Keris Warisan

5,368 kali dibaca

Setiap malam Jumat, ibu selalu membasuh keris itu dari air kembang pada mangkuk tembaga yang juga didapat dari kakek. Selesai dibasuh, ibu akan menusukkan keris itu ke tanah sebanyak tujuh kali, sehingga pasir halus memupurinya dari ujung ke pangkal. Lalu ibu akan memasukkannya kembali ke dalam sarung kayu dalam keadaan masih berlumur pasir.

“Dibasuh tapi lalu ditusukkan ke tanah sampai kotor kembali, baru dimasukkan ke sarungnya. Apa itu tidak terbalik, Bu? Mestinya ditusukkan lalu dibasuh dan disarungkan dalam keadaan bersih,” kataku kepada ibu suatu waktu.

Advertisements

Ibu hanya tersenyum dan bilang bahwa aku belum tahu maksudnya. Lalu ibu tidak menjelaskan apa-apa meski sering kudesak dengan pertanyaan. Laiknya orang wajib salat, untuk tahu itu ada batas umur minimum.

Keris ukuran sehasta orang dewasa itu memang selalu ibu rawat dengan baik. Ditaruh di samping lemari. Bergantung pada sebatang paku dalam posisi agak miring karena tali gantungannya terikat pada bagian pangkal sarung keris itu. Sedang sarung keris itu terbuat dari kayu pilihan, cokelat mengkilap menampakkan kurai halus melingkar di beberapa bagian, senada dengan gagangnya, ditatah dengan ukiran naga yang membelit batang yang ditumbuhi tiga kelopak bunga, sehingga ketika keris itu terperam dalam sarungnya, semakin tampak keanggunannya.

Menurut cerita ibu yang ia nukil dari cerita kakek, keris itu bernama Rongkang Arta. Salah satu tetuaku dulu memperoleh keris itu setelah bertapa di gua Payudan selama 40 hari 40 malam dengan hanya makan sebutir buah kers dan seteguk air putih setiap hari. Keris itu kabarnya milik salah satu raja Sumenep yang pernah menumbangkan ratusan tentara Jepang hanya dalam sekali acung. Selain itu, ia juga bisa menjadi sebab datangnya kemakmuran warga pada masa penjajahan ketika tentara Jepang sering melakukan perampasan harta benda milik warga.

Dulu, keris itu menjadi incaran banyak orang, termasuk diperebutkan oleh anak-anak sang raja hingga mereka harus berkelahi dan mengadu kesaktian. Oleh sebab keris itu jadi rebutan, akhinya raja melempar keris itu ke udara, melayang-layang dan menukik, lalu menancap dalam hingga bersarang dalam perut dinding gua yang berupa batu.

Raja menyilakan siapa saja berhak megambil keris itu dari perut batu asal bisa dengan cara bertapa. Tapi tak seorang pun yang tapanya mampu mengeluarkan keris itu dari perut batu kecuali setelah dua abad kemudian, salah satu tetuaku yang bernama Ki Muhri berhasil mengambilnya. Ia pun kemudian mewariskan keris itu secara turun-temurun dan mengimbau keturunannya agar tidak menjual keris itu. Tapi, seperti apa pun kesaktian dan keanggunannya, aku melihatnya hanya sebatang keris biasa, tak lebih dari itu. Selama tujuh belas tahun di tangan ibu, tak seorang pun yang sudi untuk sekadar menawar.

Ayah sering memperlihatkan keris itu kepada teman-temannya yang hobi pusaka. Setidaknya ayah ingin tahu jenis dan kekeramatan keris kecil tua itu. Jika ayah mempelihatkan keris itu di ruang tamu, aku sering mengintip dari balik jendela. Semua teman ayah yang sempat kuintip, hanya mengamati keris itu dengan tatapan yang biasa, menghilir dari tangkai ke ujung atau menghulu dari ujung ke tangkai, tapi kemudian mereka mengembalikan keris itu kepada ayah atau menaruhnya di atas meja sambil menggeleng. Dari raut wajah bisa kutebak, mereka tidak tertarik pada keris itu.

Mengetahui tanggapan orang-orang kepada keris itu, aku jadi teringat paman Subki yang bersikeras menolak keris itu ketika kakek memberikannya beberapa tahun silam. Paman malah menyerobot sawah yang sudah kakek berikan kepada ibu.

Saat itu paman dan kakek terlibat adu mulut soal harta warisan selama berhari-hari. Paman bersikukuh untuk mengambil sawah, sedang kakek tetap bertahan ingin memberinya keris karena keris lebih pantas dipegang seorang lelaki. Adu mulut itu tak jarang membuat tetangga kakek mengintip dari pagar mereka. Demi meredam keributan, agar tak selalu jadi gunjingan tetangga, akhirnya ibu memutuskan untuk menerima keris itu meski dirinya perempuan dan ia rela melepas sawah untuk paman. Aku baru sadar saat ini, ibu telah melakukan kebodohan besar.

Aku dan ayah sering memberi saran kepada ibu agar tidak terlalu memperlakukan keris itu secara  tidak wajar. Sebab, selama ini ibu sering memperlakukan keris itu dengan hal-hal yang menurutku nyeleneh; ia sering menjilatnya ketika malam Jumat Legi. Bila malam 1 Asyura, ibu membawa keris itu ke kuburan kakek dan dijaganya hingga subuh. Bila hujan turun disertai petir, ibu akan melarung keris itu di halaman. Hal-hal nyeleneh itu tetap ibu lakukan meski aku dan ayah sering melarangnya. Keris itu bagi ibu seperti kekasih yang melulu minta dimanja.

#

Sebagai juragan besi tua, ayah sering pergi ke luar kota. Semakin hari usaha ayah semakin berkembang. Aku sebagai anak satu-satunya merasa seolah ada banjir rezeki yang selalu Allah kirim kepada keluargaku.

Rumah kami telah direhab menjadi rumah paling mewah di dusun ini. Di garasi ada dua mobil mewah dan satu truk. Ayah juga punya empat lokasi tambak udang yang dikelola oleh koleganya. Di rumah kami sudah ada seorang pembantu wanita yang bekerja untuk keperluan dapur dan hal-hal ringan lainnya. Ayah mendatangkan pembantu itu sedianya untuk melonggarkan kesibukan ibu agar ia bisa membantu ayah memikirkan bisnisnya. Tapi maksud ayah itu sia-sia belaka. Dengan longgarnya waktu, ibu malah semakin sibuk merawat keris warisan kakek.

Setiap hari ibu sering ada di kamar tempat keris itu disimpan. Meski ayah berulang kali memintanya untuk turut mengurusi bisnis, tapi ibu setengah menolak dengan alasan bahwa mengurus keris itu pada hakikatnya adalah membantu bisnis ayah secara utuh. Aku dan ayah semakin mengerutkan dahi, bahkan ayah kadang berbisik kepadaku, jangan-jangan ibu sudah terkena penyakit jiwa.

“Apa? Kalian kira aku terserang penyakit jiwa? Goblok sekali kalian. Justru dengan kekuatan keris ini kita bisa menjadi seperti ini,” pekik ibu suatu pagi dengan mata terbelalak, ketika ayah berani melontarkan dugaannya kepada ibu ketika kami duduk bersama sehabis makan.

Setelah peristiwa itu, ibu lebih banyak diam, seolah bibirnya tak mampu untuk digerakkan lantaran dikunci oleh emosinya yang meluap saat disinggung ayah. Kalau pun berbicara, ia akan berbicara seperlunya, tidak lebih, dan tak pernah memulai pembicaraan kecuali sekadar menjawab pertanyaan bila ada yang mengutarakan. Wajah ibu selalu menampakkan ekspresi marah. Setiap kali aku berpapasan, ibu nyaris selalu berusaha untuk tidak menatap wajahku, bibirnya jarang menganyam senyum. Mungkin ibu menganggapku berkomplot dengan ayah sehingga ia juga sedikit kesal kepadaku.

Seiring putaran waktu, ibu semakin banyak menghabiskan waktu dengan berlama-lama di kamar tempat keris itu disimpan. Kerap kutemui ia duduk bersila sembari memegang keris kesayangannya. Semangkuk air kembang bertatakan selembar kain putih tersedia di hadapannya. Sedang di sampingnya, sebatang setanggi selalu mengepulkan asap wangi.

Suatu hari, ketika ibu sedang bepergian, ayah tak menyiakan kesempatan. Ia mengambil keris itu dan segera menelepon salah satu temannya yang gemar mengoleksi benda–benda pusaka. Pada hari itu juga ayah menjualnya dan ternyata keris itu hanya laku seharga dua ekor kambing biasa. Aku dan ayah tertawa bahagia di ruang tamu.

Tawa dan kebahagiaan kami perlahan pudar setelah ibu datang dan mendapati keadaan kamar yang sudah tanpa keris bergantung. Ibu menanyakannya dengan wajah merah penuh amarah. Ayah menjelaskan dengan jujur.

“Dan tujuanku tidak lain supaya Mama lebih menikmati kekayaan kita daripada selalu berdiam di kamar dengan  keris itu. Selain itu, saya juga ingin Mama membantu memikirkan bisnis kita ke depan,” ungkap ayah kepada ibu.

Ibu tak menjawab apa-apa. Ia masuk ke dalam kamar sambil membanting pintu sangat keras. Aku dan ayah sebentar saling pandang. Ayah mengetuk pintu berkali-kali sambil menjelaskan kembali perihal tujuan dirinya menjual keris itu. Ibu tetap tak menjawab apa pun. Pintu kamar itu tetap bisu laiknya batu.

#

Yang ibu bisa lakukan kini, hanya berdiri di depan jendela. Rambutnya awut-awutan penuh ketombe dan telur kutu. Wajahnya pucat. Tubuhnya kian susut dan menampakkan belukar tulang. Sepasang matanya suram dan selalu menatap kosong ke luar jendela. Tak sekali pun ia mandi. Bibirnya hanya mau bicara lima sampai enam kata tiap hari. Itu pun bicara sendiri semaunya. Ibu sangat terpukul dengan dijualnya keris itu. Sudah puluhan tabib yang menanganinya, tapi semua sia-sia.

Sementara bisnis ayah berbalik bangkrut. Harta kekayaan kami terjual satu per satu. Bi Iyam, pembantu kami terpaksa ayah lepas karena sudah tidak mampu membayarnya. Kini ayah memasak sendiri, kadang aku membantunya, termasuk melakukan aktivitas rumah lainnya. Kebahagiaan kami perlahan juga lenyap, berganti luka-luka dalam batin. Ayah pun sering termenung di dekat ibu. Aku merasakan kehidupan kami seperti kembali pada keadaan semula; miskin dan penuh luka.

Di suatu senja yang senyap, secara tak terduga ibu mendekati kami saat aku dan ayah tengah duduk di beranda. Ibu seperti hendak menyampaikan sesuatu dengan langkah tergopoh dan mata yang sedikit binar. Aku dan ayah menyambutnya dengan tatap yang teduh dan senyum lembut. Setelah duduk dan sedikit mengambil napas, lalu ia mulai berbicara.

“Kata tetua Madura setiap benda warisan tak boleh dijual, tapi harus diwariskan secara turun-temurun. Apalagi keris milikku itu, kata almarhum bapak keris itu bisa mendatangkan kekayaan. Itulah sebabnya aku disiplin merawatnya. Membasuh dan menusukkannya ke tanah hingga berpupur pasir, pasir itu lambang kekayaan dan kejayaan yang melekat pada hidup kita. Tapi keris itu sudah dijual. Maka wajar bila kekayaan kita juga pergi,” kata ibu sambil membuang pandang keluar.

Itu perkataan ibu yang paling panjang setelah selama ini lebih sering membisu. Kata-kata itu membuatku terkejut dan mengernyitkan dahi, juga membuat ayah bangkit dan menganga.

ilustrasi: galeri omah nara.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan