Ketika 22 November 2006

2,347 kali dibaca

“Tak cukup hanya mengerti, tapi juga harus memahami,” pesan Pak Kiai saat mengkaji kitab Ihya Ulumuddin selepas salat Ashar.

Pesan ini yang selalu diingat oleh Qif dan membuatnya menjadi santri yang istimewa. Istimewa bukan karena menjadi santri yang cerdas atau santri yang berprestasi, tetapi santri yang bertutur dan bersikap dengan hati.

Advertisements

Qif adalah seorang santri yang memilih jalan perantauan di Pondok Pesantren Raudhatul Muta’allimin Kedung Cangkring, Jabon, Sidoarjo. Qif terbayang saat kali pertama memasuki wilayah Kedung Cangkring. Qif harus menaiki dokar untuk menuju lokasi pondok pesantren. Qif memilih duduk tepat di samping pak kusir, sedangkan orang tuanya duduk di belakangnya. Qif ingin merasakan sensasi menaiki dokar seakan-akan menjadi kusirnya.

Mungkin inilah yang disebut dengan “keberuntungan”. Tepat setelah kuda berjalan beberapa meter, sang kuda mengangkat ekornya. Tetiba sesuatu berwarna hijau kekuning-kuningan beraroma khas keluar dari balik ekornya dan jatuh berceceran di tengah-tengah jalan. Qif menjadi saksi hidup saat seekor kuda menunaikan hajat alaminya sebagai seekor binatang yang makan dan minum. Seketika hal tersebut membuat Qif “mabuk kuda” dan memilih pindah ke belakang.

Banyak pengalaman tak terlupakan yang dialami Qif selama mondok selain mengaji, salat berjamaah, dan lain-lain. Mulai dari mencuci baju sendiri, menjemurnya sendiri, hingga menimba air pun sendiri. Pernah suatu kali Qif harus rela memacu adrenalinnya saat hampir tenggelam di dalam sumur karena tak kuat menahan beban air saat menimba. Tentu saja hal ini terjadi disebabkan beberapa hal, antara lain karena postur tubuh Qif yang lebih memprihatinkan jika dibandingkan dengan ukuran timba sumur yang cukup gemuk sekaligus berat. Apalagi, otot-otot tangan Qif belum terbiasa melakukan pekerjaan-pekerjaan berat.

Ada satu kejadian yang tak akan dilupakan Qif seumur hidupnya, yakni peristiwa tak terduga pada hari Rabu, 22 November 2006. Ketika itu, tiba-tiba semua santri panik dan berteriak, “Wooiiiii, kiamat!!!!!!”

***
Sudah menjadi ciri khas setiap pondok pesantren memiliki kegiatan yang disebut bahtsul masail. Istilah ini diambil dari bahasa Arab yang berarti membahas beberapa masalah. Bahtsul Masail dilaksanakan dengan konsep musyawarah oleh beberapa kelompok yang dipimpin oleh moderator dan didampingi oleh mushohhih untuk memutuskan jawaban yang paling bijaksana dari kumpulan jawaban masing-masing kelompok.

Jawaban-jawaban yang terkumpul harus berlandaskan pada dalil-dalil yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalil-dalil tersebut bersumber dari satu di antara empat imam Mujtahid Mutlak, yaitu Imam Syafi’i, Imam Hambali, Imam Hanafi, dan Imam Maliki. Tentu saja yang dibahas adalah masalah-masalah kontemporer yang tidak tercantum secara jelas di dalam Al-Quran dan Hadis, sehingga harus meruju pada kitab-kitab karya ulama salaf yang merupakan penjelasan secara mendalam isi Al-Quran dan Hadis. Misalnya, saja masalah tentang penggunaan obat penunda haid pada jamaah haji perempuan agar tidak mengganggu rangkaian ibadah haji dan umroh. Dalil tentang penggunaan obat tersebut tidak akan ditemui secara jelas di dalam Al-Quran dan Hadis.

Di Pondok Pesantren Raudhatul Muta’allimin, kegiatan bahtsul masail dilaksanakan setiap hari Rabu selepas Isya. Dengan adanya kegiatan ini, para santri diharuskan mencari dasar atau dalil dalam kitab-kitab fikih guna menjawab permasalahan yang akan dibahas pada hari Rabu. Sama halnya dengan santri-santri yang lain, Qif juga dipusingkan oleh soal yang akan dibahas malam nanti. Hingga pagi ini, Qif belum menemukan dalil yang pas untuk menjawabnya, sedangkan waktu sudah semakin sempit. Dari kejauhan teman sekelompoknya yang bernama Alif berlarian memanggil-manggil namanya.

“Qif, bagaimana tentang jawaban untuk soal malam nanti?” tanya Alif.

“Coba kau tanyakan pada langit Al, siapa tahu ia mengetahui jawabannya,” kekeh Qif.

“Ah, kau selalu saja tak pernah serius,” balas Alif.

“Aku belum menemukan jawaban yang pas Al. Aku mulai lelah. Aku butuh piknik. He-he-he,” kekeh Qif lagi.

“He-he-he. Eh Qif, ngomong-ngomong permasalahan yang dibahas itu tentang apa?” tanya Alif tanpa dosa.

“Hei, teruntuk kau yang berwajah tanpa dosa tetapi harus dioles tahi kuda. Kamu, kan, kelompokku, seharusnya kamu membantuku mencari jawabannya. Bukan malah soalnya saja tidak tahu,” jawab Qif dengan tegas.

“He-he-he-he, maaf Qif aku, kan, tak sejenius kamu,” ucap Alif dengan nada merayu.

Percakapan itu harus berhenti sebab mereka harus segera mengantre mandi agar tidak telat berangkat ke sekolah. Jika mereka terlambat beberapa detik saja, maka mereka harus bersiap-siap berangkat ke sekolah dengan kondisi “setengah matang”. Bagian kepala mandi, sedangkan leher ke bawah tidak mandi. Nekat mengantre pada antrean yang panjang sama saja dengan rela berjemur layaknya turis di tengah lapangan sekolah.

Selesai mandi, Qif segera membungkus badannya dengan seragam sekolah dan segera memakai sepatu sebab Alif sudah memanggil-manggil namanya dari gerbang pondok. Alif memang sedikit menyebalkan, tetapi dia teman yang bisa diandalkan. Alif tak akan tega membiarkan sahabatnya terlambat sendiri. Dalam perjalanan ke sekolah, Qif masih gelisah perihal jawaban untuk masalah malam nanti. Qif merasa ada yang mengganjal di hatinya saat ia tak bisa menunaikan tanggung jawabnya.

Betapa hebatnya pondok pesantren yang mampu mengajari anak seusia Qif tentang amanah. Anak sekecil itu merasakan kegelisahan saat ia tak bisa menunaikan tugasnya dengan baik. Qif memang santri yang istimewa. Qif selalu berusaha memaknai kalimat yang ia dengar dengan dengan hati, seperti pesan yang disampaikan oleh Pak Kiai bahwa mengerti saja itu tak cukup, tetapi juga harus memahami. Qif berusaha memahami pesan tersebut bahwa untuk menjadi orang yang paham, harus cenderung menggunakan hati. Sebab, letak perbedaan antara mengerti dan memahami ada pada hati. Qif akan mengerti betapa pentingnya pemahaman seperti ini. Jika tak sekarang, berarti nanti.

***
Azan Isya berkumandang sayup-sayup merdu di antara derap-derap langkah para santri yang hendak berwudhu. Suasana seperti ini membuat Qif terenyuh. Saat melihat puluhan santri berbaris rapi menunggu giliran berwudhu tiba. Gemericik tetesan air yang terus mengalir tanpa henti hingga barisan-barisan suci itu habis berpindah ke dalam musala. Qif terenyuh sebab melihat mereka semua yang tanpa sadar telah berlatih kesabaran. Bersabar untuk tidak mendahului orang lain, bersabar untuk tidak mengeluh saat menunggu, dan pastinya bersabar untuk memenuhi syarat yang harus dilakukan sebelum memenuhi kewajiban shalat lima waktu.

Qif tersadar dari lamunannya saat ia teringat perihal jawaban untuk bahtsul masail setelah ini. Sejak dari tadi siang sepulang sekolah, Qif berusaha mencari dalil yang pas, tetapi hasilnya belum beruntung, silakan coba lagi. Qif bergumam lirih dalam hati, “Alif, maafkan aku. Sepertinya kita nanti harus siap-siap melemaskan kaki.”

Peraturan dalam bahtsul masail adalah barang siapa kelompoknya tidak menemukan jawaban, maka disilakan dengan hormat untuk berdiri hingga kegiatan ini selesai sebagai hukumannya. Qif segera berwudhu dan berjamaah salat Isya.

Selepas salat Isya berjamaah, semua santri menuju kelasnya masing-masing untuk melaksanakan kegiatan bahtsul masail. Qif melangkah tanpa semangat memasuki ruang kelasnya. Seperti dugaannya, hanya kelompoknya yang tidak mengumpulkan jawaban.

Tibalah saatnya Qif dan Alif harus berdiri dengan penuh ketulusan. Qif memilih berdiri sambil merenung. Ada rahasia yang tak disampaikan oleh Qif kepada Alif. Rahasia yang Qif simpan sendiri. Sebenarmya Qif tidak menemukan dalil bukan karena Qif gagal menemukannya. Qif sudah menemukannya, tetapi bersamaan dengan itu Qif mengetahui bahwa ada kelompok lain yang juga menemukan dalil yang sama dengan Qif. Qif memilih tak memakai dalil tersebut sebab Qif tidak mau melihat temannya berdiri hanya karena kalah cepat dalam mengumpulkan jawaban. Qif memilih mencari dalil dari kitab lain, sayangnya dalil yang Qif temui tidak sekuat dalil sebelumnya. Akhirnya Qif memilih tidak mengumpulkan jawaban karena tidak ada dalil yang pas. Yang paling pas adalah tidak menyusahkan orang lain. Mungkin hal tersebut tak bisa dimengerti, tetapi bisa dipahami. Seperti pesan Pak Kiai.

***
Di tengah-tengah renungannya, Qif melihat ke luar jendela. Qif terbelalak kaget melihat langit yang mulanya gelap tiba-tiba berubah menjadi merah menyala. Selang beberapa saat sebagian besar santri juga ikut melihatnya. Tetiba keadaan menjadi tak terkendali, gempar, dan panik menjadi satu. Peristiwa yang tak pernah terjadi di masa-masa sebelum ini. Qif bergumam dalam hati, “Apakah benar ini Kiamat?”

***
Semua santri keluar dari kelasnya masing-masing. Ada yang penasaran dengan apa yang terjadi, ada yang sangat panik, bahkan ada yang kebingungan hingga berkali-kali keluar masuk kelas tanpa tujuan. Salah seorang santri yang bernama Zen bertanya kepada Sobah, santri yang lain.

“Sob, mengapa langitnya berwarna merah menyala seperti itu?” tanya Zen bingung.

“Mungkin di langit sedang terjadi kebakaran Zen dan mobil pemadam kebakaran belum datang,” gurau Sobah mencoba menenangkan Zen. Meskipun hal tersebut jelas tidak mungkin terjadi.

“Jangan bergurau Sob. Apa benar hari ini kiamat? Aku takut Sob. Aku belum menikah,” tanya Zen lagi.

“Aku tak tahu Zen. Kita harus memastikannya. Ayo ikut aku!” ajak Sobah.

“Apa yang akan kau lakukan Sob?” tanya Zen penasaran.

“Jangan banyak tanya Zen. Cerewet sekali kau, seperti ibu-ibu hendak melahirkan saja. Aku akan mengumandangkan azan di musala, Zen,” jawab Sobah tegas.

Mereka berdua segera berlari menuju musala. Zen menyiapkan mic dan sound system, sedangkan Sobah sebagai pengumandang azan. Sobah pernah mendengar keterangan bahwa salah satu tanda kiamat adalah azan tidak lagi berkumandang. Karena itu, jika ia tak bisa mengumandangkan azan, maka bisa dipastikan hari ini kiamat.

Bergemuruhlah suara azan bernada “cempreng” sebagai “alat penguji kiamat”. Sontak saja hal ini membuat orang-orang di sekitar area pondok keluar dari rumah karena terheran-heran. Salat Isya sudah dilaksanakan beberapa jam yang lalu dan salat subuh masih akan dilaksanakan beberapa jam yang akan datang, lalu tiba-tiba ada yang mengumandangkan azan. Sampai Pak Kiai dan keluarganya ikut keluar dari ndalem. Pak Kiai pun segera bergerak cepat menemui pemilik suara azan tersebut di musala. Sobah dan Zen pun dipanggil dan Pak Kiai menasehati mereka.

Di akhir nasihat, Pak Kiai berpesan, “Nak, paham itu mahal. Cobalah kau renungkan, apakah tanda-tanda kiamat kubro sudah muncul? Jika belum, lantas kenapa kau masih bingung menentukan ini kiamat atau belum, apalagi sampai beranggapan bahwa hari ini kiamat.”

Kurang lebih setelah satu jam berlalu, warna langit perlahan kembali seperti semula. Salah seorang dewan asatiz menyampaikan kepada para santri untuk kembali ke kelasnya masing-masing dan memberikan kabar bahwa langit berwarna merah menyala tadi disebabkan oleh ledakan pipa Pertamina di daerah lumpur Lapindo Sidoarjo. Tepat pada hari Rabu, 22 November 2006, dikabarkan bahwa diduga sebab putung rokok yang dibuang sembarangan, pipa Pertamina meledak di kawasan semburan lumpur Lapindo Sidoarjo.

***
Esok harinya, perihal kiamat itu menjadi pembicaraan hangat di pondok. Alif termasuk santri yang menggebu-nggebu ingin bertanya lagi kepada Qif.

“Qif, untung saja ya kiamatnya batal,” ungkap Alif.

“Kiamat tak pernah batal Al, tetapi masih pending,” jawab Qif.

“Kok bisa masih pending Qif?” tanya Alif lagi.

“Sebab sinyalnya trouble , he-he-he-he,” gurau Qif.

“He-he-he-he. Iya Qif. Kamu benar. Aku mengerti sekarang,” kata Alif.

“Ingatlah Al, mengerti saja tak cukup, harus paham!” kata Qif tegas.

Surabaya, 3 Agustus 2021.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan