KH Zuhri Zaini: Sosok yang Alim dan Rendah Hati

3,581 kali dibaca

Penampilannya cukup sederhana nan bersahaja. Tutur katanya yang begitu lembut, halus, dan santun membuatnya disukai dan dicintai banyak orang. Setiap melihatnya, aura kesejukan dan ketenangan terpancar di dalam dirinya. Baju kokoh, peci, dan sarung berwarna putih seakan telah menjadi ciri khasnya. Hari-harinya dipenuhi dengan aktivitas bermanfaat, seperti mengajar dan membimbing santri-santrinya. Juga mengayomi masyarakat.

Itulah KH Zuhri Zaini, putra kelima dari pasangan KH Zaini Mun’im dan Nyai Nafi’ah. Beliau lahir di Probolinggo, Jawa Timur pada 5 Oktober 1948. Karier pendidikannya dihabiskan di Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo, sebuah pesantren yang didirikan langsung oleh ayahanda Kiai Zuhri, KH Zaini Mun’im. Mulai dari tingkat Madrasah Ibtidaiyah hingga ke Perguruan Tinggi, dan akhirnya menyandang gelar BA (singkatan dari Bachelor of Arts).

Advertisements

Di pesantren asuhan ayahandanya ini, Zuhri mudah mempelajari pelbagai ilmu pengetahuan, khususnya tentang ilmu-ilmu keislaman. Misalnya, ilmu gramatika bahasa Arab melalui kitab-kitab seperti Jurumiyah, Mutammimah, Alfiyah, dan Ibnu Aqil. Juga kitab-kitab fikih, semisal Safinatun Najah, Sullamut Taufiq, Fathul Qorib, Fathul Mu’in, dan lain sebagainya.

Merasa tidak puas hanya belajar di pesantrennya sendiri –meski telah menyandang gelar BA– Zuhri muda akhirnya melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Pesantren Sidogiri Pasuruan selama tiga tahun. Di pesantren inilah, beliau belajar langsung tentang ilmu-ilmu keislaman kepada (alm) KH Cholil Nawawi, salah satu pengasuh pesantren tertua tersebut.

Berkat didikan langsung keluarga dengan ditopang semangat tinggi dalam menimba ilmu pengetahuan, tidak heran jika Kiai Zuhri tumbuh menjadi sosok yang sangat mahir dan alim, khususnya di bidang ilmu agama.

Bahkan, kealimannya tersebut sudah masyhur di kalangan masyarakat, terutama wilayah Jawa Timur. Terbukti, ndalem Kiai Zuhri nyaris tak pernah sepi dari para tamu. Saban waktu selalu berdatangan. Tentu dengan maksud dan tujuan yang berbeda-beda.

Tak hanya itu, kealiman dan kedalaman ilmu pengetahuan yang dimiliki Kiai Zuhri juga bisa dibuktikan dari kitab-kitab yang diampuhnya secara langsung. Ada beragam kitab yang dibacakan Kiai Zuhri kepada santri-santrinya. Misalnya, di masjid (pada sore hari dan sekarang dipublikasikan di kanal Youtube Nurul Jadid), beliau membacakan kitab Fathul Qorib, Riyadhus Shalihin, dan Tafsir Jalalain yang diikuti oleh seluruh santri dan para alumnus Nurul Jadid.

Di musala (sehabis salat subuh), kitab yang dibacakan adalah kitab tasawuf, seperti Minhajul ‘Abidin (karya Imam Ghazali) dan Al-Hikam (karya Ibnu Atha’illah as-Sakandari) yang, dikhususkan pada santri-santri senior. Sementara, di Ma’had Aly (selesai salat Magrib), Kiai Zuhri mengampu kitab Bulughul Maram (untuk semester 1) dan Mukhtasar Ihya Ulumiddin (untuk semester 3).

Menarik, walaupun kealimannya sudah masyhur di kalangan masyarakat tidak lantas membuat Kiai Zuhri bersikap arogan dengan merendahkan orang lain. Sebaliknya, beliau justru bersikap rendah hati dan hormat pada siapa pun baik yang miskin sampai yang kaya, dari yang jelata maupun yang berpangkat. Semua orang beliau layani dan hargai. Jika sedang menghadapi banyak tamu, Kiai Zuhri memberikan perhatian pada mereka semua. Bahkan, mereka ditanyai satu persatu, sehingga tidak ada yang merasa disepelekan.

Yang paling berkesan dari kerendahan hati dan akhlak Kiai Zuhri. Pada waktu saya masih berada di pesantren, dan mengaji langsung kitab Bulughul Maram dan Mukhtasar Ihya Ulumiddin kepada beliau. Biasanya, beliau menyuruh santri satu per satu untuk membacanya.

Kebetulan, ketika saya mendapat giliran membaca, ada satu lafaz yang keliru bacaan dan maknanya. Maklum masih awam. Dalam pikiran saya, sudah pasti saya akan dimarahi oleh beliau. Ternyata, Kiai Zuhri hanya tersenyum sembari berkata dengan nada ramah, santun, dan lembut, “Tidak tahu itu wajar, namun harus tetap semangat dalam belajar.”

Sungguh, betapa rendah hati dan mulianya akhlak KH Zuhri Zaini. Bukan hanya kepada para ulama, habaib, dan orang luar (tamu maupun wali santri), tetapi terhadap santrinya pun Kiai Zuhri menggunakan tutur kata yang sangat halus, lembut, dan santun. Bahkan, jika ada salah satu santrinya yang sudah menjadi kiai, Kiai Zuhri sangat menghormatinya. Di depan mereka, sikap beliau laiknya sikap seorang santri pada kiainya.

Demikianlah, sosok KH Zuhri Zaini pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo yang patut kita teladani. Semoga beliau selalu diberikan kesehatan oleh Allah. Amin. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan