Kiai Sholeh, Pancasila, dan Surga

4,519 kali dibaca

Kiai Sholeh tergolong salah satu ulama di Indonesia yang begitu konsisten, dan intens, mengajarkan akan pentingnya akhlak dalam hidup bermasyarakat. Bagi Kiai Sholeh, menjaga keberagaman sebagai fitrah bangsa Indonesia adalah bagian dari akhlakul karimah. Keberagaman itu pula yang menjadi visi dan diterapkan pada lembaga-lembaga pendidikan yang dikembangkannya.

Beberapa hari lalu, sahabat saya, Cak Tarno, menceritakan kisah saat memondokkan anaknya di Pondok Pesantren Ngalah, Purwosari, Pasuruan, Jawa Timur. Ia kemudian menceritakan sedikit tentang pertemuannya dengan pengasuhnya, KH Sholeh Bahruddin Kalam. Ia juga membagikan link rekaman video pengajian Kiai Sholeh Bahruddin yang juga telah diunggah di kanal Youtube pada 7 Desember 2020.

Advertisements

Rupanya, itu bagian dari rekaman pengajian rutin Kiai Sholeh tiap Senin, yang disebut ngaji seninan. Kebetulan, topik bahasannya tentang akhlak. Di sini, saya perlu menyarikannya dari isi pengajian Kiai Sholeh tersebut.

Dengan gayanya yang kalem, hampir selalu tersenyum, dengan tuturan yang lemat lembut, Kiai Sholeh mengawali pengajiannya dengan mengutip kitab Ihya Ulumuddin, masterpiece Imam al-Ghazali yang disebutnya “al-Junaed”.

Menurut Kiai Sholeh, ada empat hal yang membuat seseorang ditinggikan derajatnya oleh Allah. Yaitu al-hilm atau murah hati, tawadhu atau ramah, dermawan, dan berakhlak atau berbudi pekerti yang baik.

“Keempat hal itu akan menjadikan iman seseorang sempurna,” kata Kiai Sholeh yang disampaikan dalam bahasa Jawa —hanya kadang-kadang diselipi bahasa Indonesia. Saat secara khusus membahas tentang akhlak, Kiai Sholeh juga mengutip kitab lain, Faidhul Qodir karya Imam Abdurrouf Al-Munawi.

Menurutnya, orang-orang yang berakhlakul karimah, berbudi pekerti yang baik, adalah orang-orang yang memperoleh tuntunan dari dan memang dikehendaki Tuhan demikian. Akhlak yang baik itulah yang akan menuntun seseorang masuk surga. Yang mengejutkan, tiba-tiba Kiai Sholeh seakan “berbelok” arah dengan membahas Pancasila.

“Dasar negara kita itu apa? Pancasila,” kata Kiai Sholeh. Rupanya, dari sinilah benang merah itu mulai diurai. Sila pertama dari Pancasila, bagi Kiai Sholeh, tak lain adalah perihal tauhid atau ketauhidan. Sementara itu, sila kedua, ketiga, keempat, dan kelima tak lain adalah perkara akhlak, akhlakul karimah.

“Jadi, negara Indonesia itu didirikan atas dasar tauhid atau ketauhidan dan akhlak. Masa sih, masih ada orang yang tidak mau dengan tauhid dan akhlak ini? Masyaallah, mau wedus-wedusan atau gimana? Nauzubillah!” ujar Kiai Sholeh. “Nenek moyang kita, para pendahulu kita itu tidak bodoh.”

Lebih jauh Kiai Sholeh menjelaskan, Bhinneka Tunggal Eka yang menjadi semboyan bangsa Indonesia, yang disebutnya mirip-mirip dengan multikulturalisme, adalah juga perkara akhlak. Rahmatan lil alamin itu juga soal akhlak. “Tanpa akhlak, tak ada bedanya manusia dengan binatang,” kata Kiai Sholeh.

Di bagian akhir pengajiannya, Kiai Sholeh merujuk pada kisah yang ada di dalam kitab Jawahirul Bukhari yang disusun Syeikh Musthafa Muhammad al-Mashri. Pada halaman 344, kitab itu menceritakan tentang seorang pelacur yang masuk surga hanya gara-gara memberi minum seekor anjing yang nyaris mati karena kehausan.

“Kalau berakhlak baik kepada binatang saja dosanya diampuni oleh Allah dan masuk surga, apalagi berakhlak baik dengan sesama manusia. Seperti, menjaga keutuhan bangsa Indonesia ini, itu juga akhlak, dan balasannya adalah surga,” ujar Kiai Sholeh.

The Multicultural University

Concern KH Sholeh Bahruddin Kalam pada keragaman itu tak hanya terlihat pada isi-isi ceramah atau pengajiannya, tapi juga ditanamkan pada lembaga-lembaga pendidikan yang diinisiasinya.

Yang terbaru, di lingkungan Pondok Pesantren Ngalah, di bawah naungan Yayasan Darut Taqwa, pada 2002 didirikan Universitas Yudharta yang juga sering disebut sebagai The Multicultural University.

Dengen pendirian Universitas Yudharta ini, Kiai Sholeh ingin membangun kampus yang merakyat, yang mengantarkan mahasiswa menjadi manusia kaffah, berhati religius dan berkualitas intelektual serta memiliki kesalehan sosial, yang dapat hidup penuh toleransi dan berdampingan, selalu memberikan ketenangan dan kedamaian, serta selalu memiliki daya fungsi maksimal untuk kemanusiaan.

Ide pendirian lembaga yang disebut The Multicultural University  ini rupanya juga terdorong oleh kehadiran KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada 2006. Saat itu, sebagai Ketua Umum PBNU, Gus Dur menjadi Keynote Speaker dalam acara kuliah tamu mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Pasuruan (STAIP) di lingkungan Pesantren Ngalah.

Saat itu, Gus Dur berpedan kepada Kiai Sholeh agar menjadikan Pondok Pesantren Ngalah sebagai pusat kajian Nahdlatul Ulama (NU) dan pusat penempaan kader-kader NU di masa yang akan dating. Atas dorongan Gus Dur itu, semakin kuat keinginan Kiai Sholeh untuk membangun kampus yang berbasis multikulturalisme.

Tapi, untuk sampai pada titik ini, perjalanan yang ditempuh Kiai Sholeh cukup panjang. Kiai Sholeh sendiri merupakan putra pertama dari pasangan KH Mohammad Bahruddin dan Siti Shofrotun, putri Kiai Imam Asy’ari Ngoro, Mojokerto. Kiai Sholeh lahir di Desa Ngoro, Mojokerto pada 9 Mei 1953.

Sejak kecil Kiai Sholeh belajar di rumah diajar langsung oleh ayahnya sendiri dan guru-guru lainnya. Selanjutnya, ketika menginjak dewasa, Kiai Sholeh disuruh ayahnya untuk menuntut ilmu kepada Kiai Syamsuddin Ngoro, yang merupakan pamannya sendiri. Setelah dirasa cukup, Kiai Sholeh juga berguru kepada banyak kiai, di antaranya Kiai Qusairi Mojosari, Kiai Bahri Mojokerto, Kiai Jamal Kediri, Kiai Musta’in Jombang, Kiai Iskandar Jombang, Kiai Muslih Mranggen Semarang, dan Kiai Munawir Nganjuk.

Pada 1975, ketika berusia 22 tahun Kiai Sholeh menikah dengan Nyai Hj Siti Sa’adah dari Trenggalek. Empat tahun kemudian, tepatnya pada 1979, Kiai Sholeh mendirikan Pondok Pesantren Darut Taqwa yang biasa dikenal dengan Pondok Ngalah. Seiring berjalannya waktu, Kiai Sholeh melanjutkan komitmen dan cita-citanya dengan mendirikan kelas jauh STAIP jurusan Pendidikan Agama Islam tahun 1994 untuk memberikan bekal kepada santrinya agar berwawasan lebih tinggi.

Kemudian, tiga tahun berselang, tepatnya pada 1997 didirikan Sekolah Tinggi Agama Islam Sengonagung (STAIS) dengan 2 jurusan, Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Pendidikan Bahasa Arab (PBA). Sejak kedatangan Gus Dur pada 2006, Kiai Sholeh mulai merintis pendirian universitas yang akhirnya terwujud pada 2002 itu.

Kini, di lingkungan Pondok Pesantren Darut Taqwa Ngalah telah terbangun berbagai lembaga pendidikan secara lengkap dengan segala tingkatan, baik nonformal maupun formal, mulai dari TK sampai universitas. Melalui berbagai lembaga pendidikan yang dirintisnya itulah, Kiai Sholeh semakin leluasa menjalankan misinya, yaitu turut serta untuk mencerdaskan bangsa dengan tetap mempertahankan nilai-nilai Pancasila— yang juga disebutnya sebagai nilai-nilai ketauhidan dan akhlakul karimah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan