KI SARUDIN DAN PISAU JAGAL

846 kali dibaca

NENEK DAN TUNGKU

nenek dari neneknya di masa lalu
meyakini hati matahari terperam dalam tungku

Advertisements

nyala tungku bukti nyala hidup
melepas jirat helai hitam yang redup

api adalah matang lain
yang diberikan hutan lewat patahan kayu

telah runut pada asap yang bubung
segala biak ragu dada yang bersiung

antara jari dan jelaga ada jarak jaga
barang sejengkal di atas abu yang dangkal

wangi masakan yang mengepung hidung tetangga
pasti ditebus dengan sedekah

begitulah dari dulu nenek bersahabat tungku
sambil meyakini hidup yang membatu.

Rumah FilzaIbel, 2021

AYAH DAN SABIT

sabit rupa jisim lengkung bagai huruf ra’
kilau di genggaman menakar angan

ujung meruncing membandingkan ingin
dengan rasa panas dan dingin

di batu asahan merah
ayah melintaskan beragam mimpinya

dengan olesan air tempayan, sabit digosok maju-mundur
seolah menajamkan semangat biar tak kendur

sebelum ke sawah, ada basmalah sebelum langkah
biar jalan kering atau basah, hidup mesti berkah

seraya berkiblat ketajaman sabit itu
rumput diarit dan dikumpulkan ke palung dadanya yang piatu

:beternak untuk masa depan
adalah menggosok mata sabit ke batu asahan

Gapura, 2021

KI SARUDIN DAN PISAU JAGAL

pisau bergagang kayu yang tergenggam tangan tua itu
jadi tapal batas hidup dan mati
puluhan binatang yang takluk pada janjinya sendiri

telah mengurat dalam kilaunya
sisa darah dari leher sapi, kambing, dan ayam
saksi napas terakhir yang terlepas ke garis batas

mata tua itu menyaksikan sendiri
regang binatang di detik kematian
ketika tak ada kata-kata bisa mewakili sebuah teriakan

tangan tua itu gemetar menaruh pisau di laci
roh puluhan binatang itu seperti pulang dan bermukim di batangnya
menagih tubuhnya kembali sebelum karam matahari.

Bungduwak, 2021

LAMPU DAN KOTA

lampu dan kota terus bersitatap di balik keramaian
keduanya membagi cahaya pada tembok tua penuh grafiti

grafiti dengan gambar absurd berupa tikai kuas membentuk separuh bunga
warnanya menyatu dengan kulit pengemis yang menemani bulan di trotoar

ada laron bermunculan dari mata sayu bocah-bocah pengamen
yang menabuh tubuhnya sendiri untuk musik hidup yang parau

tampak gerak halus daun bonsai yang tak pernah berterima kasih kepada angin
mungkin jenuh oleh jerit kendaraan yang tak selesai berbicara hidup

lampu dan kota bercakap singkat sebelum subuh tiba mengantar fajar ke jendela
dirangkumnya percakapan itu pada bentang sayap kelelawar yang lupa hutan

keduanya juga membuat kesepakatan untuk saling setia merampungkan waktu
sebelum waktu itu tak dikenal arloji dan jam pada suatu hari yang tak bermatahari.

Gapura, 2021

Multi-Page

Tinggalkan Balasan