Kematian, Hadiah Terindah Seorang Mukmin

2,586 kali dibaca

Dalam hidup ini, mungkin telah sering kita menyaksikan ragam jalan kematian. Kematian selalu mendadak, kadang didahului suatu tanda, kadang juga tanpa isyarat atau firasat sama sekali. Kita mungkin merasakan banyak perasaan yang campur aduk. Kematian menghadirkan banyak model perasaan. Entah haru, sedih, tersentak kaget, dan bahkan terdiam dalam senyum yang entah.

Ada kisah menarik, ketika suatu hari penulis menemukan hal yang jauh dari mainstream yang disebutkan dalam kitab Ihya Ulumuddin karya karya Imam Ghozali. Bahwasanya, orang yang telah meninggal sebenarnya bukanlah orang yang pantas untuk ditangisi. Tetapi malah orang yang masih hiduplah yang lebih pantas untuk ditangisi. Kenapa bisa demikian? Menurut pemahaman penulis terkait statemen Imam Ghozali itu, orang yang telah meninggal tergolong lebih dekat pada rahmat Allah, meskipun juga bisa lebih dekat dengan murka Allah. Tetapi bagi umat muslim, seyogyanya mereka jauh lebih dekat dengan kasih sayang Allah, sebab mereka menyembah Allah, bertauhid. Inilah yang menjadikan mereka tidak lebih pantas untuk ditangisi. Selama mereka khusnul khotimah, maka itu lebih baik daripada masih dalam kehidupan yang belum tentu muara akhir hayatnya.

Advertisements

Rasulullah bersabda, “Orang yang cerdas adalah orang yang menahan hawa nafsunya dan menyiapkan bekal untuk setelah kematian.”

Dalam agama Islam, aktivitas mengingat kematian adalah hal yang terpuji. Ini dikarenakan muara kehidupan yang sebenarnya adalah sesuatu yang hanya nampak setelah manusia menjumpai kematian. Bukannya menakutkan, justru sebagian ulama mutaqoddimin (terdahulu) melanggengkan kesadaran untuk selalu mengingat kematian, siang malam. Tapi pertanyaannya adalah mengapa harus mengingat kematian? Bukankah kematian itu pasti, mengapa perlu diingat-ingat?

Mengingat kematian membuka ketersadaran kontemplatif yang dapat membuat pelakunya lebih mawas diri dalam mengarungi bahtera kehidupan yang dipenuhi tipu-daya dan kepalsuan. Seseorang yang jarang ingat akan kematian akan mudah lupa. Sementara lalai dalam kehidupan dunia adalah awal menuju kehancuran. Lalai di sini maksudnya adalah lalai pada kesejatian hidup. Lalai yang demikian ini berarti lalai pula pada Allah. Dan tentunya dia akan lalai pada tujuan hidup.

Rasulullah berkata bahwa hadiah terbesar bagi seorang mukmin adalah kematian. Sebab, dengan kematian para mukmin baru bisa terbebas dari penjara dunia, terlepas dari perang melawan dirinya, nafsunya, dan merdeka sepenuhnya dari karut-marut duniawi yang menjerat itu. Kematian menjadi hadiah terindah bagi seorang mukmin, yakni ia yang sepanjang hidup selalu menghadirkan Allah dalam hari-harinya, dalam setiap apa yang ia kerjakan, bahkan setiap embusan napas tak akan keluar tanpa disertai menyebut asma Allah.

Seseorang yang demikian bukan berarti anti terhadap dunia. Bukan. Akan tetapi, ia adalah mukmin sejati yang benar-benar telah sanggup menggelola dunia dan dirinya. Dunia difungsikan sebagaimana mestinya dan dirinya, nafsunya, dikendalikan dengan sebaik-baiknya sehingga yang ada adalah kebaikan dan rahmat bagi alam semesta. Ketika seorang mukmin telah sampai pada fase ini, kematian bukan lagi menakutkan baginya. Justru, kematian akan semakin ia rindukan. Sebab dengan itu ia bisa melunasi dendam rindunya pada Tuhannya.

Tersebut dalam tradisi sufi, kematian diistilahkan sebagai malam pengantin. Malam perjumpaan seorang pecinta dengan kekasihnya. Konon Maulana Rumi bahkan berpesan, bagi siapa pun yang berkunjung ke makamnya untuk jangan lupa membawa genderang, sebab kata Maulana, dalam perjamuan Tuhan, seseorang yang berduka tidak diberi tempat. Tentu membawa genderang di sini bukan dalam makna denotatif. Itu hanyalah metafor bagi suatu perasaan yang harus gembira. Sebab, seorang hamba sedang dijamu oleh Tuhannya dalam kasih sayang yang sesungguhnya, maka tak sepatutnya bagi orang lain untuk menangis.

Pecinta adalah hamba dan kekasih adalah Tuhan. Betapa kematian sangat dirindukan oleh para salik. Sebab, hanya dengan kematian ia bisa dekat dengan Tuhannya. Tak terpisahkan lagi. Kembali pada tempat asalnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan