Kiai Dim, Mursyid Sederhana dan Humoris

1,354 kali dibaca

Sopo seng bungahno wong, bakal dibungahno Allah.” Siapa yang menyenangkan orang lain, akan disenangkan oleh Allah.

Tidak terasa, sosok yang pernah dawuh demikian sudah 6 tahun meninggalkan kita. Yaitu, KH A Dimyathi Romly, atau sering kita panggil Kiai Dim. Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang, Jawa Timur, sekaligus sebagai mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Pusat Rejoso.

Advertisements

Bagi seluruh santrinya, Kiai Dim adalah sosok yang sangat berkesan dalam memori ingatan masing-masing. Beliau adalah kiai yang sangat humoris dan dekat terhadap santri-santrinya. Penampilan Kiai Dim yang sangat sederhana, bersahaja, masih teringat dalam benak penulis yang pernah mendapatkan kesempatan untuk ngangsu kawruh kepada beliau.

Kiai Dim lahir di Rejoso, Jombang, pada 3 Mei 1944. Beliau putra ketiga KH Romly Tamim dari istri Nyai Hj Khadijah Lukman. Sejak kecil, Kiai Dim memperoleh bimbingan dan pendidikan langsung dari ayah dan paman-pamanya di Pesantren Darul Ulum.

Selain itu, Kiai Dim menempuh pendidikan di MI Rejoso, Mts Rejoso, lalu Perguruan Muallimin atas (setingkat MA). Selanjutnya, beliau kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya mengambil jurusan syariah hingga mendapatkan gelar Bachelor of Art (BA) di tahun 1966. Kemudian, beliau melanjutkan kuliah lagi di Fakultas Hukum Universitas Darul Ulum (Undar) dan mendapat gelar Sarjana Hukum (SH).

Sejak 1995, Kiai Dim menjadi al Mursyid Toriqoh Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah menggantikan kakanya, KH Rifai Romly. Selain menjadi al Mursyid, sejak 1985 sampai wafat Kiai Dim juga mendapat amanah di Majelis Pimpinan Pondok (MPP) Darul Ulum sebagai kordinator pendidikan,yang bertanggung jawab terhadap kualitas unit pendidikan yang ada di Pondok Pesantren Darul Ulum.

Selama hidupnya, Kiai Dim juga pernah menjabat sebagai Kepala Sekolah SMA DU 1, Kepala Sekolah PGAN, Kepala Perpustakaan UNDAR, Pembantu Rektor III, dan Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Darul Ulum (UNDAR). Selain itu, Kiai Dim juga pernah menjadi dosen di Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel. Pernah juga berkarier di politik dan menjadi Anggota DPRD Jawa Timur pada periode 1997-1999 dan 1999-2004.

Penulis sempat merasakan kepemimpinan Kiai Dim selama tiga tahun sebelum beliau wafat. Bagi penulis, Kiai Dim adalah figur kiai yang cukup berbeda dengan yang lainya. Seringkali beliau hanya mengenakan baju koko, sarung, dan kopyah putih sebagai sebuah kesederhanaan yang diajarkan kepada kami. Penulis masih ingat, setiap diadakan pertandingan sepak bola ketika liga unit pesantren, Kiai Dim pasti selalu menyaksikan pertandingan tersebut hingga usai.

Suatu ketika, penulis memberanikan diri untuk sowan kepada beliau untuk meminta doa agar saya memperoleh kelancaran dalam ujian dan persiapan menghadapi jenjang selanjutnya. Saya sowan bersama salah atu teman sehabis ashar menjelang petang, waktu itu bertepatan ada tamu salah satu alumni yang juga sedang sowan kepada beliau. Kiai Dim memberikan wejangan bahwa sebanyak apa pun doa dan amalan yang diminta, kalau tidak dijalankan dengan istikamah, ya hanya menjadi koleksi saja. Nasihat itu sangat menampar hati penulis yang hingga saat ini masih belum istikamah dalam menjalankan nasihat tersebut.

Penulis juga banyak mendapatkan cerita dari putra beliau, Gus Azmi, yang menjadi pengasuh penulis di Asrama Alfurqon Darul Ulum. Pengasuh sering bercerita bahwa Kiai Dim adalah sosok yang sederhana dan tidak terlalu mempermasalahkan perkara duniawi. Suatu ketika putra bungsu beliau kehilangan sepeda motor yang belum lama baru dibelikan oleh Kiai Dim. Setelah berita itu disampaikan kepada beliau, ternyata respons beliau tidak sama dengan ekspektasi kita ketika kehilangan sesuatu yang berharga langsung sedih atau emosi. Beliau tetap tenang dan memasrahkan kepada Allah bahwa semua sudah ada tulisanya, “Kabeh wes ono tulisane.”

Penulis juga pernah mendapatkan cerita bahwa Kiai Dim adalah sosok yang humoris sekaligus romantis. Hingga usia beliau sepuh, beliau masih seringkali menjahili istri beliau dengan berbagai tindakan yang lucu dan jenaka. Selain itu, Kiai Dim juga sosok yang romantis terhadap keluarga, terutama kepada istri beliau,  Ibu Nyai Muflichah.

Sejak Kiai Dim menikah hingga wafat, beliau tidak pernah mengeluh dan mengomentari apapun makanan yang dihidangkan oleh bu nyai. Meskipun lauknya sederhana atau masakanya keasinan, Kiai Dim tetap dahar tanpa mengeluhkan apapun. Dari situ Kiai Dim meneladankan rasa beryukur tentang apapun yang Allah berikan.

Terlepas dari kehidupan beliau sebagai seorang pimpinan pesantren, semasa beliau hidup, Kiai Dim istikamah sebagai mursyid tarekat, mengurus umat, dan memimpin pesantren sekaligus politisi. Kiai Dim merupakan sosok representasi dari wajah tradisional pesantren sekaligus dengan wajah kemodernan masyarakat Indonesia. Beliau adalah kiai yang berpikiran maju dan senantiasa mengikuti perjalanan bangsa Indonesia dengan baik.

Banyak hikmah dan uswah yang bisa kita petik dari sosok Kiai Dim. Bilamana kita sering mendengar kalimat “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama,” tentu saja itu adalah peribahasa. Manusia mati meninggalkan nama pada faktanya tidak hanya meninggalkan nama saja, tetapi juga nilai-nilai yang diteladankan kepada generasi selanjutnya. Begitu juga Kiai Dim, beliau meninggalkan legacy besar bagi kita berupa uswah kesederhaan serta ghirah untuk selalu mewakafkan diri kita untuk kepentingan umat. Selamat jalan Kiai Dim, semoga kami dapat meneruskan perjuangkan  dan semangat panjenengan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan