seolah waktu tak menjamah dirinya.” Sengaja kubelokkan pembicaraan. Membahas kehidupan orang lain adalah cara mudah untuk menutupi kekurangan diri.

“Mbah Setu maksudnya?”

“Iya. Kau kira siapa?”

“Barusan bahas BH. Tiba-tiba ngomongin Mbah Setu lagi. Bikin bingung aja bicaramu, Mas,” dari temaram cahaya api terlihat manyun bibirnya menahan emosi. Dan tak kutanggapi. Meladeni emosinya akan membuat malam-malamku berselimut dingin. Kuambil sepotong ketela lagi.

“Katanya nggaplek ketela. Ternyata bakar singkong sambil ngopi. Mas, tingkahmu tak berubah dari dulu. Persis seperti Mbah Setu yang tak terjamah oleh waktu.”

“Salah sendiri malam dingin begini ngajakin kerja di luar rumah.”

“Habis, kamu ngajaknya kerja di kasur terus. Kebanyakan anak jadi nggak keurus. Lihat, semua anakmu kurus-kurus!”

“Mbah Setu yang rajin bekerja kamu salahkan. Aku yang juga rajin, juga kamu salahkan. Seperti apa sebenarnya kebenaran di matamu?”

“Kemarin Mbak Tutik beli kalung.”

Aku terdiam memahami alur kata-katanya yang mendadak berbelok arah. Dia lantas ikut diam, meniruku. Desis angin menggoyang lidah api di samping kami. Dan kopi tinggal separuh itu kuseruput lagi. Pening di kepala perlahan mulai terurai.

“Kau tahu kenapa Mbah Setu awet sehat dan kuat?” tanyaku, kembali mengalihkan pembicaraan.

“Kau tahu Mas Tara sampai cari utangan demi membelikan kalung istrinya?” lagi-lagi ia tak menggubris pertanyaanku. Mulutnya tak berhenti bicara, dan tangannya terus bekerja.

“Karena istrinya cantik dan tidak cerewet,” kujawab sendiri pertanyaanku tadi.

Peret untuk mengupas kulit ketela itu tiba-tiba ia jatuhkan. Ia menatapku lekat. Kulihat ada cahaya api amarah yang berkilat-kilat di matanya. “Kau suka sama Mbak Tutik?” nada suaranya meninggi memecah senyap dan gulita malam.

“Bukan! Kau salah sangka!” tangkisku cepat.

“Jangan mengelak Mas!”

“Maksudku istrinya Mbah Setu.”

“Apa! Kau bilang istrinya Mbah Setu cantik? Dasar lelaki mata keranjang. Wanita jompo masih juga dibilang cantik!”

Desau angin semakin kencang bertiup. Goyangan lidah api semakin erotis, meliuk-liuk hingga padam kemudian. Hawa dingin pun kian menguar, menembus kulit serta merangsang kantung kemih untuk sebentar-sebentar mengeluarkan cadangan airnya. Istriku melangkah ke dalam rumah dengan kaki dihentak-hentak. Kopi kuhabiskan dan aku beranjak mengikuti langkah kakinya.

Semalam suntuk tiupan angin terus berdesis-desis. Dan kurasakan malam begitu dingin menyiksa. Aku gelesotan di lantai beralaskan tikar pandang. Sedang di sampingku hanya ada bantal guling. Pintu kamar telah tertutup rapat. Sepasang cecak yang berguling-guling di belandar tak henti-hentinya menertawakanku. Ketika cahaya mentari pagi mulai menerobos dinding bambu rumah aku kemudian perlahan bangun.

“Ari! Cepetan mandi! Sekolah!” cerocos istriku yang tengah sibuk di dapur. Aku sendiri baru usai salat.

“Mbah Setu belum lewat, Bu! Masih pagi!” dari arah kamar kudengar lantang suara anak pertamaku menyahut. Mbah Setu selalu lewat depan rumah jam enam pagi. Dan itu kami pakai sebagai penanda waktu.

“Mbah Setu nggak lewat hari ini! Libur!” suara istriku tak kalah lantang.

Tak terdengar lagi sahutan anakku. Bau sambal terasi menguar dari dapur, memenuhi seantero rumah dan kemudian menusuk-nusuk hidungku. Selera makanku seketika tergiur. Cepat-cepat kuselesaikan bacaan dzikirku. Perut terasa semakin lapar karena semalam hanya makan singkong bakar.

Beberapa saat kemudian terdengar suara gesekan sendal Ari. Dia melangkah dengan malas menuju kamar mandi. Berpapasan denganku yang berjalan menuju dapur.

“Nah! Itu Mbah Setu baru lewat!” celetuknya. Kuintip jalan depan melalui lubang dinding bambu. Tak kulihat ada orang lewat di sana. Ari menoleh ke arahku sambil menyeringai dan terus berlalu. Dasar anak menyebalkan!

Istriku melirik tajam melihat tangkas tanganku meraih piring di rak. Di dekatnya bergelantunganlah berbagai macam perkakas dapur. Panci, spatula, wajan, periuk, serta perkakas-perkakas lain yang menempel di gedek, seolah sedang mencibirku. Kuamati pula tembok yang penuh jelaga. Kuhela napas pelan-pelan. Dan ketika telah kuisi piringku dengan secentong nasi, terdengarlah suara ketukan di pintu depan.

“Buka dulu pintunya! Siapa tahu malaikat pembagi rezeki!” teriak istriku dari halaman belakang, menjemur cucian pakaian orang serumah. Kutaruh lagi piringku. Mulutku berdecih kesal.

“Biarkan saja. Malaikat maut biasanya juga pagi-pagi benar bertamunya,” sahutku.

Suara ketukan pintu semakin nyaring. Dan semakin nyaring pula untaian kata dari mulut istriku. Kubukalah pintu dengan enggan. Perut kosongku gagal terisi. Tampak ada Mbah Setu di situ. Ia tengah berdiri memaku. Kuamati penampilannya. Celana komprang warna hitam yang biasa ia kenakan tiap hari itu telah berwarna kusam. Baju kotak-kotaknya lusuh dan sedikit berbau. Caping bambu bertengger menutup kepalanya. Dan keriput serta lipatan-lipatan kulit cukup menunjukkan betapa dia tak lagi muda. Tapi tampak jelas ada gairah hidup yang menyala-nyala di sudut cerah senyumnya. Ada apa kiranya? Hatiku menggerutu tak sudah-sudah.

“Bapak punya pompa angin?” tanyanya kemudian.

“Mau ke mana pagi-pagi begini Mbah?” kutimpali pertanyaannya dengan tanya pula.

“Mau nengok ladang, Pak,” dia menjawab pelan. Capingnya ia lepas, menampakkan kepala yang telah ditutupi rambut berwarna putih.

“Sepagi ini?” aku menimpali.

Mbah Setu tersenyum, menampakkan gigi yang tinggal beberapa.

“Jadi, pompanya tidak ada, Pak?”

“Maaf, tidak ada Mbah,” sahutku cepat.

Ia mengucap terima kasih lantas beringsut pergi. Aku pun kembali ke dapur. Kubiarkan orang tua itu menuntun sepeda kempisnya agar mendapat pelajaran. Orang seuzur dia seharusnya sudah mulai meninggalkan perkara dunia. Harusnya ia menata diri untuk menyambut datangnya kematian. Dan tak sepantasnya Mbah Setu yang setua itu berangkat pagi pulang sore setiap hari untuk mengejar dunianya.

Ah, orang itu telah pergi, tak perlu lagi pikiranku berkutat tentang dirinya. Perutku pun semakin terasa diremas-remas. Bergegas kakiku melangkah ke dapur lagi.

“Pinjam pompa?” tanya istriku tatkala kuberitahu tamu yang ia kira malaikat pembagi rezeki tadi ternyata adalah Mbah Setu yang sedang mencari pinjaman pompa angin.

“Kok cepat sekali?”

“Tak jadi.”

“Kenapa?”

“Tak ada pompa.”

“Memangnya di belakang pintu itu apa namanya kalau bukan pompa?”

Terjadilah adu mulut diantara kami.

“Bukankah katamu orang setua dia harusnya sudah mulai menyiapkan diri untuk menyambut akhirat? Tak kupinjami dia pompa agar kembali pulang. Melupakan ladangnya.”

Perempuanku itu makin menyerang. Dikatakannya aku adalah lelaki yang tak punya hati. Menasihati orang itu baik, tapi tidak begini caranya. Kuiyakan saja kata-katanya. Tak ingin aku menderita kedinginan lagi malam nanti.

Ketika anak-anak telah berangkat ke sekolah kami berangkat mencari rumput tidak jauh dari belantara hutan. Rumput ilalang yang tumbuh subur di pesisir selatan desa adalah makanan kesukaan sapi yang kami pelihara. Hari ini entah mengapa tiba-tiba istriku iseng mengajak ke sana. Biasanya kami menyabit di sekitar rumah. Terik matahari yang melelehkan keringat tak menyurutkan semangat. Kami terus mengayunkan sabit untuk mengumpulkan makanan sapi itu.

“Sepertinya aku pernah melihat sepeda itu,” ucap istriku sembari mengelap keringat di mukanya.

Kulihat memang ada sepeda yang teronggok di balik semak belukar pinggir jalan setapak. Tak salah lagi, itu sepeda milik Mbah Setu. Ban sepeda itu masih kempis ketika kulihat dari jarak dekat. Tak pelak rasa penasaran mencuat di benakku. Tak kulihat dia di sekitar sepeda itu. kemana orang itu?

Akhirnya kusempatkan mencari Mbah Setu setelah keranjang rumput kami penuh. Kutemukan juga akhirnya jejak Mbah Setu setelah mencarinya kesana-kemari. Di sebuah lereng bukit kulihat dia tengah mengerjakan sesuatu. Rasa penasaranku makin memuncak melihatnya berjibaku dengan tanah tandus di bawah terik matahari. Aku terus mendekat. Di belakangku ada istriku yang turut serta.

Pundak legam itu dibanjiri peluh. Kulitnya berkilat-kilat. Dan otot-otot di tubuhnya menjadi bukti bahwa tubuh orang tua itu masih cukup tangguh. Sambil membungkuk tangannya mengayunkan cangkul.

Terlihat parit kecil hasil cangkulannya telah memanjang melilit bukit. Ada sedikit air yang mengaliri parit kecil itu. Suaranya bergemericik meneduhkan hati. Di samping parit kulihat ada botol minuman berisikan air yang tinggal separo. Jakunku naik turun menahan haus. Tapi kemudian aku tak jadi meminta air itu mengingat kejadian pagi tadi.

Aku terus mendekat. Ia tak melihat kehadiranku ketika aku dan istriku duduk di bawah pohon jati meranggas di dekatnya. Bahkan ia terkaget mendengar sapaanku. Kuredakan keterkejutannya dengan deraian tawa.

“Untuk apa berlelah-lelah menggali parit di bukit tandus seperti ini Mbah?” tanyaku akhirnya.

Dia menyeringai, memperlihatkan beberapa buah gigi yang masih setia menemani hari tuanya.

“Untuk mengairi ladang, Pak,” sahutnya.

“Maaf, tidakkah Mbah Setu tahu bahwa aliran air di parit ini tak akan bisa menghilangkan dahaga di alam barzah nanti?” ucap istriku penuh sarkas.

Seketika ayunan cangkul Mbah Setu terhenti. Bibir keringnya masih memberikan seulas senyum.
“Aku tidak tahu, Bu. Yang penting aku telah berusaha memberi makan dan minum untuk anak cucuku. Aku ingin memastikan mereka tidak akan kehausan atau kelaparan,” ucapnya. Usai menjawab pertanyaan istriku dia kembali mencangkul.

“Kenapa mereka tidak membantumu?” tanyaku pula.

Hanya kesiut angin lereng perbukitan yang memberiku jawab atas pertanyaan itu.

“Anak-anakmu di mana, Mbah?” imbuhku.

“Sebaiknya gunakan sisa umurmu untuk menyiapkan bekal akhirat, Mbah,” istriku bernasihat.

Dia terus mencangkul. Tetesan keringatnya seolah-olah memberi tahuku sesuatu; dia sedang tidak ingin diganggu. Dan setelah lama kuperhatikan ternyata air yang menetes di pipinya itu bukanlah keringat. Orang tua itu sedang menangis. Tiba-tiba ia menghentikan pekerjaannya. Kemudian berdiri dengan tubuh gemetar. Pandangan matanya menghunjam ke arah kami.

“Salahkah jika orang tua ini membuatkan sawah agar anak-anaknya mau pulang?”

Dahiku mengernyit memahami kata-katanya.

“Bertahun-tahun aku merindukan anak-anakku yang jauh merantau ke pulau seberang. Aku tak menyalahkan mereka, karena aku tak mampu memberinya makan di desa ini. Mereka mendapat sawah dari pemerintah di perantauan sana. Dan di sini, jika aliran sungai itu sudah bisa kubawa ke ladang, aku akan punya sawah. Harapanku agar bisa ditemani anak-cucu di usia senja ini akan menjadi kenyataan.”

Napasnya terengah-engah. Keringatnya masih bercucuran. Kami terdiam mendengar ceritanya. Mbah Setu kemudian mencuci muka di parit. Tangan dan kakinya pun ia basuh. Ternyata ia berwudhu dengan air di parit itu. Ia melangkah meninggalkan kami setelah minta izin untuk menunaikan salat dhuhur.

“Kenapa kamu tak pernah mampir salat jamaah di musala kampungku Mbah?” pertanyaanku menghentikan langkahnya.

“Istriku sudah menunggu jamaah salat denganku di rumah,” tukasnya sambil melanjutkan langkah.

Aku menelan ludah dan beradu pandang dengan istriku. Sinar mentari semakin terik mengeringkan tenggorokan. Rasa haus seolah mencekikku.

Mentaraman, 29 Agustus 2020.

Multi-Page

2 Replies to “Ladang Mbah Setu”

Tinggalkan Balasan