Kebanggaan Marka’i

3,459 kali dibaca

Marka’i oh Marka’i. Dia hanya seorang tua di dalam rumah mewah beserta para pembantunya. Sangat dermawan dengan sikapnya yang budiman. Marka’i telah ditempa oleh orang tuanya sejak belia. Bahwa hidup ini adalah bentuk syukur paling dasar yang bisa kita haturkan kepada Tuhan.

Sejak dulu keluarganya memang berbalut kemiskinan. Makan sehari dua kali sudah menjadi sebuah keberkahan baginya. Sang bapak sebagai kuli bangunan, kerja serabutan, buruh sawah dan sebagainya. Si ibu berjualan di pasar setiap pagi. Sebagai penjual gorengan dia tak bisa mengambil untung banyak. Atau lebih tepatnya tak tega. Bila ukurannya dibesarkan dia takkan mendapat laba, dan bila terlalu kecil hatinya tak tega.

Advertisements

Itulah kehidupan Marka’i dulu. Dengan semua keterbatasan. Sangat berbeda sekarang. Anaknya telah menjelma menjadi pebisnis muda yang sukses dan kaya. Dia buatkan bapaknya itu rumah megah di pinggiran kota dengan suasana semi perdesaan. Tepat di tepian sawah warga di sana. Karena saat anaknya itu memboyong Marka’i ke apartemen mewah berlantai 29, orang tua itu bilang kalau di sana terlalu sepi. Tak ada suara dari sekitar. Bahkan bunyi laju mobil dan motor yang hiruk pikuk mencari nafkah tak dia dengari.

Sejak usia belia anak Marka’i memang berprestasi. Banyak warga desanya yang tiap kali bertemu Marka’i selalu memuji-muji anaknya.

“Wah, Mark. Anakmu kemarin juara kelas lagi ya?”

“Iya, Alhamdulillah.”

“Rahasianya apa biar anak bisa pintar. Tirakat, wirid, atau apa?”

“Ah mana sanggup saya melakukan hal-hal macam itu. Mungkin karena dia sangat suka belajar.”

Semua untaian kata itu bisa dibilang bohong. Dan juga bisa dibilang benar. Marka’i memang sangat rajin berpuasa, sebab memang juga sangat terbatas makanan yang ada di meja mereka. Bila Marka’i makan dua kali, artinya jatah nasi anaknya berkurang satu. Dia tak ingin melihat putranya itu belajar dengan perut lapar. Cukup tak ada penerangan saja, cukup dengan uplik minyak gas saja. Yang lainnya jangan sampai kurang. Makan, buku, jajan, dan seragam harus cukup.

Di mana pun ketika Marka’i ada, topik anaknya menjadi pemersatu. Seakan-akan dia menjadi idola semua orang di sana. Beranjak remaja, anak Marka’i semakin mencuri perhatian. Entah berapa bungkus hadiah yang dia bawa pulang setiap hari ulang tahunnya. Saat itu dia akan mencoba menasihati anaknya.

“Jangan sampai kamu tandur…,”

“… Lalu saat berbuah lupa dipetik. Dan akhirnya busuk,” sang anak langsung menyahut dengan senyum sumringah.

“Iya pak, saya tahu. Seperti yang bapak bilang. Hati wanita seperti kaca, kalau pecah tak bisa kembali semula.”

Marka’i lalu tersenyum, pergi ke belakang dan mengambil capilnya.

Setelah lulus SMA, sang anak ingin langsung bekerja. Marka’i menawarinya untuk kuliah. Masalah dana tak perlu di khawatirkan. Setidaknya ada sepetak tanah yang bisa dia jual bila hasil dari berkebunnya tak cukup. Awalnya pemuda itu menolak, tapi dia tak bisa membohongi keinginannya. Dan akhirnya dia meminta restu agar bisa ke kota untuk mendaftar. Di sela-sela itu banyak juga beberapa tamu yang mampir ke gubuk Marka’i. Mereka hendak meminta berbesan. Dari teman sejawatnya di sawah, hingga lurah kampung sebelah. Mengaku bila anak gadis mereka terpikat dengan pemuda yang baru lulus SMA itu. Tapi semua jawaban ditepuk rata. Dia serahkan hal itu pada si anak yang masih ingin lanjut kuliah.

Pada semester akhir dia mendapatkan tawaran pertukaran pelajar ke Jepang. Kabar itu segera sampai melalui surat. Karena tak ada yang dapat menggunakan handphone di rumahnya. Namun karena tak kunjung ada balasan akhirnya si anak menelepon tetangga sebelah. Namun saat itu Marka’i tengah ke sawah. Maklum, perbedaan waktunya dua jam. Dia akhirnya hanya menitip salam lewat gawai tetangga.

Kabar itu segera disampaikan ke Marka’i. Dan secepat itu juga sampai ke seluruh warga desa. Betapa air matanya mengucur deras. Berulang kali dia menyebut asma Tuhan dan bersujud di rumahnya, yang hanya berlantai tanah di atas sajadah lusuhnya. Marka’i tak pernah sebangga itu dalam hidupnya. Perjuangan menahan laparnya empat kali seminggu tak sia-sia. Hingga sekarang sampai menjadi sebuah kebiasaan.

Setelah menyelesaikan studi di sana, lantas dia pulang. Segera memboyong Marka’i ke sebuah apartmen mewah. Namun Marka’i hanya betah sebulan di sana. Alasannya sepele: tak ada suara adzan di sana. Dia tak dapat bertemu kawan sejawatnya di langgar. Akhirnya sang anak berpamit kembali ke Negeri Sakura. Genap setahun, anaknya kembali ke kampung halaman. Membawa seorang wanita yang jelita. Mengharap sebuah restu dari Marka’i dan istri. Dan lalu membuatkan sebuah rumah megah di pinggir desannya, yang tak terlalu jauh dari surau. Tak lupa juga ia menyewakan beberapa pembantu untuk mengurusi kebutuhan sang ayah.

Setelah mengantungi restu dia kembali. Ada sebuah perusahaan yang harus dia pimpin di sana. Meninggalkan Marka’i dan istri di kampung halaman. Sekilas Marka’i mengelus dada, perasaannya sedikit lega. Sedikit lagi tugasnya usai.

***

Tahun-tahun berganti cepat. Setiap bulan Marka’i menerima telepon. Beberapa kali dia tengah bergurau melihat tingkah jenaka sang cucu.

“Pak, tahun ini sepertinya tak bisa pulang. Meski setelah Lebaran keadaan belum juga membaik.”

“Tak apa, tugas bapak sudah selesai. Saat kau telah mengantungi restu dan membawa Noshiko kemari. Saat itu bapak telah melepasmu menjadi manusia utuh.”

Air mata sang anak mengucur deras. Terlihat ada rasa yang tertahan di sana. Semua maskapai penerbangan tak diizinkan untuk membawanya ke kampung halaman.

“Kau masih tetap dengan salatmu,” sang anak mengangguk.

“Boleh aku meminta satu hal. Terakhir kalinya sebagai seorang pria,” kembali sang anak mengangguk.

“Bisikkan ajian itu.”

Awalnya dia tak mau. Atau lebih tepatnya tak tega. Tapi dalam lubuk hatinya dia tak kuasa menahan. Sang ibu mendekatkan gawai itu ke telinga Marka’i. Sebuah kalimat syahadat dibacakan dari negeri seberang. Merasuk ke lubang telinga tua itu. Lalu ke relung hatinya, dan keluar lewat mulutnya. Dalam hatinya Marka’i tersenyum lebar. Kebanggaannya bisa dia tinggal dengan tenang.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan