Karomah Santri dari Desa

1,530 kali dibaca

Gerimis semakin menderas ketika mobil Avanza putih itu memasuki kawasan perbatasan Blitar-Malang. Langit pun gelap dengan sesekali ditingkahi suara gemuruh dan petir yang menghantam petala langit. Udara di dalam mobil semakin bertambah dingin oleh tiupan angin yang menerobos masuk melalui jendela yang terbuka sebagian.

Gus Dan dan Ning Aina tengah mendengkur lirih, mungkin terbuai oleh mimpi ditemani lagu selawat yang mengalun lembut. Kiai Farid pun mulai terkantuk-kantuk. Ia duduk di samping Kang Rud yang tengah sibuk menyopir, menghindari kolam-kolam kecil yang tercipta di tengah jalan. Bu Nyai Atiqah memandang kedua anaknya yang terlelap itu, kemudian berganti memandangi sang suami yang kini mulai terlihat tua dan wajahnya semakin bertambah sejuk meneduhkan.

Advertisements

Kang Rud tak berani bertanya pada Kiai Farid ketika dihadapkan pada persimpangan jalan, karena gurunya itu telah tertidur. Sopir Kiai Farid itu akhirnya hanya mengandalkan google map untuk mencapai tujuan perjalanan. Namun, setelah jauh melewati persimpangan jalan, tak kunjung ditemukan ada tanda-tanda adanya pemukiman.

Mobil terus berjalan. Bukannya permukiman yang ditemukan, tiba-tiba mobil justru dihadang oleh jalan beraspal yang telah rusak. Gus Dan terbangun. Ia kucek matanya yang masih terasa lengket. Terlihatlah kanan-kiri jalan yang ditumbuhi rimbun pepohonan menjulang. Pemandangan itu membuat Gus Dan tenteram sekaligus ngeri.

Dan jalan yang dilalui itu semakin lama semakin gelap direngkuh sang malam. Hujan pun turun semakin deras. Pikiran Gus Dan semakin was-was. Sedangkan di belakang setir dia melihat Kang Rud tengah santai mengendalikan laju mobil.

“Di mana kita, Kang? Masih jauh?” tanya anak lelaki Kiai Farid itu. Aina, adik perempuannya yang juga tertidur, kini tergeragap bangun, kemudian bingung melihat suasana senyap di wilayah yang dilaluinya.

Suasana di mobil itu kemudian mulai riuh karena jalan beraspal yang dilalui telah berubah jadi medan berlumpur dan berlubang di sana-sini. Ning Aina adalah yang paling cerewet melihat keadaan yang tengah dihadapinya.

“Gimana sih, Bah? Masak rumah kiai teman Abah itu ada di tempat seperti ini?”

Kiai Farid pun terlihat bingung. Ucapan putrinya itu tidak ia tanggapi. Ia biarkan dirinya menjadi sasaran kekesalan Aina. Sejurus kemudian mobil berhenti di tengah jalan curam yang di kanan-kirinya hanya ada pepohonan. Dengan angkuhnya pepohonan itu menonton kebingungan rombongan Kiai Farid yang sedang tak tahu arah. Dari berbagai penjuru terdengarlah suara jangkrik dan binatang malam mulai bertingkah di tengah kegelapan.

Kiai Farid menajamkan pendengarannya ketika dari kejauhan terdengar sayup-sayup suara azan. Rasa bimbang mendera pikirannya. Hendak melanjutkan perjalanan, namun kini mereka telah dihadang jalan berlubang dan berlumpur yang tidak diketahui di mana ujungnya. Hendak balik kanan pun rasanya tak mungkin karena telanjur jauh jalan yang telah mereka tempuh.

Alamat yang diberikan oleh Kiai Farid kepada Kang Rud menunjukkan masih berada jauh di wilayah selatan. Kiai Farid sendiri belum pernah menginjakkan kaki ke tempat tinggal temannya itu. Kang Rud merasa sangat bersalah karena tidak menanyakan dulu pada kiainya ketika hendak memasuki jalan ini. Namun apa hendak dikata, pengasuh pesantren mahasiswa itu juga belum pernah menginjakkan kaki ke tempat ini. Pertanyaannya hanya akan menghasilkan kesia-siaan. Kang Rud sendiri yang harus memutuskan jalan mana yang akan ditempuh, walau akhirnya kini ia terjerumus dalam kebingungan.

Perjalanan jauh ini bermula dari pertemuan Kiai Farid dengan Pak Kamilun saat menunaikan ibadah haji dua bulan yang lalu. Pak Kamilun merupakan teman mengaji kiai berpengaruh dari Yogja itu saat masih di pondok dulu. Pertemuan setelah perpisahan yang cukup lama itu membuat keakraban mereka saat masih sama-sama menuntut ilmu tumbuh kembali. Saat masih nyantri mereka adalah teman memasak, tentu saja keakraban itu tumbuh mengikis sekat yang membedakan keduanya, bahwa Kiai Farid adalah putra seorang kiai dan Pak Kamilun adalah putra seorang petani biasa.

Sebenarnya apabila hanya untuk silaturahmi haji, keluarga Kiai Farid meminta tidak usah terburu-buru, akan tetapi ada sesuatu hal yang mengharuskan untuk segera mendatangi kediaman teman mondoknya itu. Ceritanya, pada saat di tanah suci kemarin, mereka tengah berbelanja berdua. Sayang, Kiai Farid lupa tidak membawa uang. Untung saja Pak Kamilun mengantungi uang yang cukup untuk membeli barang itu. Akhirnya Kiai Farid meminjam uang pada Pak Kamilun. Kemudian karena kesibukan rangkaian ibadah haji yang begitu padat membuat Kiai Farid terlupa pada utangnya.

“Karena sama-sama tidak tahu, sebaiknya kita tanya pada orang di kampung ini. Kita lanjutkan perjalanannya sampai menemukan perkampungan,” titah Kiai Farid akhirnya.

“Kita tanya saja pada yang maha tahu, Bah,” gumam Gus Dan.

“Siapa Mas?” desis Ning Aina.

Syaikh Google,” sahut putra Kiai Farid itu dengan suara lirih diiringi suara cekikikan.

“Nggak ada sinyal.”

Ternyata gurauan mereka didengar abahnya.

“Kalian ini ikut-ikutan juga mendewakan Google. Awas kalau ikut-ikutan orang-orang yang suka mengkafir-kafirkan sesama muslim itu. Sukanya takbir di mana-mana, bukannya untuk mengagungkan Allah, malah diri sendiri yang diagung-agungkan.” Kiai Farid mulai jengah mendapati tingkah anak-anaknya.

“Jangan suudzon dulu, Bah. Semalam saya berhasil membungkam mulut mereka itu di medsos. Jangan ragukan ke-aswaja-an putra jenengan ini,“ mahasiswa Tehnik Sipil semester tua bernama lengkap Ardan Arfakhsyad Muhammad Zabarjad itu tegas menepis keraguan abahnya.

“Tahu. Aku mengikuti pergerakan kalian di medsos,” sahut kiai pengasuh pesantren yang juga dosen bahasa Arab itu.

“Abah juga main medsos?” tanya Aina dengan mata membelalak. Bu Nyai Badriyah yang sedari tadi hanya mendengarkan kini tersenyum geli melihat keterkejutan anaknya.

“Kamu ini calon Bu Nyai, masak di medsos profilnya pakai poto artis Korea, Nduk!” Kiai Farid kini menyemprot putri semata wayangnya.

Mereka tergelak di tengah kegelapan. Tak berapa lama kemudian mobil telah kembali menderu melanjutkan perjalanan.

“Sebenarnya berapa utang Abah pada orang tua itu sampai rela memasuki hutan seperti ini?” suara Ning Aina memecah kesunyian suasana di dalam mobil.

Kepo,” sahut kakaknya.

“Tidak banyak sebenarnya. Dia pun pasti merelakannya andai aku tak mengembalikan. Tapi keberkahan silaturahmi, serta doa orang yang baru haji itu mustajab,” Kiai Farid menyahut. “Aku pun sering ditemuinya dalam mimpi.”

“Apa keistimewaannya sewaktu di pondok dulu sampai mustajab doanya?” gadis itu melanjutkan tanya.

“Haji itu, walau bukan orang luar biasa, doanya jadi luar biasa. Bukan karena orangnya, tapi karena ibadah hajinya itu. Selain itu, Kamilun di pondok dulu rajin tirakat. Pasti ada berkah yang dipetiknya sekarang dari mujahadahnya sewaktu menuntut ilmu dulu itu.”

Detik berikutnya mereka berhenti di sebuah musala kecil berdindingkan bilah-bilah papan di pinggiran persawahan. Kanan-kirinya hanya ada beberapa rumah yang berjajar berjauhan. Temaram jalan disinari lampu dari rumah-rumah itu. Berkas-berkas cahaya itu berpendar karena bersiborok dengan gerimis tipis.

Di dalam musala hanya ada seorang imam dengan satu makmum perempuan. Sang imam membaca surat Al-Ikhlas dengan suara tak lagi jelas makhraj dan tajwid-nya. Kiai Farid dan rombongannya menjadi makmum orang tua itu setelah berwudhu di pancuran depan musala.

Usai salat mereka menghampiri orang tua yang menjadi imam salat itu. Gus Dan mengajukan pertanyaan tentang keberadaan desa tempat tinggal teman abahnya yang sedang mereka cari.

“Sekitar sepuluh kilo lagi Mas baru akan menemukan permukiman yang merupakan bagian dari desa Putuksepi. Di sana lumayan ramai, kalau di sekitar sini memang masih jarang penduduknya.” Imam salat yang telah renta itu menjawab pertanyaan Gus Dan dengan suara pelan.

“Kalau rumah Kiai Kamilun, Kakek tahu?” Gus Dan kembali bertanya.

“Kiai Kamilun? Wah, maaf kalau nama Kamilun itu belum pernah tahu saya. Yang sering dengar cuma Gus Toha. Sebaiknya tanya orang di sana saja,” pinta orang tua itu.

Mobil Avanza putih itu melanjutkan perjalanan kembali. Beberapa orang warga yang tengah beristirahat menyempatkan bangun lantas melongok mobil itu melalui celah bilah papan dinding rumahnya. Sebuah pemandangan yang jarang terjadi ada mobil lewat depan rumah mereka di malam hari seperti ini. Jalan yang terjal membuat mobil itu melaju dengan kecepatan rendah.

Malam mulai larut ketika mereka telah sampai di desa Putuksepi. Namun sayang, beberapa orang yang ditanyai tentang alamat rumah Pak Kamilun tidak ada yang tahu.

“Rumah Haji Kamilun yang naik haji tahun ini ada di mana ya Pak?” tanya Kiai Farid.

Beberapa lelaki yang tengah bercengkrama di pos jaga itu terlihat bingung dan kemudian menjawab tidak tahu. Akhirnya rombongan dari Yogja itu menuju masjid untuk salat. Melihat keadaan tempat ibadah itu Kiai Farid merasa iba dan prihatin. Teras sebelah kiri bocor membuat lantai basah dan tergenang air. Sedangkan teras sebelahnya ramai digunakan mengaji belasan remaja putra dan putri.

Seorang pemuda tampak telaten mengajari mereka mengaji. Kiai Farid dan rombongan lantas berjalan menuju ke dalam masjid untuk salat. Ayah dua orang anak itu berdoa khusyuk sekali.

Ketika mereka hendak melanjutkan perjalanan tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Mereka kembali berhenti. Pemuda yang mengajar ngaji tadi datang menghampiri setelah pengajian usai.

“Sepertinya datang dari jauh, Pak? Mau ke mana kalau boleh tahu?” tanya ustadz itu.

“Kami mau silaturahmi ke rumah Haji Kamilun,” jawab Gus Dan datar. Perutnya telah didera rasa lapar.
“Siapa itu?” sahut ustadz tadi.

“Orang sini yang naik haji tahun ini,” Kiai Farid ikut menimpali.

Setelah terlihat berpikir, ustadz itu mempersilakan mereka berteduh di rumahnya yang berada di samping masjid. Mereka pun tak menolaknya. Kopi panas dihidangkan pada mereka sebentar setelah mereka duduk di kursi rotan.

“Sebenarnya Kiai ini mau ke mana?” tanya pemilik rumah tadi.

“Rumah Haji Kamilun,” Kiai Farid kembali menjawab.

“Siapa dia?”

“Temanku naik haji kemarin. Apa kamu mengenalnya?”

“Kenapa Bapak mencarinya ke sini?” tanya ustadz itu.

“Karena dia mengatakan alamatnya ada di desa ini. Anehnya, ternyata tidak ada yang mengenalinya.”

“Benarkah?”

“Iya. Dia adalah temanku yang baik. Aku berutang budi padanya. Saat di pondok dulu dia sering memasakkanku. Sekarang pun aku punya utang padanya,” ucap Kiai Farid.

“Di mana Bapak mondok?”

“Mambaul Huda, Jombang.”

“Apakah dia seperti yang ada di foto itu?” ustadz itu menunjuk ke sebuah foto yang terpajang di atas tembok.

Kiai Farid tertegun dan menajamkan kemampuan penglihatannya. Ia lantas berdiri meyakinkan diri.

“Di mana dia sekarang?” tanya Kiai Farid.

“Dia telah lama pergi.”

“Maksudnya, Ustadz?”

“Beberapa hari lagi adalah haulnya yang ke lima.”

“Sungguh? Aku masih menjumpainya di musim haji kemarin.”

Ustadz itu tertegun.

“Ustadz ini siapanya Haji Kamilun?”

“Saya putranya. Jadi, Kiai ini adalah sahabat bapak yang sering diceritakan dulu itu?”

“Iya. Bapakmu sangat baik dan zuhud semenjak masih mondok dulu. Hmmm. Bagaimana bisa saya menjumpainya jika dia sudah lama tiada? Gusti Allah telah melimpahkan anugerah luar biasa pada bapakmu, Nak.”

“Kiai bukan orang pertama yang menjumpai bapak setelah tiada. Semoga saya bisa melanjutkan perjuangannya membesarkan pondok ini.”

Ruangan itu berubah menjadi senyap. Kiai Farid membaca zikir lirih berkali-kali sembari menunduk. Allah telah menampakkan kekuasaan-Nya pada orang-orang mulia.

Mentaraman, 16 Desember 2020.

Multi-Page

2 Replies to “Karomah Santri dari Desa”

Tinggalkan Balasan