Kiai Hamid, Santri, dan Kulit Roti

1,273 kali dibaca

Diceritakan, pada suatu waktu, Kiai Abdul Hamid Pasuruan menjalani laku tirakat dengan cara tidak memakan nasi. Istrinya, Nyai Nafisah, karena tidak tahu suaminya sedang melakukan tirakat, menyuguhkannya sepiring roti. Kemudian, demi menyenangkan hati sang istri, Kiai Hamid pun memakan beberapa kulit roti itu. Hanya kulitnya. Hal ini membuat Nyai Nafisah berkesimpulan bahwa suaminya suka dengan kulit roti.

Maka keesokan harinya ia membeli roti cukup banyak, kemudian menyuguhkan hanya kulitnya saja pada suami tercinta. Hal ini, barang tentu membuat Kiai Hamid tak kuasa menahan tawa. Kemudian ia menyatakan bahwa dirinya bukan penggemar kulit roti; apabila kemarin ia memakannya karena sedang menjalani tirakat.

Advertisements

***

Bertahun-tahun kemudian, setelah kewalian Kiai Hamid tersohor, seorang santri sowan ke pesantrennya dengan maksud menguji kewaliannya—dengan cara: apakah Kiai Hamid tahu bahwa dirinya ingin diberi makan oleh Kiai Hamid.

Karena, sesampainya di pesantren itu bertepatan dengan tiba waktu salat Isya, ia pun turut salat berjamaah di masjid pesantren. Rampung salat, ia tidak langsung pulang; menunggu sampai semua jamaah keluar dari masjid itu.

Setelah mendapati hanya ia satu-satunya orang di situ dan mendapati lampu teras rumah Kiai Hamid pun sudah dipadamkan, ia melangkah meninggalkan masjid sembari berpikir bahwa keraguannya akan kewalian Kiai Hamid kini telah terbukti.

Namun, yang tidak ia duga, sekonyong-konyong dari rumah tersebut seseorang kelihatan melambaikan tangan kepadanya. Dengan ragu ia pun mendekati orang itu. Rupanya orang itu adalah Kiai Hamid yang, sembari tersenyum, langsung menawarinya untuk makan malam di rumahnya. Ia pun menuruti tawaran tersebut.

Sesampainya di ruang makan, ia merasa tersindir —mendengar Kiai Hamid berkata, “Maaf, lauknya seadanya. Sampean tidak bilang-bilang sih…” Dan, sejak saat itu ia percaya kewalian Kiai Hamid Pasuruan.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan