Ketika Badai Berlalu

1,640 kali dibaca

Cuaca sangat terik di Ketok Lor dekat Pantai Prigi. Para nelayan sedang memperbaiki pukat mereka untuk persiapan mencari ikan. Sesaat kemudian, Mbah Waras berjalan di depan mereka yang sedang berkumpul.

“Nanti nggak melaut, Mbah?” Rahmat melontar pertanyaan kepada Mbah Waras.

Advertisements

“Tidak. Sepertinya nanti akan ada badai besar. Aku mau ngopi saja di warung Mbok Jah,” jawab lelaki tiga perempat abad itu.

“Kemarin sudah badai, hari ini juga badai. Bisa kosong wakul1-ku.” Usai berkata demikian, Jain kemudian mengambil sebatang rokok dan menyulutnya.

“Mending wakul kosong daripada istrimu menjanda dan anakmu telantar. He-he-he…,” sahut Padil sambil terkekeh.

Semua pun tertawa mendengar celetukan Padil. Prediksi Mbah Waras selama ini hampir tak pernah meleset. Pada umur enam tahun, Mbah Waras sudah diajak ayahnya untuk melaut. Hal itu membuat tubuhnya sangat peka terhadap cuaca. Karena hal itu, warga Ketok Lor lebih memercayai omongan Mbah Waras daripada BMKG. Dulu, ada nelayan yang tidak mematuhi Mbah Waras untuk tidak  melaut. Nelayan itu akhirnya hilang ditelan badai dan tak pernah ditemukan sampai sekarang.

***

Sudah tiga hari Okta kehabisan stok ikan cakalang. Para pelanggannya pun banyak yang mengeluh. Bahkan ada juga pelanggan yang sudah berpindah ke restoran lain.

“Bagaimana, sudah mendapatkan stok ikan segar untuk restoran saya?!” tanya Okta bernada marah.

“Sekarang saya akan mencarinya, Pak. Hari ini pasti dapat,” jawab Birin kepada Okta.

“Sudah tiga hari sampeyan1 bilang ‘Hari ini pasti dapat-hari ini pasti dapat’ tapi kenyataan hari ini belum menyuplai. Restoran saya sudah banyak kehilangan pelanggan beberapa hari ini gara-gara aku masih percaya sama kamu!” Okta menutup teleponnya.

Birin berkali-kali berusaha menghubungi Okta. Ia tidak mau kehilangan pekerjaan sebagai makelar ikan.

“Halo Pak. Saya mohon maaf atas kejadian kemarin-kemarin. Kemarin memang cuaca di Trenggalek sangat buruk hingga para nelayan tidak ada yang berani melaut. Mohon beri saya kesempatan untuk menyuplai restoran Bapak sekali lagi. Jika hari ini tidak mampu, saya akan sukarela mengundurkan diri.”

“Baiklah. Sebenarnya sudah banyak tawaran yang ingin menyuplai ikan ke tempat saya. Tetapi karena saya menghargai relasi kita selama ini, saya menolak tawaran mereka.”

Tak membuang waktu lagi, Birin tancap gas pick up-nya menuju Ketok Lor. Ia berencana mencari stok cakalang agar bisa menyelamatkan pekerjaannya. Hampir semua nelayan Ketok Lor sudah ia datangi, tetapi sayangnya tak seorang pun yang memiliki ikan yang ia inginkan.

“Coba kamu tanya Padil. Rumahnya di belakang pasar ikan. Mungkin ia mau melaut untukmu,” usul Jain kepada Birin.

“Baiklah. Terima kasih atas informasinya.”

Siang itu awan gelap mulai mengintip di balik bukit. Tetapi, mentari masih bersinar terang di atas Pantai Prigi. Saat itu, Birin mengemudikan pick up-nya menuju rumah Padil.

“Permisi…,” Birin mengetuk pintu.

“Ya, sebentar,” jawab Padil sambil membuka pintu.

“Perkenalkan saya, Birin, saya pengepul ikan cakalang.”

“Saya Padil. Kedatangan Bapak ke sini ada perlu apa?”

“Saya sebelumnya memohon maaf. Saya ke sini ingin merepoti Mas untuk mencarikan cakalang.”

“Menurut Mbah Waras, badai akan…,” belum selesai berucap, Birin memotong perkataan Padil.

“Saya telah mengelilingi desa hari ini. Saya berharap ada orang yang membantu saya untuk mencari cakalang 10 kg saja. Sudah tiga hari ini saya tidak menyetori restoran tempat saya bekerja. Jika hari ini saya tidak setor, saya akan dipecat. Nasib saya bergantung dari bantuan, Mas. Saya akan membayar dua kali lipat hasil tangkapan hari ini jika Mas setuju.”

“Akan aku pertimbangkan,” kata Padil.

Melihat Padil tidak tertarik dengan tawarannya, Birin terus merayu dengan berbagai cara, tetapi Padil belum bisa memberikan jawaban.

Senja begitu cerah menghiasi Pelabuhan Perikanan Prigi membuat Padil terpikir kembali penawaran Birin.

“Masa cerah begini akan ada badai?”

Ia mengeluarkan HP-nya kemudian menawarkan kepada Birin untuk membeli hasil tangkapan tiga kali dari harga normal. Ia menyatakan bahwa hal itu sebanding dengan risiko yang akan ia hadapi jika terjadi badai. Karena tidak ada pilihan lain, Birin pun menyetujui permintaan Padil.

***

Seusai maghrib, Rahmat berniat untuk mengecek perahunya. Di tengah perjalanan, ia melihat ada cahaya lampu di sebuah perahu.

“Apa ada orang yang beniat melaut hari ini?”

Rahmat yang penasaran mendekati perahu tersebut. Ia melihat Padil memasukkan berbagai perlengkapan untuk melaut.

“Dil, kamu mau melaut malam ini?” Mendengar sapaan yang muncul di kegelapan, Padil terkejut.

“Ah, kamu Mat. Bikin kaget saja,” sahut Padil.

“Orang-orang nggak ada yang berani berlayar malam ini. Kamu kenapa nekat?”

“Sepanjang hari ini kan cerah, jadi bagus untuk melaut. Lagian tadi ada tengkulak yang menemuiku. Ia menawarkan aku untuk mencari cakalang dengan harga tiga kali lipat. Ya, aku terima. Dengan uang itu, aku kan bisa santai-santai dua minggu. Ha-ha-ha.”

“Kamu jangan nekat begitu, nyawa tidak ada di toko.”

Rahmat berusaha menasihati Padil, tetapi ia tetap tidak acuh. Malah Padil mengajak Rahmat untuk menemani melaut, tetapi ia menolaknya.

“Doakan aku dapat ikan, nanti kalau sudah dapat uang kutraktir kamu.”

Padil menstarter dieselnya, melajukan perahunya ke laut. Di balik bukit belakang Ketok Lor, awan pekat mulai bergerak ke arah pantai.

***

Padil memgemudikan perahunya ke tengah laut. Ia menebarkan pukat di tempat biasa memukat, tetapi hanya beberapa ikan tongkol rengis yang ia dapatkan. Karena ikan yang dicari tidak ada, ia memutuskan berpindah tempat. Hatinya yang terobsesi dengan pendapatan tiga kali lipat membuatnya tidak menyadari jika perahunya sudah dekat dengan zona berbahaya, yaitu Samudra Hindia. Sekali lagi, ia mencoba menurunkan pukatnya di ujung Teluk Prigi. Kali ini ia mendapatkan beberapa ikan cakalang.

“Nasib baik ternyata ada di sini.”

Pukat diturankan lagi, Padil menunggu sambil membuka bekal makan malam yang sudah disiapkan dari rumah. Ia berniat mengisi tenaganya yang mulai terkuras. Setelah makan, ia menyulut sebatang rokok.

Hati Padil terlalu bersemangat memukat, ia tak memperhatikan bahwa badai telah menapaki Pantai Prigi. Gerimis yang turun membasahi perahunya baru membuatnya tersadar bahwa awan gelap telah sampai di atas perahunya.

Beberapa menit kemudian, gelombang tinggi mulai mendatangi perahu cadiknya. Ia segera menstater mesin perahunya untuk menghindari badai. Hatinya mulai kecut kemudian berbisik, “Mengapa aku mengacuhkan nasihat mereka.”

Ia mencoba mengemudikan perahunya menuju pelabuhan. Badai dari arah pantai mulai menerpanya. Gelombang setinggi dua meteran bertubi-tubi menghantam perahunya. Kejadian itu mengakibatkan mesin perahu mati karena kemasukan air. Berkali-kali ia menstarter perahunya tetapi mesin tidak mau hidup.

Gelombang tinggi itu tanpa ampun menghajar perahu Padil hingga cadik kanan perahunya patah. Kejadian itu membuat perahunya hilang keseimbangan sampai terbalik. Padil yang terguling bersama perahunya melihat keranjang terjatuh, ikannya berhamburan tenggelam bersama semua isi perahu.

***

Di tengah hujan badai, Rahmat pergi ke rumah Mbah Waras. Ia berniat meminta Mbah Waras untuk menyelamatkan Padil yang sedang diterpa badai di laut.

“Jika aku masih muda, belum tentu aku bisa melawan badai besar seperti ini.”

“Terus bagaimana, Mbah? Apa kita biarkan Padil mati tenggelam?”

“Bukan aku tak mau menyelamatkan Padil. Tapi, aku tak mungkin memerintahkan warga mencari orang yang belum tentu selamat. Jika aku memaksa orang-rang mencarinya di tengah badai seperti ini, sama saja menyuruh meraka bunuh diri.” Mbah Waras melangkahkan kakinya ke jendela kemudian memandang ke tengah laut.

“Aku rasa dini hari atau pagi nanti badai akan berakhir. Kamu suruh para warga berkumpul ke sini jika badai sudah reda.”

Badai terus menghujam tubuh Padil sepanjang malam. Entah berapa banyak air yang masuk ke tubuhnya. Tangannya mengait sebuah balok kayu yang terapung. Di tengah gelapnya badai, ia hanya mampu berdoa semoga ada yang menjemputnya malam ini.

***

Sehabis subuh banyak warga menuju pelabuhan. Mereka berkumpul di berapa perahu yang berada di pelabuhan.

“Dawam, kamu pimpin tiga perahu menyusuri teluk timur. Rahmat kamu pimpin tiga perahu menyusuri teluk barat. Aku, Pak Kasun, dan sisanya akan menyusuri bagian tengah teluk,” perintah Mbah Waras kepada tim pencari.

Mbah Waras merasakan akan ada badai susulan di sore itu. Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang sebelum menemukan Padil.

“Kamu hubungi semua kapal segera kembali ke pelabuhan karena akan ada badai susulan yang segera datang.”

Prediksi Mbah Waras terbukti, bakda maghrib hujan mulai turun. Beberapa saat kemudian, angin kencang mengiringi hujan. Suara halilintar mengelegar. Di Samudra Hindia, ombak pun kembali menggila menghantam tumbuh lemah Padil. Walaupun badai tak seganas kemarin, hantaman ini terasa lebih kuat karena tenaganya makin melemah. Terlihat wajah Padil semakin memucat. Itu terjadi karena ia terlalu banyak meminum air hingga tubuhnya dehidrasi.

“Ayo badai, hantam aku. Aku tak kan menyerah.” Padil berteriak sekuat tenaga.

***

Pada hari ketiga, Perahu Jain melihat serpihan di perbatasan Teluk Prigi dan Samudra Hindia. Perahu mereka dengan cepat diarahkan ke lokasi tersebut.

“Kami telah menemukan Padil,” kata Jain melalui HT yang dibawanya.

“Ketemu di mana?” tanya Rahmat.

“Ia mengapung bersama balok-balok pecahan kapalnya di ujung Teluk Prigi.”

“Bagaimana kondisinya?”

“Ia sepertinya sedang kritis.”

Multi-Page

Tinggalkan Balasan