Ke Mana Arah Media Islam?

700 kali dibaca

Dalam lima tahun terakhir, media Islam, khususnya yang bentuk website, podcast, ataupun halaman media sosial, semakin menjamur. Pemicunya tidak lain adalah Internet, baik infrastruktur sinyal, ataupun tingkat literasi publik yang semakin baik.

Musim semi media Islam sebenarnya pernah terjadi dua dekade silam, sekitar tahun 2000-an, pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Majalah-majalah, koran-koran, baliho, dan sebagainya, bersemi. Yang tidak lain merupakan buntut dari berseminya organisasi-organisasi Islam baru, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), dan lain sebagainya, dan semacamnya.

Advertisements

Lima hingga sepuluh tahun berikutnya, atau sekitar tahun 2005-2010, perubahan sosial mulai terasa. Sejak berseminya media-media Islam, nilai-nilai Islam mulai merembes pada gaya dan nilai-nilai modern, kapitalistik, industrialis, dan budaya pop. Kemudian timbullah rupa-rupa ekspresi keislaman seperti program haji-umrah bersama ustaz seleb, bisnis herbal ala Nabi, hingga layanan SMS pengingat ibadah berikut dengan program-program investasi berlabel sedekah atau syariah.

Pada masa itu, ribut-ribut soal siapa yang Pancasila, dan siapa yang Islamis, memang ada. Dan ribut-ribut seperti ini sebenarnya sudah terjadi bahkan sejak zamannya Mbah Hasyim, meski dengan wujud yang berbeda dan terus berevolusi. Tetapi, di periode 2005-2010 ribut-ribut soal itu kurang begitu berkecamuk. Karena, waktu itu, isu hangatnya adalah soal Ahmadiyyah dan soal nabi palsu bernama Ahmad Moshaddeq dan Lia Eden.

Jadi, tahun 2005-2010 lebih diributkan soal masalah pluralisme tetapi pada dimensi antaragama, beserta debat teologis ataupun sosial yang mengitarinya, baik di kalangan agama yang “mirip-mirip” seperti Islam, Ahmadiyyah, Bahai, dan sebagainya. Atau, yang sepenuhnya berbeda seperti Islam vis a vis Kristen, yang kadang dikipasi oleh kalangan Islam konservatif-modernis. Wacana-wacana jenis ini menjadi diskursus di kalangan media-media Islam: majalah, buletin, dan lain sebagainya, dengan segala pro-kontra.

Singkat cerita, tibalah kita di era digital, yakni medio 2013 hingga sekarang. Media Islam lagi-lagi bersemarak tumbuh di Internet. Geger jagat maya dimulai ketika organisasi-organisasi Islam sepuh seperti NU atau Muhammadiyyah kalah telak oleh organisasi-organisasi Islam baru dalam hal penguasaan media sosial, yang pada gilirannya berpengaruh pada pangsa jamaah.

Di saat yang sama, organisasi-organisasi Islam konservatif-modernis, paramiliter atau bahkan yang transnasional sekalipun, sedang bermekaran setelah dua dekade eksis di Indonesia sejak era Reformasi. Ide-ide mereka mulai dominan berkat kepiawaian memainkan media sosial dan platform-platform Internet.

Rupanya ini mengusik ketenangan publik muslim Indonesia. NU dan Muhammadiyyah, selain merasa punya tanggung jawab pengentasan, juga punya keselarasan dengan kekuasaan yang tidak senang dengan agenda politik Islam ataupun gagasan Islam transnasional yang dibawa organisasi-organisasi itu.

Momentumnya kemudian terjadi saat peristiwa Ahok dan peristiwa pelarangan Hizbut Tahrir Indonesia di tahun 2017. Sejak saat itu perselisihan antara mana yang Islam Pancasila dan mana Islam yang konservatif-modernis memasuki eskalasi baru. Seiring naiknya eskalasi ini, juga naik intensitas mereka bermedia.

Pelatihan literasi digital, pendidikan etika digital, sosialisasi moderasi beragama di ruang maya, dan lain sejenisnya gencar diselenggarakan, dari mulai aula seminar hingga masjid pondok pesantren. Portal-portal berita dan kanal keislaman juga tidak kalah bersemarak. Tetapi masalahnya, pada derajat tertentu, tidak jarang semangat ini mengkristal sedemikian rupa hingga mengabaikan prinsip-prinsip jurnalistik, atau bahkan prinsip keterbukaan ilmiah (open mindedness).

Beberapa media Islam di Internet, misalnya, sekalipun dari kalangan moderat, masih mudah ditemukan penggunaan diksi-diksi yang bersifat menyudutkan lawan ideologisnya (walaupun lawannya ini memang tak terhitung kemencengannya), apologetik, bombastis, populis, dan glorifikatif terhadap ideologinya sendiri. Produk-produk yang memuat kualitas seperti itu biasanya diloloskan oleh redaktur atau pihak editorial semata karena keselarasan ideologi atau kesesuaian dengan misi golongannya.

Ini tidak keliru, tetapi membuka peluang besar untuk jadi polusi wacana dalam atmosfer media-media keislaman. Banyak konten-konten yang substansinya sama, tapi dengan susunan kata bombastis yang berbeda, tetap diterbitkan. Ini bisa jadi pertanyaan, apakah media-media Islam moderat ini akan menghabiskan sebagian besar energi mereka hanya untuk masalah ideologi miliknya? Tak adakah sesuatu yang universal yang dapat mereka berikan? Kalau memang ada, sejauh apa?

Beberapa redaktur yang pernah penulis temui, menjawabnya dengan beragam. Ada yang tak begitu ambil pusing soal prinsip-prinsip jurnalistik atau prinsip open-mindedness tadi, karena mereka sadar kalau diksi-diksi bombastis, apologetik, atau substansi yang repetitif itu dapat menarik viewers (yang sebenarnya tidak jauh-jauh berasal dari ideologi yang sama).

Dalam pandangan ilmu komunikasi, hal tersebut dapat dipadankan dengan istilah “memberi makan” emosi dan kepercayaan audiens. Logika kerjanya mirip dengan click-bait. Di lain sisi, media bersangkutan juga jadi punya “pembaca setia” yang terus haus kenikmatan ideologis. Jadi, sekali dayung, dua pulau terlampaui. Pada titik ini, walaupun memuat pendidikan ideologis, tetapi nilai edukasi atau pembiasaan nalar kritis dari suatu media layak dipertanyakan.

Namun, ada juga sebagian redaktur yang begitu telaten memeriksa kata demi kata hanya untuk memastikan naskah yang ia terima telah rigit, tak ada logika yang patah, substansi yang menceng, dan tujuan penulisannya segar. Ada juga sebagian redaktur lain yang bahkan membolehkan penerbitan naskah yang secara ideologis kontras, namun memiliki nilai edukasi publik tinggi.

Memang di tengah perang ideologis yang taruhannya adalah keutuhan bangsa, penguatan dan promosi ideologi yang berpihak pada universalisme dan pluralisme, penting untuk digalakkan. Tetapi, di samping itu, tidak kalah penting juga untuk memastikan bahwa penguatan dan promosi ideologi itu tidak mengantarkan kita pada falasi komunal, di mana kemampuan untuk berpikir konvergen atau berpikir dari banyak perspektif (sekalipun dari perspektif yang berseberangan) hilang. Kalau kemampuan itu hilang, risiko untuk melahirkan umat-umat agresif juga semakin besar.

Ingat, KH Wahid Hasyim, dalam tulisannya yang bertajuk Mengapa Saya Memilih NU (1953), perlu waktu 4 tahun hanya untuk menimbang apakah ia harus masuk NU atau tidak, meski NU adalah organisasi buatan ayahnya sendiri. Hal ini menyiratkan bahwa, sejak awal, tradisi berpikir kritis dan bahkan tradisi evaluatif terhadap pemikiran kita sendiri, telah dicontohkan oleh leluhur kita sendiri.

Dalam konteks media Islam, adalah pilihan: apakah memilih mengedepankan ideologi tanpa ada persiapan-persiapan terukur terkait konsekuensi kognitif yang ditimbulkan semangat ideologis itu? Atau memilih mengedepankan format, muatan, atau konten yang lebih edukatif dan terbuka bagi penajaman basis kognitif umat?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan