Kearifan Budaya, Wali Songo, dan Islam Nusantara

1,628 kali dibaca

Masyarakat Indonesia memberikan perhatian lebih pada tradisi nenek moyangnya. Dalam hal ini, ziarah kubur, misalnya. Saat ini, sudah rahasia umum bahwa beberapa kelompok tidak suka dan menganggap ziarah kubur sebagai bidah yang tidak islami. Karena itu ada upaya melarang ziarah kubur dengan berbagai alasan dan dalil yang digunakannya. Pelarangan tersebut mencatut nama institusi, agama, dan tidak lengkap jika tidak dikasih ayat Al-Quran atau hadis Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Sungguhpun demikian, sebuah keniscayaan kolektif sebagai masyarakat Jawa untuk selalu menjaga, memelihara, dan mengamalkan warisan budaya nenek moyang yang tidak berseberangan dengan substansi ajaran Islam. Tentunya, sifat toleransi dan menghargai dalam memaknai keberagaman adalah keniscayaan universal yang tidak mungkin dihindarkan.

Advertisements

Anehnya, terdapat kelompok yang jelas-jelas tidak menyukai perbuatan yang dilabeli dengan istilah sinis, TBC (tahayul, bidah, dan c[k]hufarat), di antaranya adalah ziarah kubur ke makam para Wali Songo. Kita tahu, Wali Songo merupakan julukan untuk orang suci yang berjuang menyebarkan ajaran Islam di tanah Nusantara pada abad ke-15 dan ke-16.

Dalam konteks ini, mereka selalu bertanya mana dalilnya, mana ayatnya, mana hadis sahihnya. Mereka cenderung menuhankan teks daripada konteks dalam memahami agama. Nah, kondisi seperti itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja tanpa ada tabayun (klarifikasi) satu dengan lainnya. Konsep Walisongo bagi mereka –yang mengharamkan ziarah makam wali– masih absud dan ambigu. Oleh sebab itu, agaknya masuk akal ketika mukhatab-nya masyarakat awam yang masih membutuhkan siraman nilai-nilai agama Islam baik dari sisi doktrinal maupun muamalah.

Saya sebagai penduduk pribumi menyebutnya dengan istilah Wali Songo. Kata itu lebih familiar dibandingkan dengan sebutan wali sembilan. Istilah Wali Songo dikaitkan dengan sekelompok penyiar/penyebar agama di Jawa yang hidup dalam kesucian sehingga memiliki kekuatan batin tinggi, berilmu dan memiliki kesaktian luar biasa, memiliki ilmu jaya-kawajiyan, dan keramat.

Tak berlebihan jika Prof Dr Simuh mengatakan bahwa bilangan sembilan merupakan bilangan magis di Jawa dan tidak berasal dari budaya santri. Pandangan Prof Simuh ini berkait erat dengan kosmologi orang Jawa beragama Hindu yang menyakini bahwa alam semesta ini diatur dan dilindungi oleh dewa-dewa penjaga mata angin.

Eksistensi Wali Songo sebagai orang suci juga erat kaitannya dengan Nusantara. Embel-embel Islam Nusantara baru mencapai puncaknya ketika Nahdlatul Ulama (NU) menggunakan tema Muktamar dengan Islam Nusantara sebagai tema besar muktamar yang berlangsung di Jombang pada 2019.

Kendati demikian, Wali Songo maupun gagasan Islam Nusantara semakin membumi hingga tidak aneh jika masyarakat Indonesia benar-benar memahami substansi dari keberadaan Wali Songo maupun konsepsi tentanf Islam ala Nusantara secara universal.

Seperti kita pahami bersama bahwa istilah Islam mempunyai cakupan makna baru dan mendalam sebagaimana Islam sebagai agama langit. Nusantara mempunyai konten makna tertentu yang lebih mengarah kepada local wisdom dan budaya yang mengakar di Indonesia. Kedua kata ini mempunyai relevansi historis dan bermakna luas sehingga hasil dari “singkretisasi” menghasilkan bibit baru yang lebih inovatif-progresif, Islam Nusantara.

Senada dengan itu, Ahmad Baso, intelektual muslim dalam karyanya Islam Nusantara, mengurai bahwa Islam Nusantara ibarat sintesis pertemuan dua bibit pohon unggulan yang berbeda jenis, namun ketika disatukan dalam proses persilangan menghasilkan sebuah bibit baru yang lebih unggul.

Persilangan Islam dan Nusantara diperlukan untuk memperoleh “Genius Baru” dengan karakter atau sifat-sifat unggulan yang diinginkan. Diharapkan, dari persilangan ini akan muncul cara beragama dan peradaban baru dengan sifat-sifat unggulan baru sebagai hasil gabungan dua keunggulan tadi. “Genius Baru” itulah yang kemudian dinamakan Din Arab Jawi atau Islam Nusantara.

Pertemuan keduanya dibutuhkan untuk memberikan solusi pada masalah-masalah kemanusiaan umat manusia pada umumnya dan secara khusus untuk masalah-masalah kebangsaan kita sebagai sebuah bangsa yang diikat dalam kesatuan darat dan laut Nusantara. Kita orang Nusantara yang beragama Islam berarti kita sebagai orang Nusantarra harus punya suara dalam menafsirkan dan mengamalkan Islam. Kita bukan sekadar jadi muslim yang pasif-defensif an sich dan tinggal mengunyah apa yang datang dari Arab.

Tak hanya itu, Ahmad Baso mengurai bahwa ketika Islam dan Nusantara digabung atau dipersilangkan muncullah “Genius Baru” bernama Islam Nusantara. Bibit ini tumbuh sehat dan mampu bertahan dalam situasi cengkeraman lingkungan mana pun, auto-perfective, toleran, dan adaptif terhadap lingkungannya sehingga bisa tumbuh dan besar dengan sehat, tidak cepat aus, rusak atau gagal tumbuh.

Dengan persilangan berbeda tersebut, maka diharapkan muncul varietas atau spesies baru yang memiiliki sifat unggulan gabungan dari kedua spesies induknya, itu yaitu populis, eksotis, kualitas peradaban yang tinggi serta tahan banting terhadap berbagai kondisi dan tantangan alam dan lingkungan. Dan spesies baru itulah Islam Nusantara.

Walhasil, dalam membaca sejarah Wali Songo selama ini kita selalu diombang-ambingkan antara mitos dan fakta. Akibatnya, ketika menyampaikannya kita merasa kurang yakin bahkan tidak percaya diri. Kenyataan ini sangat mengecawakan dan berakibat pada terkikisnya pengetahuan historis-spiritualis masyarakat Islam Nusantara.

Oleh karenanya, Agus Sunyoto dalam buku Atlas Wali Songo mengatakan bahwa eksistensi Wali Songo sebagai kesatuan orang suci tidak bisa dipandang sebelah mata. Kenyataannya telah membuktikan bahwa para wali telah merumuskan strategi dakwah atau strategi kebudayaan secara lebih sistematis, terutama bagaimana menghadapi kebudayaan Jawa dan Nusantara pada umumnya yang sudah sangat tua, kuat, dan mapan.

Ternyata, para wali memiliki metode yang sangat bijak. Mereka memperkenalkan Islam tidak serta merta, tidak dengan cara instan, karena itu mereka merumuskan strategi dengan pembacaan jangka panjang. Kemampuan para wali menggalang kepercayaan umat melalui perjalanan dakwah yang tidak kenal lelah dibarengi apresiasi yang sangat tinggi pada agama lama; Hindu, Budha, Tantrayana, Kapitayan, maupun lainnya.

Kematangan wawasan para wali dalam mengelola budaya membuat ajaran mereka diterima oleh hampir seluruh penduduk Nusantara.

Walhasil, sadar atau tidak, pengaruh maupun jasa serta peran sosial Wali Songo saat itu sangat besar hingga mampu menyebarkan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah di tanah Nusantara. Sekarang, kita menikmati Islam sebagai agama mayoritas berkat Wali Songo yang rela berjuang demi agama Allah tanpa pamrih. Semata-mata mencari rida Allah. Alangkah indahnya jika kita sebagai masyarakat muslim mampu memelihara konsensus yang dibuat Wali Songo serta menjaga tradisi Islam Nusantara hingga detik akhir dalam hidup. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan