Karena Manusia Diciptakan Berbeda

1,296 kali dibaca

Masyarakat Nusantara sudah terlatih hidup dalam perbedaan jauh sebelum isu-isu kesetaraan dan pemenuhan hak asasi menjadi sebuah diskursus yang serius. Bayangkan saja, jauh sebelum Muhammad bin Abdullah diutus menjadi Nabi dan Rasul, Nusantara sudah menjalani kehidupan dengan sangat tersistem, terkonsep, dan beradab. Kerajaan Kadiri dan Jenggolo, Kerajaan Singosari, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Demak, Kerajaan Mataram, dan semua kerajaan di Nusantara mempunyai sistem yang genuine dan sangat kontekstual dengan kehidupan masyarakat pendukungnya.

Lantas, apakah Islam pada masa itu memaksa manusia-manusia di bumi Nusantara untuk menjadi satu entitas yang sama, dengan harus mempunyai guru yang sama, cara berpikir yang sama, dan ideologi yang sama?

Advertisements

Tentu, jawabannya “tidak!”. Islam justru memberikan ruang kepada manusia-manusia Nusantara untuk liberate atau menemukan kebebasan. Maksud dari kebebasan adalah bahwa Islam adalah sebuah ideologi dan cara berpikir yang multikultur, sehingga substansi keislaman selalu cocok dan layak diterapkan untuk semua jenis suku, ras, dan latar belakang manusia. Itulah yang membuat Islam akhirnya cepat tumbuh dan berkembang di Nusantara hingga akhirnya saat ini menjadi umat Muslim terbesar di dunia.

Lalu, jika Islam tidak mengahruskan untuk sama, apakah bisa menyembah Tuhan dengan cara yang berbeda juga?

Saya akan berangkat dengan satu pemahaman yang mendasar tentang “menyembah”. Perilaku menyembah menandai bahwa ada yang disembah. Untuk bisa menyembah tentu jauh sebelum perintah itu, subjek yang disembah, dalam hal ini adalah Allah, sudah menciptakan regulasi atau aturan dalam sebuah ritus.

Maka, jika yang ditanyakan adalah cara menyembah yang syari, yang sesuai aturan, maka tentu rujukannya adalah hukum syariat, yaitu menyembah melalui salat. Dan, penyembahan ini berlaku sama untuk setiap muslim.

Namun, apakah kita hanya menyembah melalui salat yang hanya diwajibkan sangat terbatas dalam hari-hari kita? Lalu, bagaimana dengan sisa waktu kita yang tidak dialokasikan untuk salat? Apakah bukan pada kerangka penyembahan, dengan artian, setelah salat apakah kita murtad?

Ruang terbesar penyembahan sebenarnya diimplementasikan di luar salat. Laku-laku kebaikan, persepsi pikiran, semua harus satu jalan dan niatan untuk proses penyembahan. Menolong kucing yang tercebur di parit, menyiram tumbuhan, semua adalah laku penyembahan kepada Allah. Mencuri, berkata kasar, dan menghina, itu adalah tanda bahwa rupanya kita masih punya sebagian waktu yang tidak digunakan untuk menyembah. Sebagai seorang penyembah, pantaskan kita berbuat yang tidak pantas, padahal ada pihak yang disembah yang melihat? Malu rasanya.

Dari ruang penyembahan yang dominan itulah akhirnya perbedaan itu muncul. Ada aturan muamalah yang disesuaikan dengan di mana seorang muslim itu tinggal. Sehingga laku kebaikan dan standar kebaikan selalu berbeda, namun tetap satu makna, yaitu untuk proses menyembah. Di sisi inilah para wali-wali Allah mendermakan jiwa raga mereka untuk meracik strategi agar konsep Islam tidak hanya ditanamkan dalam laku syariat, tetapi juga muamalah yang sangat dinamis dengan kebudayaan di Nusantara.

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti. (Al-Hujarat:13).

Allah sebagai yang mempunyai wewenang atas jagat ini sudah menegaskan bahwa perbedaan bukanlah hambatan, dan menjadi sama bukanlah suatu keharusan. Justru, perbedaan diciptakan agar kita saling berbuat baik dan menjalankan muamalah dengan baik (saling mengenal). Dan, yang paling mulia di sisi Allah bukanlah dinilai dari seberapa banyak umat yang kita himpun, seberapa terkenal ustadz yang kita idam-idamkan, dan seberapa berpengaruhnya ulama yang kita ikuti. Orang yang paling mulia di sisi Allah dinilai dari ketakwaannya. Percuma jika kita berguru kepada seorang ulama, namun tidak menmbuhkan ketakwaan kepada Allah dan tidak menumbuhkan sifat yang santun. Percuma.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan