Kaffarah

1,723 kali dibaca

Cerita yang telah diceritakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi ini sudah amat masyhur di kalangan para semut yang bersarang di pohon jambu di halaman musala pinggir Jalan Puteran, Doplangkarta. Bahkan kemasyhurannya telah merambah ke segenap kalangan binatang yang berhabitat di pekarangan-pekarangan kampung itu hingga kampung sekitarnya.

Ini cerita tentang seekor semut yang menjadikan seorang lelaki menginsyafi kelakuannya, dan perlahan-lahan memperbaikinya.

Advertisements

Semua ini bermula dari kebiasaan para semut mencari nafkah dengan cara mengumpulkan remah-remah makanan yang tercecer di sebuah rumah beberapa jarak dari musala itu. Pada suatu siang, sementara semut-semut yang lain merangkak menuju ke dapur, seekor semut —yang menurut teman-temannya agak lain karena kebiasaannya lebih suka berpikir tinimbang bekerja— menyempal dari barisan menuju sebuah ruangan, tempat di mana seorang lelaki tidur terkapar di lantai dengan begitu sentosa.

Memang, semut itu sedang dirongrong rasa penasaran. Semalam, saat teman-temannya pada tertidur nyenyak setelah seharian bekerja, ia malah asyik menyimak Guru Wasiran —seusai mengajari anak-anak membaca al-Quran di serambi mushala— bercerita bahwa manusia diciptakan oleh Gusti Allah Ta’ala dari tanah.

Demi membuktikan adakah unsur-unsur kesamaan di antara manusia dan tanah, ia mendekati lelaki itu, lalu merambati telapak kiri tangannya. Subhanallahi wa bikhamdihi, demikian benaknya sembari menyusuri lengan lelaki itu, mendapati bulu-bulu yang tumbuh subur di permukaan kulit sebagaimana tanah menumbuhkan pepohonan; ia jadi tambah percaya dengan apa yang dikatakan oleh Guru Wasiran.

Setelah puas mengamati, ia bermaksud turun ke lantai untuk kemudian menceritakan pada teman-temannya hasil pengamatannya tadi. Akan tetapi, karena mimpi yang dialami, sekonyong-konyong lelaki itu menggerakkan lengan kirinya— menjadikan tubuh si semut terguncang dan secara refleks menggigit kulitnya untuk memperkuat pegangan agar tak jatuh ke lantai.

Rasa slegit di lengan membangunkan lelaki itu. Lalu teriring rasa kesal, ia mengangkat tangan kanannya —bermaksud menabokk semut itu. Sementara si semut, begitu menyadari apa yang akan dilakukan oleh lelaki itu, seketika memohon kepada Gusti Allah Ta’ala agar orang itu dapat memahami apa yang bakal diucapkannya:

“Tunggu dulu, sampean jangan buru-buru membunuh saya…”

“Aku hanya membalas perbuatanmu!” tanggap lelaki itu sembari tetap mengangkat tangannya.

“Jika demikian, saya ‘kan cuma menggigit kulit sampean, tidak sampai membunuh sampean. Biar fair—adil—harusnya sampean membalas dengan menggigit kulit saya, jangan sampai membunuh saya,”

Masih mengangkat tangan kanannya, lelaki itu menanggapi, “Aku hanya mau meneplak, bukannya membunuhmu!”

“Tetapi teplakan sampean dapat membunuh saya seketika. Lagi pula, saya tidak sengaja menggigit kulit sampean. Saya kaget saat tiba-tiba tangan sampean bergerak…”

Kendatipun satu tangannya masih terangkat, untuk beberapa saat lelaki itu tampak tertegun. Sementara itu si semut melanjutkan, “Lebih daripada itu, apabila sampean tidak membalas menyakiti saya, siapa tahu dan ini mudah-mudahan bisa menjadi kaffarah bagi sampean yang barangkali pernah menyakiti atau membunuh semut baik secara sengaja maupun tidak sengaja,”

Perlahan-lahan lelaki itu menurunkan tangan kanannya, dan memang dalam beberapa kejadian ia pernah menyakiti atau malah membunuh secara tidak maupun sengaja beberapa semut yang kadang berlalu-lalang saat mengepel lantai rumahnya. Seketika itu ia pun berharap kepada Gusti Allah Ta’ala Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, semoga perbuatannya tidak membalas menyakiti semut itu, menjadi kaffarah baginya.

“Baiklah,” ucap lelaki itu, lalu mengaku bahwa ia pernah menyakiti atau malah membunuh beberapa semut. Semoga, katanya kemudian, seperti yang kamu sampaikan, ini menjadi kaffarah bagiku.

“Amin,” respons semut itu penuh harap.

Setelah beberapa saat hening, sembari menurunkan semut itu ke lantai, ia bertanya, “Ngomong-ngomong apa yang kamu lakukan di sini, bukankah biasanya para semut berkitaran di lantai dapur, mengangkut remah-remah makanan yang tercecer?”

Kemudian seusai si semut menyatakan kenapa ia melakukannya, lelaki itu tercengang —betapa ada seekor semut mau berpikir sampai sejauh itu. Ketercengangannya perlahan meluruh saat ia mendengar si semut uluk salam sembari beranjak dari situ —yang kemudian dibalasnya dengan berucap, “Wa’alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh.” Dan, untuk beberapa saat kemudian —sembari melihat semut itu merangkak pergi—, ia kembali tercengang begitu menyadari ia baru saja omong-omongan dengan seekor semut.

Sejak saat itu, untuk memudahkan semut-semut itu mencari makanan sekaligus diniatkan sebagai sedekah yang mudah-mudahan menjadi kaffarah baginya, ia menaruh sisa-sisa makanan di rumahnya ke tanah pekarangan rumahnya —tidak jauh dari sarang mereka. Bahkan sesekali ia menyuguhkan makanan kesukaan mereka: gula.

Para semut pun berterima kasih pada semut itu yang, boleh jadi perbuatannya —yang mula-mula diawali dari kesukaannya berpikir—, menjadi perantara Gusti Allah Ta’ala mempermudah rezeki bagi mereka.

Sementara itu, demikian kata semut itu pada mereka, sejak kejadian itu, lelaki itu apabila disakiti oleh orang lain, baik secara tidak atau sengaja, sebisa mungkin menahan diri untuk tidak membalasnya —bahkan berusaha memaafkannya kendatipun tanpa diminta. Hal ini ia lakukan, mudah-mudahan menjadi kaffarah baginya —karena sebagai manusia ia tidak luput dari kesalahan: pernah atau mungkin bakal menyakiti sesama makhluk atau orang lain, baik sengaja maupun tidak sengaja.

Kesugihan, 12: 40, 9 Maret 2021.

Multi-Page

One Reply to “Kaffarah”

Tinggalkan Balasan