Kisah Preman Balyat

1,086 kali dibaca

Rembulan yang bersinar temaram menemaniku bermalam minggu di teras rumah. Cahaya muram itu menyibak mendung dan menerobos daun-daun kelapa yang berjejer rapi di pekarangan. Gerimis yang tadi sempat menderas kini tinggal menyisakan hawa dingin. Secangkir kopi yang masih mengepulkan uap panas turut pula menemaniku. Tak hanya itu, di samping gelas berisi kopi yang baru diseduh nenek beberapa saat lalu itu menumpuklah puntung-puntung rokok menyaksikan kegelisahanku.

Sesore hingga menjelang larut malam ini paketan dataku telah berkurang dua gigabyte untuk mengulik film-film di Youtube, tak apalah, aku bekerja untuk bertahan hidup. Jangan sampai rasa frustrasi justru yang menikung untuk menghabisi nyawaku. Daripada pikiran kelayapan, berpikir tentang hal-hal negatif, lebih baik aku nonton film.

Advertisements

Di kamar tengah mungkin nenek telah tertidur. Baru saja dia bilang ngantuk setelah bercerita panjang lebar tentang tirakat bapakku ketika aku masih kuliah. Ia banting tulang untuk membiayaiku. Puasa senin-kamis pun tak pernah putus ia lakukan. Kuhirup rokok kuat-kuat seraya mengenang masa-masa saat bersama bapak. Sebak terasa dadaku mengingat semua itu. Tiada rindu yang lebih menyiksa daripada rindu pada orang tua yang telah tiada.

Tiba-tiba ada cahaya motor menyibak gelap diikuti suara yang menderu. Motor GL Max itu bergerak menuju pekarangan rumah. Tak lepas perhatianku mencari tahu siapakah gerangan yang datang malam-malam begini. Sejurus kemudian dia telah sampai di halaman. Ternyata Pak Balyat, tetangga jauh dan merupakan teman dekat bapak. Senyumnya terukir saat melihatku. Aku membalasnya dengan senyum pula.

“Tumben datang malam-malam begini Pak?” tanyaku seraya berdiri menyambut. Dulu dia sering datang di pagi hari membicarakan usaha yang dijalaninya bersama bapak.

“Sedang tak bisa tidur, Tra. Sepertinya terlalu banyak kopi yang kuminum seharian ini,” jawab lelaki paro baya itu. Tokoh desa yang pernah menjadi preman di masa mudanya itu melangkah pelan ke arahku. Dia berkongsi dengan bapak dalam menyewakan alat-alat pesta. Sebenarnya dia dan bapak bagaikan air dengan minyak di masa muda mereka dulu. Bapak guru ngaji, sedang Pak Balyat ketua preman. Namun rupanya bertambahnya umur lambat laun menyadarkan dirinya. Dia tak lagi suka judi dan memalak orang di pasar, walau kadang masih suka minum-minuman keras.

Kekagumanku pada bapak semakin bertambah mengetahui motif pertemanannya dengan Pak Balyat itu. Kata bapak, menasihati orang-orang yang suka judi dan suka memalak orang menjadi lebih mudah ketika berteman dengan mereka. Bagiku, bapak adalah sosok idola, pendekatannya begitu bijak tatkala hendak berbuat kebaikan.

“Kapan pulang? Sedang cuti?” tanyanya sembari mengambil duduk di sampingku. Dia menolak tawaranku minum kopi. Takut semakin tak bisa tidur. Sebatang rokok ia nyalakan kemudian.

“Sedang cuti Pak. Sebentar lagi kan empat puluh harinya bapak,” tukasku.

“Sudah kutebak kau akan pulang.”

Kami lantas terdiam hingga beberapa lama. Sepertinya Pak Balyat tidak datang dengan membawa keperluan penting. Atau mungkin dia masih terpengaruh suasana sedih kematian bapak.

“Bagaimana dulu Pak Balyat bisa berteman dengan bapak?” aku memberi umpan pertanyaan untuk mencegah kesunyian malam. Sebenarnya aku bersimpati pada orang ini. Ternyata menjadi seorang penjahat banyak manfaatnya juga tatkala telah berubah.

Ia tertunduk. Aku melihat guratan kesedihan di wajahnya. “Dulu aku pernah memalaknya. Tapi di suatu saat tatkala istriku hendak melahirkan, bapakmu malah datang memberiku uang. Aku sungguh malu. Brutalnya diriku takluk juga oleh sikapnya yang perwira itu,” Pak Balyat kembali tertegun menekuri diri. “Di kemudian hari, uang pemberiannya itu kukembalikan tapi dia menolak untuk menerimanya. Ia memakai uang itu untuk membeli alat-alat pesta, dan aku pun mendapat pekerjaan darinya hingga kini,” suara berat Pak Balyat menjawab lirih.

“Kau bagaimana Tra. Sudah punya calon?” pertanyaan itu terlontar bersama kepulan asap rokok. Terdengar pula deraian tawa. “Ah, kau tak perlu terpancing dengan pertanyaanku. Banyak hal yang bisa kau lakukan sebelum meniti kehidupan rumah tangga.”

“Apa Pak yang sebaiknya kulakukan sebelum menikah?” tanyaku cepat.

“Carilah pengalaman. Selesaikan dulu perantauanmu. Jauh dari orang tua akan memberimu banyak hal. Termasuk pelajaran untuk berjiwa besar,” jawab Pak Balyat. Aku mengangguk paham.

“Tapi hati-hati. Jauh dari orang tua juga bisa membuatmu liar jika kau tak punya kontrol diri yang kuat. Aku dulu menjadi gelap saat merantau ke ibu kota.” Pak Balyat kembali menyalakan rokok setelah menghabiskan sebatang. Kepulan asap rokok meliuk-liuk di udara dan bergumul dengan bau tembakau, memberi kehangatan di dinginnya malam.

“Masa lalu bisa seperti apa saja ya, Pak. Tapi yang terpenting adalah bagaimana keadaan kita sekarang. Seperti Pak Balyat ini. Banyak penjahat yang insaf karena ajakan Pak Balyat, begitu kata orang,” ucapku. Kuseruput kopi yang masih hangat di hadapanku.

“Aku tidak seberjasa itu, Gatra. Jangan kau bikin aku malu. Aku tetaplah bajingan tengik. Mungkin hanya keadaan yang membuatku lebih bisa kompromi dengan keadaan,” lagi-lagi kepulan asap rokok menyertai ucapannya. Dan jawaban itu membuatku memujinya dalam hati. Jiwa Pak Balyat telah semakin merunduk bagai padi ranum. Masih kuingat dia menghentikan pesta judi yang sedianya akan digelar salah seorang warga. Padahal aparat polisi tak kuasa menangani dedengkot judi itu.

“Kau juga harus begitu, Tra. Andaikan norma agama tak mampu menghentikan nafsumu, berhentilah menurutinya, setidaknya karena melihat norma sosial. Bapakmu seorang ustaz, jangan sampai kau cederai reputasinya. Kalau aku kan preman, tak ada beban kebaikan di pundak anak-anakku, ha-ha-ha,” tawa Pak Balyat kembali berderai. Ngeri juga mendengar kata dan tawanya yang mengandung aroma kebengisan. Kuiyakan ucapannya itu sembari tertawa basa-basi; sikap yang sangat basi, batinku.

“Sepertinya Pak Balyat ini sudah menganggap sebuah kebaikan bukan lagi nilai lebih dari seseorang. Semua kepemilikan mutlak hanya pada Tuhan. Suatu hal yang kita lakukan pun tak layak untuk diakuisisi,” ucapku sok tahu.

“Wah. Aku baru dengar ungkapan itu. Kukira kau sudah sama sekali tak mempelajari agama di perantauan masa mudamu ini. Ha-ha-ha. Ternyata aku salah. Darah ustaz bapakmu mengalir juga ke dalam jiwamu,” ucap Pak Balyat lagi. Entah itu pujian atau cercaan. Di depan Pak Balyat yang telah lama melintangi dunia hitam dan putih ini sulit kubaca pikirannya. Aku pura-pura terbatuk.

“Bodoh sekali aku yang lama berkawan dengan bapakmu tapi tak bisa menirunya. Aku terlalu bejat,” tiba-tiba Pak Balyat menangis. Aku pun terkejut melihat keganjilan itu.

“Pak Balyat telah banyak berubah, Pak. Kenapa harus menyesali diri?”

“Karena terlalu bejat,” tangisnya semakin menjadi-jadi.

“Apa maksudnya?” tanyaku.

Angin berdesis membawa dingin dari berbagai arah. Gerimis kembali turun dan rembulan telah sempurna terbenam oleh kelamnya mendung.

“Aku dipaksa keadaan, Tra. Anakku yang masih kuliah terjerat narkoba. Butuh uang banyak untuk menebusnya. Tak ada tabungan yang bisa kuandalkan. Satu-satunya yang kumiliki adalah aset alat pesta itu. Itu pun milik bersama dengan bapakmu. Lalu aku gelap mata. Kupelintir kata-kata bapakmu. Dulu dia menolak uang itu untuk kukembalikan. Dia menyarankanku untuk membeli alat pesta itu. Lalu aku pun membelinya. Kukatakan pada bapakmu untuk memilikinya bersama-sama. Dia menyetujui. Namun kemudian yang merawat dan menjalankan usahanya sebagian besar adalah aku. Jarang bapakmu terlibat mengurusinya. Dari situ timbul gelap hatiku. Aku hendak mengambil kepemilikan bapakmu dan menjualnya sebagian untuk menebus anakku. Tapi dia menghalangi. Suatu waktu aku mabuk minuman keras karena frustrasi,” ucapan Pak Balyat terhenti.

Aku semakin merasa risih dengan tangisnya. Kenapa mantan preman ini sampai menangis?

“Cerita tentang peristiwa kematian bapakmu yang terbakar mesin genset itu sebenarnya karanganku belaka. Cerita yang sebenarnya adalah, aku sedang mabuk dan bapakmu datang memarahiku. Dia mengataiku yang hendak mencederai kongsi dan persahabatan serta melampiaskan kekesalanku pada minuman keras. Dan aku tak terima. Kesadaranku yang tidak utuh membuatku gelap mata. Kusiram dia dengan bensin lalu kusulut dengan rokok. Aku adalah pembunuh bapakmu,” ucapan itu terdengar parau. Aku terkesiap.

“Jangan percaya pada tangis penyesalanku. Aku ini tercipta untuk menjadi preman. Berilah pembalasan yang setimpal padaku. Laporkan aku pada polisi,” ucapan itu terdengar sebagai sebuah permohonan yang mengenaskan.

“Bunuhlah aku, Gatra! Aku tak ingin menanggung dosa ini lebih lama lagi! Aku telah bosan dihantui rasa bersalah ini!”

Tanganku gemetar. Kembang-kempis dadaku menahan sebak. Kepalaku mendadak terasa sakit. Lalu aku berteriak sekencang mungkin.

Mentaraman, 27/1/2021.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan