Kurban dan Implikasi Sosialnya

852 kali dibaca

Kurban (Bahasa Arab: قربن, transliterasi: Qurban), yang berarti dekat atau mendekatkan atau disebut juga udhhiyah atau dhahiyyah, secara harfiah berarti hewan sembelihan. Sedangkan, ritual kurban adalah salah satu ibadah pemeluk agama Islam dengan melakukan penyembelihan binatang ternak untuk dipersembahkan kepada Allah.

Ritual kurban dilakukan pada bulan Dzulhijjah pada penanggalan Islam, yakni pada tanggal 10 (hari nahar) dan 11,12, dan 13 (hari tasyrik) bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha (wikipedia). Hari Raya yang dirayakan setiap tanggal 10 Dzulhijjah oleh seluruh umat Islam, juga biasa disebut sebagai Idul Qurban, merupakan salah satu dari dua hari raya, selain Hari Raya Idul Fitri setiap 1 Syawal tahun Hijriyah.

Advertisements

Di samping sebagai bagian dari ritual peribadatan umat Islam, di dalam pelaksanaan ibadah kurban (berkurban bagi yang mampu), terdapat nilai-nilai sosial yang dapat dijadikan rujukan hikmah kehidupan. Ketika seseorang berkurban, maka daging kurban tersebut dapat dijadikan wasilah (perantara) untuk membangun relasi sosial dalam berkehidupan. Di samping itu, berkurban juga merupakan bentuk pengakuan seorang hamba terhadap keagungan Tuhan.

Banyak dijelaskan di kitab-kitab fikih bahwa hewan yang dapat dijadikan kurban adalah domba (kambing), sapi, unta, dan kerbau. Dilansir dari merdeka.com, bahwa hewan yang dapat dijadikan kurban seperti, unta, kambing, domba, sapi, atau kerbau. Tentunya, jenis-jenis hewan ini sudah memenuhi ketentuan sebagai hewan ternak yang sehat dan layak untuk dikurbankan.

Historika Kurban

Sejarah kurban berawal dari kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Nabi Ibrahim adalah seorang hamba yang sangat taat dan patuh kepada Allah. Hingga suatu waktu Nabi Ibrahim berujar, “Bahkan anakku sekalipun akan aku kurbankan demi keagungan Allah.” Allah kemudian memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih Ismail (putranya) sebagai bentuk pengabdian dan pengurbanan.

Tentu saja untuk melaksanakan perintah Allah tersebut tidak mudah dan tidak gampang. Anak semata wayang, yang dari sejak awal didamba-dambakan, kemudian disuruh disembelih untuk sebuah pengurbanan. Tetapi Nabi Ibrahim bukan hamba “kaleng-kaleng”. Ia pun menyampaikan perintah Tuhan kepada kepada putranya, Ismail.

Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” (QS. As-Saffat: 102).

Sebuah ungkapan sayang yang begitu melekat, tetapi cinta kepada Tuhan harus didahulukan. Dan Nabi Ismail pun adalah seorang hamba yang begitu patuh kepada orang tua dan Tuhan. “Dia (Ismail) menjawab, Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; Insya Allah Engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS. As-Saffat: 102).

Jawaban tulus dari seorang anak yang taat kepada Tuhan dan orang tua. Dan kurban itu pun dilaksanakan.

Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Lalu Kami panggil dia, Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu. Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. As Saffat: 103-105).

Implikasi Sosial dalam Kurban

Kurban dimaksudkan sebagai ibadah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Selain sebagai ibadah —yang dalam hal ini Allah yang akan memberikan balasan pahala— maka di dalam kurban terdapat hikmah sosial. Seseorang yang berkurban, daging kurbannya akan dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk membeli daging, maka dengan daging kurban itu, dapat menjembatani kesenjangan tersebut.

Nilai sosial dan implikasi yang terjadi merupakan sebuah ikatan hubungan yang akan menjadikan ketentraman. Saling membangun rasa persaudaraan melalui nilai ibadah kurban yang telah dilakukan oleh mereka yang memiliki kemampuan. Maka implikasi ini melahirkan sebuah koneksi yang semakin memperkokoh persaudaraan, persatuan, dan kesatuan di antara umat.

Memang, hubungan sosial tidak semata dibangun atas ibadah kurban. Akan tetapi, di dalam ibadah kurban terdapat nilai sosial yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Sebab dalam ibadah kurban terdapat nilai kepedulian sosial (social concern) yang akan melahirkan aspek hubungan kemanusiaan yang harmoni.

Salat dan Kurban

Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah). Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).” (QS. Al-Kautsar: 1-3).

Salat dan kurban adalah dua aspek yang berbeda, tetapi memiliki muatan yang sama. Keduanya (salat dan kurban) merupakan riyadhah (ritual ibadah) yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ayat di atas, “Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah),” menjelaskan bahwa salat dan kurban merupakan ritual ibadah untuk lebih dekat kepada Allah.

Taqarrub, mendekatkan diri kepada Allah, dimaksudkan sebagai bentuk pengabdian dan penghormatan yang paling mendasar. Sebab ketika kita merasa dekat kepada Tuhan, maka segala bentuk perbuatan akan bermuara kepada kemanfaatan dan kebaikan. Ada nilai individu yang pada waktunya nanti akan dibalas dengan pahala dari Allah. Lebih dari itu, perbuatan hamba yang dekat dengan Tuhan akan berimplikasi kebaikan dan kemanfaatan kepada orang lain.

Di dalam salat terdapat keluhuran makna kepada diri sendiri. Hubungan Tuhan dengan hamba di dalam salat adalah hubungan vertikal. Allah yang akan membalas kebaikan kualitas salat seseorang. Sementara itu, di dalam kurban, selain hubungan vertikal kepada Allah, juga terdapat hubungan horizontal, implikasi sosial kemasyarakatan dan berdampak baik pada kualitas berkehidupan. Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan