Kaligrafi Patah Hati

3,712 kali dibaca

Gadis berjilbab hijau itu menatapku sekilas sebelum kemudian duduk bersama seorang temannya di pojok ruangan. Ini adalah kali kedua aku melihatnya datang ke kafe tempatku bekerja. Darjad, yang sedang nge-game online, mengajakku memperhatikan gadis itu, dan aku pura-pura mengabaikannya dengan menyibukkan diri meracik kopi untuk seorang lelaki berbaju rapi yang baru datang. Kata Darjad, gadis itu salah satu bunga yang sedang mekar-mekarnya di kampus tempat dia kuliah.

“Sebagai pengamat kaum hawa, aku sangat paham tentang seluk beluk dirinya,” ucapannya yang memancing perhatianku itu tak kutanggapi. Entah dari mana dia tahu tentang gadis itu. Aku terus sibuk meladeni pelanggan. Ini memang sift kerjaku menggantikannya yang sift pagi. Sesuai jam kerja, seharusnya Darjad kini telah pulang. Tapi dasar mahasiswa pengangguran, dia tak juga mau hengkang dari kafe walau pekerjaan telah usai.

Advertisements

“Mau ngopi gratis di mana lagi selain di sini?” katanya kemarin.

“Gadis secantik dan secemerlang dia, ternyata dulu sempat mengenyam dunia pesantren lho Jib. Cocok untuk daftar nama dalam untaian doa-doamu, Jib-Mujib,” Darjad berseloroh lagi.

Kujawab ucapannya dengan derai tawa. Dan batinku sebenarnya berkata-kata. “Aku lebih paham tentangnya daripada kamu, Jad.”

“Katanya kaligrafimu bagus, Jib.”

Tiba-tiba Darjad mengalihkan topik pembicaraan. Sambil meracik kopi sesekali aku mencuri pandang ke arah gadis itu.

“Bos lagi pingin buat suasana religi di kafe ini. Aku ajukan namamu yang buat kaligrafi ya. Siapa tahu nasibmu berubah jika bakat terpendammu itu sudah diketahui orang banyak.”

Aku mengelak ucapan Darjad yang menuduhku sebagai anak pesantren yang ahli kaligrafi. Kukatan itu dengan sungguh-sungguh bahwa kemampuanku memang hanya abal-abal. Pujian itu tak pantas buatku.

“Postingan kaligrafimu di IG dapat like banyak Jib, komen-komennya juga positif. Percaya padaku, dan jangan terlalu merendahkan diri sendiri seperti itu, entar jadi orang rendahan beneran, kapok kamu, Jib.”

“Terserah kamu, Jad,” tukasku pelan.

Memang benar ucapan Darjad. Beberapa hari kemudian bosku meminta aku untuk menghias ruangan kafe dengan kaligrafi. Sudah kusampaikan padanya bahwa kemampun kaligrafiku tidak terlalu bagus, apalagi semakin jarang kuasah semenjak menjadi mahasiswa tiga tahunan ini. Tapi dia telanjur percaya pada omongan Darjad. Akhirnya aku menyanggupi untuk mengukir kaligrafi itu, hobi yang lama tak lagi kugeluti itu mulai kusentuh lagi.

Hari Kamis sepulang kuliah aku datang ke kafe guna menindaklanjuti permintaan pemilik kafe untuk membuat kaligrafi. Setelah memilah dan memilih perbendaharaan kata, akhirnya aku menukil salah satu maqolah dalam kitab al-Hikam karya Syaikh Ibnu Athoillah As-Sakandary.
ماَ اَحْبَبْتَ شَئًا اِلاَّ كُنْتَ لَهُ عَبْدًا
You are the slave of the one you love.

Maqolah ini kudengar dari pengajian kitab Hikam yang diasuh oleh Gus Somad beberapa hari lalu. Ungkapan indah yang begitu membekas dalam ruang ingatanku itu kuukir di tembok sisi kanan ruang bartender. Tanganku terus bekerja di tengah pengunjung yang mulai ramai. Kucoba menebalkan muka karena merasa menjadi pusat perhatian para pengunjung.

“Ehmm!” tiba-tiba terdengar suara deheman dari arah belakang. Kutahan untuk tidak terganggu dengan suara itu. Namun, ketika suara seorang perempuan menghampiri telingaku, konsentrasiku serta merta buyar.

“Bagus, Mas, kaligrafinya,” celetuk gadis yang kemarin berjilbab hijau itu. Dan dadaku seketika itu berdesir tak karuan. Aku hanya menjawab dengan sehelai senyum.

“Kok cuma bahasa Arab dan bahasa Inggris, Mas? Mana bahasa Indonesianya?”

“Pengunjungnya kan rata-rata mahasiswa, pasti mudah dipahami oleh mereka,” tukasku.

“Kalau bahasa Arab?” lanjutnya.

“Banyak pula yang datang ke sini adalah para santri. Seperti sampean ini, misalnya,” balasku sambil menorehkan tinta.

“Sok tahu, Mas.”

“Siapa yang tidak tahu sosok Ning Bibah?”

Dia terperanjat menyadari aku telah mengenalnya. Akhirnya kami ngobrol panjang lebar. Dulu saat SMA kami berada di satu Yayasan Pesantren Kahfi. Aku mengenalnya karena dia sosok yang terkenal. Seorang putri kiai berpengaruh dan berwajah cantik serta memiliki banyak prestasi.

Di antara kelebihan-kelebihannya, suara emasnya adalah yang paling membuatku tertarik. Suaranya selalu bisa menghipnotis para pendengar. Dan hal paling membahagiakan serta melambungkan asa dalam hidupku adalah dia pernah menge-like kaligrafi yang pernah kuunggah di IG. Padahal dia tidak mengikuti akun IG-ku. Mungkin karena kami sama-sama sering komentar di postingan IG Pondok Kahfi sehingga dia pernah menelusuri akunku. Dan di situlah letak kebahagiaanku. Seorang Ning Bibah yang begitu menyilaukan pesonanya ternyata pernah melirik seorang rakyat jelata seperti aku ini.

Suatu malam aku sengaja tidak pulang ke pondok karena mengerjakan beberapa tugas kuliah yang sudah hampir deadline. Jemariku mulai terasa pegal karena mengetik makalah yang cukup panjang. Kuraih HP yang teronggok di meja. Kuseruput kopi dan kunyalakan rokok. Lalu kubuka IG dan aku scroll naik serta turun melihat kabar terbaru dari berbagai sudut kehidupan dari akun-akun media online. Mataku segera sibuk melihat postingan-postingan kulinar dari teman-teman kampus dan membaca kata-kata mutiara dari para ulama yang dijadikan postingan oleh beberapa akun toko buku online. Banyak juga foto gadis cantik yang menggunakan caption mellow dan patah hati. Melihat kegundahan hidup orang lain ternyata dapat menenteramkan hati. Busuk benar hatiku ini, bahagia memandang mereka yang nelangsa! Hatiku tiba-tiba berisik sendiri.

Lalu kutemukan sebuah unggahan foto seorang gadis cantik yang background-nya memancing perhatianku. Ning Bibah sedang berselfi di kafe tempatku bekerja dengan menampilkan kaligrafi yang kuukir beberapa hari yang lalu. “Kamu adalah budak dari apa yang kamu cintai” adalah  caption-nya, ditulis sebagai terjemahan dari kaligrafi itu , dan seketika memancing senyumku.

Ternyata hasil kaligrafiku memancing peminat. Foto itu mendapat lebih dari seribu like dan puluhan komentar. Rasa bangga tak dapat kuhindari. Aku stalking akun IG gadis itu. Dan rasaku semakin terhanyut olehnya. Sayang, kami bagaikan langit dan sumur kering. Kama baina sama’ wa sumuri sat. Dia putri seorang kiai besar, sedang aku putra seorang hansip tak berpangkat. Tidak kufu! Tapi foto itu menyalakan asaku.

Aku mengiriminya pesan melalui DM di IG. “Cie, fotonya manis dan laris.”

Tak berapa lama kemudian, DM-ku dia baca. Dadaku berdesir. Lantas kulihat Ning Bibah mengetik pesan balasan. Rasa kantuk yang mulai menghinggapi mataku seketika menghilang.

“Terimakasih, Mas, kaligrafinya pasti akan jadi hits bentar lagi,” jawabnya.

“Tentu saja karena di-endorse artis,” aku membalas dengan kusertai emoticon tertawa.

Dia membalas dengan emoticon tertawa juga.

“Boleh minta tolong buatin kaligrafi di butik?”

Pertanyaan itu membuatku tercenung. Apa benar kaligrafiku sebagus itu sehingga dia memintaku membuat kaligrafi di butik miliknya? Haruskah kesempatan ini kusia-siakan? Bagaimana kalau hasilnya nanti mengecewakan?

“Butik?” tegasku memastikan aku tidak salah paham.

“Bukan.” Ning Bibah menjawab cepat.

“Apa?” sahutku berikutnya. Rasa penasaran semakin menjadi-jadi.

“Pak Tik. Ayahnya Tik dan Tok,” jawabnya disertai emoticon menyemburkan api melalui hidung. Aku terpingkal-pingkal dan kukirimkan emoticon tertawa berguling-guling.

“Iya, butik punyaku yang tidak jauh dari kampus itu. Sudah tahu belum? Katanya kamu tahu banyak tentang aku. Dikasih kaligrafi biar makin berkesan. Mau ya, plisss?” pintanya lagi.

Aku meleleh dan akhirnya permintaan itu kusanggupi dengan satu syarat jika diizinkan Mas Jakfar, bosku di kafe. Beberapa hari kemudian aku telah mengantongi izin dari bosku untuk tidak ke kafe selama membuat kaligrafi di butik Ning Bibah. Mas Jakfar memberiku izin, karena dari kaligrafi yang diunggah Ning Bibah itu, kafenya semakin banyak didatangi pengunjung. Desainnya yang sedari awal sudah bagus menjadi semakin instragammable. Tidak hanya minum kopi sambil wifi-an, para pemuda itu juga menyempatkan berselfi di sana.

Sore sebelum pulang ke pesantren aku menyempatkan diri mampir ke butik Ning Bibah untuk cek lokasi. Gadis yang senang disebut sebagai santripeneur itu memang tidak main-main dalam memintaku membuat kaligrafi. Dia memaparkan keinginannya, bahwa butik sederhana itu dihias sedemikian rupa agar terkesan menarik.

“Ditulisi apa, Ning?”

“Terserah kamu. Pilihan kalimatmu kan bagus-bagus.”

“Baik, nanti saya cari-cari dulu, Ning.”

Aku pulang dengan isi kepala dipenuhi pikiran kaligrafi, dan tentu saja wajah cantik gadis cerdas itu. Dan hingga larut malam belum juga kudapatkan inspirasi tulisan kaligrafi yang kuinginkan. Keesokan harinya, aku WA dia untuk mendiskusikan quote kaligrafi. Karena sama-sama tidak punya ide, dia kemudian menyarankan supaya menulis ayat kursi. Aku menyanggupinya. Hari itu juga aku mulai mengerjakannya. Tidak cukup dua hari untuk menyelesaikannya karena hanya kukerjakan sepulang kuliah. Selama dua hari itu aku semakin dekat dengannya. Kami ngobrol tentang banyak hal seputar dunia santri dan dunia kampus dan juga dunia fana ini.

Hari ketiga membuat kaligrafi adalah hari terakhir. Tiga hari terasa begitu cepat bagiku. Diam-diam hatiku terasa berat akan segera meninggalkannya. Untung saja ketika hendak pulang aku ditahan oleh hujan yang turun dengan deras. Dia memberiku segelas kopi panas. Tentu saja kami melanjutkan obrolan yang kurasa masih kurang. Rasanya aku harus mengatakan sesuatu. Kesempatan emas ini mungkin tidak akan datang untuk yang kedua kalinya. Aku tidak boleh membiarkannya berlalu begitu saja karena selama di sini aku merasakan sinyal-sinyal itu terpancar darinya. Walau ini berat, lebih baik malu daripada menyesal seumur hidup.

Suasana yang dingin ditingkahi kekakuan lidahku. Terasa sangat kelu. Tak ada topik untuk dibicarakan. Dia sendiri sedang sibuk main HP, entah apa yang dibukanya. Kami duduk di kursi berbeda dengan beberapa orang karyawati di belakang. Suara perbincangan kami tidak akan terdengar jelas di telinga mereka. Terlihat satu dua pembeli datang. Kuseruput kopi panas itu untuk menyulut keberanian.

“Enak sekali kopinya,” celetukku. Semoga didengarnya.

Naas, dia tidak menyahut hingga beberapa saat.

“Nggak kepahitan Mas?” tanyanya beberapa menit kemudian. Aku sedikit lega.

“Nggak, Ning. Pahit pun akan terasa manis jika diseduh oleh cewek manis sepertimu,” aku berseloroh dengan kalimat menggombal yang pasti sudah terdengar basi di telinganya.

Diluar dugaan, dia tertawa lirih. Dan terlihat manis sekali di mataku.

“Berapa perempuan yang telah takluk dengan gombalanmu, Mas?”

Aku semakin meleleh.

“Sepertinya baru satu ini,” jawabku sambil tertawa. Dia juga tertawa. Dadaku semakin kebat-kebit. Sepertinya aku akan mendapat durian runtuh hari ini. Aku akan menjadi orang paling beruntung di dunia fana ini, semoga di akhirat juga, nanti.

“Jujur saja aku belum pernah nggombali cewek. Dan kuberanikan diriku mengungkapkannya di depanmu. Maukah kamu jadi milikku?”

Aku menanti jawabannya dengan tubuh gemetar. Kulihat air mukanya terkejut, seolah tak percaya dengan ucapanku.

“Mas Mujib pandai berkelakar juga ternyata,” sahutnya.

“Maaf, Ning. Aku serius. Mungkin aku terlihat bodoh di hadapanmu. Tapi,,,”

“Mas Mujib belum tahu?” tanyanya.

Pikiranku bertanya-tanya menerka apa ucapannya yang akan dilontarkan padaku. Aku telah menyiapkan mental untuk mendengarnya.

“Aku tunangan Gus Jakfar, juraganmu.”

Mataku nanar seketika. Kutelan ludahku dengan kasar. Dan sulit sekali lidahku kugerakkan untuk merangkai kata.

“Owh, begitu. Maaf, Ning, aku telah lancang berbicara. Saya mau pamit dulu,” ucapku kemudian.

“Masih hujan, Mas Mujib. Maaf jika…”

“Tidak apa-apa, Ning. Mondokku sudah lama, tak perlu takut basah oleh hujan.”

“Aku hanya takut basah oleh air mata,” ucapku dalam hati.

“Oh. Iya kalau begitu.”

Aku lantas melangkah dengan gontai.

DMC, 7-12-2020.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan