Ketika Keiinginan Mondok Terpenuhi Setelah Dewasa

3,052 kali dibaca

Secara fisik, umumnya pondok pesantren dipahami sebagai suatu tempat yang menyediakan asrama bagi anak yang mau belajar kepada guru atau kiai. Pesantren dan asrama rasanya sudah menjadi satu kesatuan. Tak boleh tidak, keduanya tidak terpisahkan. Dan keberadaan asrama menjadi sesuatu yang menakutkan bagi sebagian anak.

Bagi saya, ketika masih kecil dulu, membicarakan pondok pesantren sama dengan membicarakan bagaimana rasanya kalau jauh dari orang tua. Tidak hanya orang tua, mondok berarti jauh dan terpisah dari banyak hal yang disukai tapi justru akan dilarang di pondok pesantren nantinya.

Advertisements

Tentu ketika saat itu almarhum ayah saya menawarkan pilihan antara “mondok” atau melanjutkan sekolah di Madrasah Aliyah Negeri, saya tak perlu pikir panjang untuk menjawab, “Saya mau sekolah di MAN”. Pilihan itu tak terlalu sulit bagi saya karena memang tak ada jalan lain supaya saya tidak jauh dari orang tua dan hobi yang saya senangi waktu itu , yaitu bermain game, musik, dan berkesenian.

Keiinginan ayah agar saya belajar ilmu agama lebih dalam, akhirnya dapat dinego setelah almarhumah ibunda saya juga ternyata tidak setuju saya mondok. Dua kosong untuk kemenangan saya. Saya bisa menuruti keinginan ayah untuk belajar agama di MAN, sembari itu pulang sekolah saya juga masih bisa lanjut berkesenian.

Pilihan itu, ternyata tidak sepenuhnya cocok. Setidaknya, perasaan dan pikiran itu muncul ketika saya mulai belajar di MAN. Perlahan literasi keagamaan yang saya terima dari guru di MAN justru menyeret saya ke dalam lembah penyesalan, mengapa saya tidak tertarik dengan pengetahuan yang justru sangat penting ini?

Adalah literasi tasawuf dan ilmu kalam dalam mata pelajaran Aqidah Akhlak yang saat itu berhasil memukau saya. Betapa indahnya pengetahuan akan literasi keagamaan yang menjadi fundamental kita dalam menjalani seluruh alur ceritak kehidupan di dunia ini. Sungguh indah, ketika seseorang berhasil selamat menjalani kehidupan di dunia ini sesuai dengan syariat dan tidak membuat-Nya murka sama sekali dan justru berbalik berhasil mendapatkan rida-Nya.

Saya terpukau bagaimana agama sebenarnya adalah jawaban atas segala persoalan yang dihadapi oleh manusia. Ketika sulit mereka diajarkan untuk bersabar, bahwa orang sabar sedang bersama Tuhan dan tentang syukur adalah doa lanjutan yang justru akan membuat manusia mendapatkan hadiah lebih banyak lagi dari Tuhan. Puncaknya, saya terpukau dengan sebuah keadaan dari manusia yang merasa bahagia dengan apapun yang menimpanya, yaitu rida dengan segala keputusan-Nya.

Pada akhirnya, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Nasi sudah menjadi bubur, kesempatan tak bisa diulang. Saya tidak bisa mengulang pilihan untuk masuk pondok pesantren, karena biaya sudah keluar banyak dan tentu orang tua saya tidak mau saya mengulang satu ajaran baru lagi karena pindah sekolah. Singkatnya, saya meneruskan belajar di MAN sampai tamat.

Berbekal pengetahuan yang tentunya hanya sebatas standar kurikulum yang wajib saya tuntaskan selama belajar di MAN, saya kemudian ditakdirkan oleh Allah untuk melanjutkan belajar di perguruan tinggi. Di perguruan tinggi ini, saya justru semakin tersiksa dengan penyesalan, mengapa saya tidak memilih pondok pesantren waktu itu.

Bukan berarti saya mendiskreditkan MAN tempat saya belajar selama tiga tahun, tapi rasanya kurang pas, untuk orang yang pada akhirnya jatuh hati dengan literasi ala pesantren, khususnya tentang pengalaman spiritual seperti tasawuf, menghabiskan banyak waktu di tempat yang kurang tepat. MAN adalah alternatif bagi mereka yang menghindari pondok pesantren, ingin belajar agama tapi masih ingin dekat dengan orang tua. Bagi saya yang kemudian menjadi senang dengan literasi pesantren, rasanya tempat itu kurang pas.

Di bangku kuliah, saya memang punya akses bacaan yang bebas. Saya bebas membaca buku yang disediakan perpustakaan kampus yang tentunya tak mungkin saya habiskan semua. Akan tetapi, pembacaan demikian semakin membuat saya gelisah, sehingga muncul pertanyaan benarkah apa yang saya pahami dari hasil bacaan saya itu?

Hal ini bukan berarti saya meragukan isi dari buku yang saya baca. Saya yakin isinya tentu bermanfaat, akan tetapi, pemahaman saya itu perlu saya lemparkan balik kepada seseorang yang nantinya juga melemparkan balik kepada saya. Sederhananya, saya butuh teman diskusi.

Adanya teman diskusi tersebut menunjukkan bahwa adanya celah dari hasil pembacaan saya, yakni ketiadaan seorang guru. Model pembelajaran diskusi kelompok dan presentasi di depan kelas memang cocok melatih kemampuan berbicara dan berdiskusi saya, akan tetapi untuk pemaknaan terhadap apa yang dipelajari rasanya masih ada yang kurang. Yang saya rasakan waktu itu, berdiskusi memunculkan nafsu tersendiri untuk menjatuhkan lawan, bahkan lebih parah dari itu adalah adanya rasa menyombongkan diri ketika kita menang atau diakui sebagai yang terbaik dalam forum diskusi.

Berbeda dengan pesantren, meskipun pola diskusi juga diterapkan dalam kegiatan bahtsul masail tetapi konsep tawadu’ tetap dijaga, bahwa segala pengetahuan semuanya berasal dari Tuhan juga tak pernah sirna dari pemikiran santri.

Hal ini baru saya sadari dewasa ini, ketika pada akhirnya saya berada di lingkungan pondok pesantren—bukan sebagai santri berusia remaja lagi, melainkan sebagai seorang guru Bahasa Indonesia yang mengabdikan diri di sekolah kejuruan berbasis pesantren.

Kenangan dan kehausan saya akan belajar agama di pesantren akhirnya terobati ketika saya mulai mengajar di salah satu lembaga milik pesantren ini. Selain pada akhirnya saya mengenal dan tahu betul bagaimana hidup sebagai seorang santri—dengan melihat keseharian santri selama di asrama, saya juga akhirnya punya kesempatan mengaji langsung dengan kiai. Meskipun saya tidak mampu menulis syarah—memaknai kitab kuning—ala santri menggunakan huruf pegon saya cukup puas memaknai kitab kuning dengan huruf latin berbahasa Indonesia.

Pengetahuan saya tentang fikih, hukum-hukum yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari, dan juga pendalaman olah spiritual ala tasawuf menjadi lengkap secara perlahan. Yang dulu saya pertanyakan akhirnya mulai menemukan jawabannya, tanpa perlu ada lawan diskusi, tetapi langsung dijelaskan dan diterangkan oleh kiai.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan