Karena Bayi Mak Atun

1,714 kali dibaca

Seperti biasa, Mak Atun menuruni jalan terjal. Bermil-mil jarak yang ia tempuh dengan sepasang kaki telanjang, untuk mengambil air jernih di bawah sana. Gemercik air sungai mengalir mulai terdengar di cuping telinganya, membuahkan rasa bahagia di hati kecilnya. Dan rasa bahagia itu berlipat ganda, setelah sepasang matanya mendapati sebuah kotak mengapung berisi bayi.

Anak siapa ini? Pertanyaan semacam itu berseliweran dalam tempurung kepala Mak Atun. Bayi itu cekikikan, mencoba meraih muka Mak Atun dengan tangan-tangan mungilnya. Oh, bayi itu telah menyirami bunga-bunga di hati Mak Atun. Mak Atun terpancing untuk mengelitiki bayi itu agar kembali tertawa, dan tentu juga biar hatinya ikutan senang.

Advertisements

Ada rasa yang tak dapat dilontarkan dengan kata-kata kala Mak Atun menimang bayi itu. Rasa itu meluap seolah membawa pergi rasa pedihnya selama ini. Rasa itu dibawa oleh bayi itu, seakan-akan bayi itu adalah malaikat penghapus lara. Apakah mungkin, Tuhan sengaja mengirim bayi itu untuk Mak Atun yang terselimuti sepi dalam semak belukar kehidupan ini?

Bayi itu menunggangi sebuah kotak yang mengapung, mengikuti arus sungai, dan berlabuh dalam timangan Mak Atun. Jangan tanya bagaimana bunga-bunga bisa tumbuh dalam sanubarinya, atau bagaimana ia bisa menarik kedua ujung bibir, sementara ia sudah lama tak menyunggingkan senyum. Ah, rasanya Mak Atun bisa hidup seribu tahun lagi demi bayi itu.

Mak Atun memutuskan untuk mengasuh bayi itu, menjadikannya anak sendiri. Ia tak peduli dari mana asal rimba bayi itu. Ia percaya, bayi itu adalah paket dari Tuhan. Bayi itu akan menjadi pelengkap kehidupannya. Mak Atun tinggal sebatang kara selama ini, tapi dengan kehadiran bayi yang ia temukan, ia takkan lagi mengeluh kesepian.

Ia memang tak memiliki keturunan, suaminya meninggal sebelum membuahi rahimnya. Ia hidup dalam kegelapan sepi, dengan harapan yang kosong melompong. Namun, setelah ia mendapati bayi itu dan memutuskan untuk mengasuhnya, diam-diam muncul sinar harapan baru. Ia membawa bayi itu pulang—melupakan air yang ingin ia ambil—dan hendak memberitakan pada semua orang, bahwa sekarang ia sudah memiliki teman hidup.

Tentu dengan mendengar warta tersebut, orang-orang berkeriapan memenuhi rumah Mak Atun. Rumah yang tadinya sepi kini menjadi gegap gempita. Mereka penasaran pada rupa bayi yang Mak Atun temukan. Mereka memuji cantik dan imut saat melihat bayi itu, dan tak putus-putus pula orang-orang mengulurkan tangan, memberikan ucapan selamat pada Mak Atun.

Mak Atun juga tak keberatan menceritakan bagaimana asal mula ia dapat menjumpai bayi itu. Ia bercerita panjang lebar bak menemukan harta paling berharga. “Awalnya aku tercengang penasaran melihat sebuah kotak mengapung di sungai sana,” ia menunjukkan arah sungai itu. “Namun, rasa penasaranku seketika berubah menjadi sumringah, saat kutahu isinya adalah bayi mungil pelipur lara.”

Dan cerita itu pun diakhiri oleh decak kagum orang-orang yang mendengarkan. Mereka kagum pada bayi yang berlayar mengikuti arus sungai. Mereka kagum pada Mak Atun yang mendapati berkah seorang anak. Mereka juga kagum pada Tuhan yang telah merencanakan semua ini.

Cerita itu pun mengembara seperti angin, tersampaikan dari mulut satu ke mulut lain. Rumah Mak Atun tak jemu-jemu dikerumuni orang yang ingin melihat langsung bayi itu. Mak Atun juga dengan senang hati menerima tamu-tamu itu. Kini, rumah Mak Atun tak lagi sepi, kendati orang-orang itu pun kembali pergi.

Yang penting, bukan bayinya yang pergi. Dengan tabungannya selama ini, Mak Atun membelikan bayi itu beraneka ragam mainan, kendati bayinya itu masih tak mengerti dan belum tahu meminta mainan. Mak Atun merawat bayi itu dengan kasih sayang berlebih, meninabobokan dengan belaian.

Tapi semua kebahagiaan Mak Atun seketika lenyap, setelah badai kesedihan datang menghantam. Badai itu berupa sosok laki-laki berjas hitam. Laki-laki itu datang ke rumah Mak Atun bersama para warga. Pak Yonia, begitulah ia menyebut namanya.

Awalnya, Mak Atun mengira laki-laki itu sekadar mampir seperti orang lain, hendak melihat bayi yang ia temukan di sungai. Namun, dugaan itu salah. Dugaan itu tertelan oleh kenyataan, kenyataan yang menyakitkan. Kenyataan yang seketika mencabik-cabik hati Mak Atun. Pak Yonia mengaku, dirinya adalah ayah dari bayi itu.

“Bohong!” Mak Atun meradang, beringas seperti macan yang terganggu oleh kehadiran laki-laki itu. “Apa buktinya?!”

Pak Yonia mengeluarkan selembar foto dari sakunya. Dalam foto itu, bayi berwajah sunguh mirip dengan bayi yang ditemukan Mak Atun bersemayam di sana. Ya betul, Pak Yonia adalah ayah kandung dari bayi itu. Ia mengambil kembali apa yang memang menjadi haknya. Ia mengambil bayi itu dari tangan Mak Atun.

Mak Atun pun menggila. Walau bagaimana pun, sekarang ia sudah merasa menjadi seorang ibu. Bila bayi itu pergi, habislah predikat ibu darinya, dan kembalilah ia pada kesepian seperti semula.

Orang-orang melerai kegilaan Mak Atun yang ingin mengambil bayi itu kembali. Pak Yonia tak mengindahkan lolongan Mak Atun. Pak Yonia tetap melangkah pulang, membawa bayi itu pergi. Sementara itu, Mak Atun memekik nyaring, memanggil bayi itu, berharap bayi itu kembali.

***

Pak Yonia memang ayah dari bayi itu, dan ia pula yang menghanyutkan bayi itu ke sungai. Istrinya meninggal saat melahirkan bayi itu, dan Pak Yonia pun menganggap bayi itulah penyebab kematian istrinya. Tiap ia memandang bayi itu, ingatannya kembali pada istri tercinta yang meninggal saat melahirkan bayi itu. Seperti ada pisau yang menancap di dadanya, dan ia ingin melepaskannya.

Ia seolah tuli saat bayi itu menangis nyaring. Ia mengambil sebuah kotak, meletakkan bantal dan selimut dalam kotak itu, terakhir ia menidurkan bayinya dalam kotak itu. Hati nuraninya terasa tertutup rapi, ia melambaikan tangan pada bayinya yang mulai berlayar mengarungi sungai. Barangkali dengan begitu, pikirnya, aku bisa melupakan kepergian istriku.

Namun, setelah kepergian bayinya, bukan ketenangan yang ia dapat, melainkan rasa bersalah yang menghantui. Ia merasa menjadi ayah yang terburuk, telah membuang bayinya sendiri. Tiap malam, ia tak bisa tidur dengan nyenyak. Sebab, memejamkan mata hanya membuatnya melihat kebiadabannya sendiri.

Dan rasa bersalah itu semakin membuncah, tatkala istrinya bertandang ke dalam mimpinya. Istrinya merutukinya. Dalam mimpi itu, sang istri memerintahkan lelaki itu untuk mencari sang buah hati dan membawanya pulang. Ya, ia harus menebus kesalahannya itu.

Pak Yonia pun menyelusuri sungai, bertanya pada orang-orang yang ia dapati di sepanjang sungai, dan saat itulah salah satu orang tahu keberadaan bayinya. Ia mengambil kembali bayinya, membawanya pulang, dan merawatnya dengan penuh cinta.

Ia yakin, istrinya akan ikut bahagia saat ia menimang bayi itu. Bayi itu adalah anaknya, ia tak ingin mengulangi kesalahannya lagi. Ia akan selalu berada di dekat bayi itu, seperti dulu sang istri selalu menemaninya. Ia akan membawa bayi itu ke mana pun ia pergi. Seperti sekarang, ia ingin mengajak sang bayi jalan-jalan ke luar kota.

Ia telah mempersiapkan semua kebutuhan si bayi, seperti baju, celana, popok, susu, semua tersusun rapi dalam koper. Ia hendak meletakkan koper itu dalam bagasi mobil. Dalam bagasi itulah, ia kaget mendapati Mak Atun. Mak Atun tampak tak terurus, rambutnya awut-awutan dan pakaiannya pun terlihat kumal. Ia tampak sangat geram, karena itulah ia menggodam kepala Pak Yonia hingga terkapar.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan