Romantika Santri

3,097 kali dibaca

Sebagai seorang pencari ilmu, santri dituntut gigih dan semangat dalam belajar. Sebab, keberadaan santri di dalam pondok pesantren tidak lain memang untuk mempelajari ilmu agar memiliki bekal untuk kehidupan di dunia dan akhirat kelak.

Selama 24 jam sehari di dalam lingkungan pondok pesantren dan terus-menerus belajar, para santri pasti ada kalanya sampai pada titik jenuh atau mengalami kebosanan. Biasanya, untuk membuang kejenuhan atau kebosanan, para santri mencari hiburan dengan cara bercanda atau guyonan. Tertawa bersama agar kondisi psikis kembali segar.

Advertisements

Karena itu, sesungguhnya bersenda gurau di antara santri di dalam pesantren menjadi sesuatu yang penting. Baik untuk menghibur diri sendiri maupun orang lain agar tidak ada beban pikiran yang menurunkan semangat ataupun putus asa.

Ketika di kamar atau di masjid atau di kobong atau di sekolah, terkadang santri menemukan sebuah canda tawa untuk menghibur teman-temannya agar tidak bosan atau pikirannya suntuk. Sebab, kebosanan, kejenuhan, atau beban pikiran akan berpengaruh terhadap daya ingat atau daya hafal atau rasa percaya dirin dan semangat untuk belajar ilmu.

Senda guruai, candaan, atau guyonan juga penting bagi tak hanya bertujuan untuk menghibur diri atau diri orang lain, namun juga bisa menjadi media untuk mempererat ikatan pertemanan dan tali persaudaraan di kalangan santri.

Kiai, pengasuh pesantren, ustadz, atau guru biasanya juga memahami kondisi seperti ini. Agar para santrinya tidak jenuh atau bosan hingga semangatnya kendur, kiai atau guru sering menyelipkan candaan atau guyonan atau lelucon saat mengajar atau mengaji. Hal itu dilakukan para kiai agar para santri tidak bosan saat mengikuti kajian kitab atau mendengar penjelasan dari kiai, misalnya.

Biasanya, yang paling sering didera kejenuhan, kebosanan, dan beban pikiran adalah santri baru. Karena baru merasakan berada di lingkungan pondok pesantren, dan belum terbiasa jauh dari orangtua atau keluarga, santri baru sering dilanda kegalauan. Maka, tak heran yang sering terlihat menangis, misalnya, adalah santri-santri baru. Yang lebih sering terlihat sedih, diam, menyendiri juga santri baru. Yang lebih sering minta izin untuk menghubungi orangtua juga santri baru. Hal-hal itu terjadi lantaran santri baru memang belum terbiasa dengan suasana pondok.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan