Jodoh Sejati

1,858 kali dibaca

Pertanyaan yang paling membuat Zainudin resah dalam hidupnya selama ini adalah hal yang berkaitan dengan statusnya yang masih lajang. “Kapan menikah?” yang kadang ditambahi nasihat-nasihat yang menurutnya sudah basi adalah pertanyaan yang kerap menerornya. Pertanyaan serupa menyerbu dari berbagai penjuru, seperti “Eling umur, segera menikah! Tunggu apa lagi? Tunggu dunia kiamat?” “Menikah itu untuk menjauhkan diri dari zina, segeralah…” “Nggak usah bingung, takut nggak ada modal. Allah pasti akan menurunkan rezekinya.”

Selain nasihat, Zain juga kerap mendapatkan beberapa ledekan karena statusnya itu. “Sudah kepala tiga, kenapa nggak menikah? Tidak laku?” “Menikah kok nunggu mapan, mapan itu ya di kasur. Atau jangan-jangan kamu kelainan, Zain?” Semprul! “Kenapa nggak segera nikah? Ada gangguan kesehatan di anggota tubuhmu?”

Advertisements

Kadang Zain merasa pertanyaan dan ledekan teman-temannya sudah kelewatan. Kepala Zain cenut-cenut dengan rentetan teror tersebut. Biasanya Zain menggerutu, “Siapa yang tak ingin menikah? Siapa yang tak ingin berumah tangga? Aku manusia normal! Tidak perlu grusagrusu. Memang apa urusanmu! Apakah mungkin, kamu yang memberi susu atau pampers untuk anakku nanti! Aku memang belum siap untuk saat ini. Itu saja!”

Qurratu Al-Uyun karya Syekh Muhammad Tahami Ibnu Madani telah dipelajarinya, meski singkat ketika nyantri di pondok dulu. Kini, Zain yang sudah lulus dari Stikes, sudah tidak lagi nyantri. Sekarang, Zain bergelut dengan pekerjaannya menjadi perawat di Rumah Sakit. Maka, teori kitab itu menunggu untuk diimplementasikan dalam kehidupannya, yang nyata tapi dengan jodoh yang masih maya.

Zain menyibukkan diri, asik dan khusyuk dengan pekerjaannya. Ikhwal jodoh, tentu Allah sudah menggariskan di lauhul mahfudz. Dia akan menemukan pasangannya besok, awal September, beberapa tahun lagi, setelah purnama kedua belas, entah kapan. Zain menyerahkan semua pada Allah di bawah bayang-bayang pertanyaan yang kerap menghampiri: “Kapan menikah?”

Berguguran daun pertanda pergantian iklim. Suara jangkrik musim kering berganti dengan lantunan orkestra kodok di musim hujan. Daun putri malu masih malu mengatup terkena rangsang. Air kelapa masih saja terasa manis. Siulan burung gunung dan burung dalam sangkar terasa sama, tiada beda. Zain khusyuk menikmati tiap mantra dan keajaiban alam. Semakin sadar, hati harus diisi, tulang rusuk yang hilang harus ditemukan. Senyum manis tiap pagi, pertama kali ingin ia lihat dari bidadari pilihan. Usapan hangat menjelang lelap malam, ingin ia rasakan. Dan, cerita pun harus berganti.

Zain bersama Irul, mitra piket jaga malam, ingin melepaskan penat sejenak, setelah menyelesaikan tugas mengontrol pasien. Kantin 24 jam menjadi jujukan untuk sedikit menyandarkan lelah mereka.

“Rul, siapa itu yang membantu ibu kantin?” tanya Zain kepada Irul, setelah melihat sosok wanita yang baru saja membawakan kopi panas ke meja mereka.

“Oh itu, keponakan Bu Surti. Baru saja membantu di sini, kemarin mulainya,” jawab Irul. “Kenapa? Minat?”

“Ha-ha-ha, mentang-mentang kamu tahu kalau aku sedang mencari jodoh, lalu kau tanyakan itu. Aku bukan laki-laki gampangan. Siapa dia?”

“Halah… sok cool kamu. Namanya Lia, Natalia. Umurnya tiga tahun lebih tua dari kita. Eh, tapi dia janda beranak satu lo,” Irul menjelaskan.

“Ha! Janda?!” Zain terkejut. “Kamu kok tahu banyak, Rul?”

“Iya jelas tahu, Bu Surti kan teman baik ibuku. Kemarin waktu beli sayur, biasalah emak-emak, ghibah sana-sini, kebetulan aku mendengarkan karena disuruh ibu menemani.”

“Oohh, dasar tukang nguping! Emm, kenapa dia janda?” tanya Zain menyelidik.

“Suaminya tentara, meninggal saat ditugaskan di Papua.”

Innalillahi, ironis sekali. Semoga dukanya segera hilang.”

“Kenapa? Kamu tertarik? Janda lo.”

“Ada yang salah dengan janda? Atau jangan-jangan kamu sendiri yang tertarik dengan dia?”

“Hei, bukan itu masalahnya. Perhatikan benar-benar kalungnya,” kata Irul setengah berbisik kepada Zain. Zain dengan perlahan menolehkan leher dan menatap benar-benar. Demi melihat kalung yang tampak menggelayut di leher Lia, simbol dari salah satu agama, Zain paham maksud Irul. Lia balas menatap mereka, tanpa sadar. Mengembangkan senyum tipis yang dibalas rikuh oleh Zain dan Irul, di tengah alunan melodi klasik,

“Dinda di manakah kau berada, rindu aku ingin jumpa,

meski lewat nada, kau dengarkan, segenap rasa tertumpah..”

Zain merasa tersihir dan tersindir. Dinda yang menjadi jodohnya, di manakah kini engkau berada? Misteri ilahi tentang jodoh begitu rumit dan pelik. Kerinduan kasih sayang yang diidamkan, untuk menumpahruahkan segala keluh kesah. Dengan sapaan nan mesra, “istriku….”

Irul pernah bercerita, bahwa sebenarnya ada dua perawat yang memberikan “sinyal” pada Zain. Zain juga mengetahui. Hanya, menurut Zain, membawa perasaan di pekerjaan membuat rasa kurang nyaman. Dua bunga busana serba putih, memesona, juga berkepribadian yang karimah. Alfi, dara yang mengenal Zain sejak SMA, gadis berparas kalem, keibuan, lugu, polos, dan ayu tanpa make-up; Aida, modis, pintar menyesuaikan, mudah bergaul, centil tapi menyenangkan. Zain menyukai keduanya. Namun, baginya kedua dara itu adalah pilihan sulit. Menentukan mana yang dipilih untuk diseriusi. Skor berimbang, 0-0. Salat istikharah sudah dilakukan, salat hajat juga sudah dilaksanakan, namun Sang Pemilih Jodoh manusia masih menyimpan rapi jodoh, serangkai dengan rezeki dan pati.

“Rul, menurut kamu antara Alfi dan Aida, mana yang harus kupilih?” tanya Zain.

“Aduuhh, jodoh bukan untuk dipilih. Karena jodoh adalah anugerah, kawan!” Irul menanggapi.

“Maksudmu? Harus kupilih dua-duanya? Mana mungkin?” Zain bingung.

“Ha-ha-ha, bukan, bukan itu maksudku. Jodoh bukan hadiah, dia adalah anugerah.”

“Jadi?”

“Sapalah Allah penciptamu. Mintalah petunjuk. Ikhtiar sesuai anjuran agama.”

“Sudah! Aku sudah menyapa Allah dengan tahajud, hajat, dan istikharah. Adakah yang salah?”

“Salah? Bukan salah tentang salat-salat sunah tadi. Tetapi, niat kita dalam melakukannya. Ikhlas atau hasrat?”

Zain tertunduk. Tidak salah dia memilih teman curhat, Irul. Kawannya yang pernah mengenyam pendidikan pesantren salafi. Bijak dalam usia muda. Jarang sekali ia temui. Berpengetahuan agama luas, tapi tidak dangkal pemikiran, tidak pula sempit pemahaman. Zain tertegun. Adakah yang salah dengan niatnya?

“Jadi, aku harus bagaimana, Rul?”

“Ta’aruf. Mendekati tapi bukan dengan berahi. Menyelami kedalaman cinta.”

“Terima kasih, Rul. Aku tahu! Kamu memang sahabat terbaikku,” Zain menyudahi curhatannya.

Ta’aruf menjadi jalan berikutnya. Takdir harus dijemput. Alfi ataupun Aida, keduanya sama-sama dalam kebaikan. Tapi, jodoh adalah yang terbaik. Jodoh akan datang menjadi hasil dari setiap doa dan usaha. Berserah; tawakal menjadi keridhaan yang didambakan. Dan, Zain ingin mengetahuinya.

“Assalamualaikum, Alfi,” sapa Zain.

“Waalaikumsalam mas. Ada apa ya?” Alfi dengan tersipu menjawab salam Zain.

Zain memberanikan diri, “Maaf sebelumnya ya, Alfi. Aku perhatikan tas kamu sudah usang. Tiga hari lagi, aku gajian. Bolehkah aku memberikanmu hadiah tas baru?”

Alfi terkejut, “Nggak usah repot-repot mas. Ini masih bisa dipakai kok. Mas Zain pakai saja untuk kebutuhan mas.”

Subhanallah. Bertasbih Zain dalam hati. “Memang, rencananya aku ingin membelikan kebutuhan. Lihat sepatuku juga telah usang. Namun, sudikah dirimu menerima pemberianku?”

Alfi tersenyum, “InsyaAllah…,” kemudian berlalu. Zain terpaku. Jawaban “insyaallah” menjadi misteri. Antara mau atau tidak. Zain juga berlalu, ingin mencari Aida.

“Assalamualaikum, Aida,” tegur Zain.

“Waalaikumsalam, mas Zain. Ada apa ya?” centil dan renyah sekali Aida membalas salam Zain.

Zain menjadi gugup ingin meneruskan. Terpesona. “Eh..ee..begini Aida. Maaf sekiranya aku tidak sopan. Aku lihat jilbab seragam perawatmu sudah pudar. Dan tiga hari lagi kita gajian. Bolehkah aku memberimu hadiah jilbab?”

Alfi cekikikan. “Ha-ha-ha..Mas Zain… Mas Zain. Perhatian sekali. Aida jadi malu nih. Nggak usah repot deh Mas. Kita masih sama-sama cari duit Mas. Santai saja. Nanti kalau sudah pudar beneran, benangnya sudah kelihatan, Aida pasti akan beli sendiri kok.”

“Maaf Aida, ini sudah niatku. Ingin memberikan kamu hadiah. Memang, awalnya aku ingin membeli sepatu baru. Tapi, aku ingin memberikan kesan kepadamu.”

“Aihh, Mas Zain romantis nih. Bagi Aida, setiap Mas Zain membantuku mengeluarkan sepeda matikku diparkiran, itu sudah berkesan lo.”

“Bisa saja kamu Aida. Ini aku sudah niat lo. Diterima ya.”

“Insyaallah,” jawab Aida yang kemudian berlalu dengan senyuman riangnya.

Dua kali Zain dapat jawaban “insyaallah”. Wanita memang rumit. Mistis. Jawabannya sering tidak jelas. Sering lupa menaruh pita rambut, tapi masih ingat ucapan pria sembilan tahun yang lalu, pada hari dan jam yang sama. Aneh tapi nyata. Misteri tapi tetap indah untuk didekati. Wanita.

Tiga hari berlalu. Sebelumnya, Zain bercerita perihal tersebut kepada Irul. Bahwa, jawaban Alfi ataupun Aida setelah menerima hadiah, juga menjadi jawaban Zain. Mana wanita yang terbaik untuk dirinya. Dan Zain siap akan meminangnya. Irul yang mendengar merasa galau pada sahabatnya. Entah jawaban apa yang dimaksud.Tibalah hari di mana Zain membawa hadiah untuk dua wanita yang membuatnya terpesona. Menenteng dua tas berisi tas baru dan jilbab baru untuk Alfi dan Aida. Di dalam bungkusan hadiah tersebut, Zain menyelipkan sebuah puisi:

Ku sapa dirimu, calon garwa

yang nanti menjadi sesandaran tresna

mohon legawa pangapura adinda

bila persembahan ini kurang memesona

mohon buka kedalaman manah dan pejamkan netra

maksud hamba, untuk menyuluh cinta agar menyala

karena pijar kalbu hamba butuh bara

mencari cahya dalam terang asmaradhana

mewarna, dengan harum kenanga

mewangi, dan ‘kan kuhirup tanpa jeda

rentang usia, ingin membenang kasih adam kepada hawa

menyulam kisah cantik, sesembahan setia

belah dua tanganmu menerima

menjadi penting atas ikhlas yang menjadi irama

dan, kembali untukmu, calon garwa

sudilah menerima

hamba meminta

atas nama takdir dan cinta

Amboi, Zain mendadak menjadi sastrawan. Puitis romantis nan pandai meliukkan kata. Alfi yang menjadi tujuan pertamanya.

“Al, sesuai janjiku tiga hari lalu. Terimalah hadiahku. Semoga kamu berkenan menerimanya,” berkatalah Zain sambil menyerahkan kado cantik berbalut kertas kado merah muda.

“Mas Zain sungguh menepati janji. Padahal Alfi tidak mengapa jika tidak menjadi nyata,” Alfi tersipu malu, sambil menerima kado pemberian Zain.

“Al, aku lelaki. Apa yang menjadi janji, usaha kerasku untuk memenuhi. Entah terwujud atau tidak, yang penting aku bersikeras menepatinya.”

Alfi merona pipinya, “Terima kasih, Mas Zain. Semoga Allah membalas semua kebaikanmu.”

Selesai dengan Alfi, Zain bergegas menemui Aida untuk memberikan hadiah yang dijanjikan. “Aida, seperti yang aku bicarakan kemarin. Aku mohon terimalah bingkisan ini. Sekadar untuk memuaskan keinginanku demi untuk membuatmu terkesan,” berkata Zain penuh harap.

Aida tersenyum, sembari menerima bingkisan tadi. Dibuka dan dibacanya untaian puisi yang dibuat Zain.

“Aduuhh, Mas Zain ini pandai merangkai kata. Rayuannya maut. Sampai terlena aku dibuatnya.”

Zain ganti tersipu. Kemudian, Aida mengeluarkan bungkusan.

“Mas Zain, perhatianmu tentang jilbabku yang telah pudar, membuatku haru. Sementara keinginanmu sendiri untuk membeli sepatu kau urungkan. Jadi, kerelaanmu Aida ingin menggantinya, terimalah ini..,,” berkata Aida sambil menyerahkan bungkusan yang rapi dibungkus.

Zain terkejut. Tambah terkejut hatinya, ketika membuka bungkusan tadi berupa sepatu. Zain tersenyum. Seperti menemukan jawaban dan tambatan. Ia kini seolah mengerti, kepada siapa ia menjatuhkan pilihan.

Suatu hari, Zain kembali mengobrol dengan Irul untuk bercerita perihal ta’arufnya kepada Alfi dan Aida. Irul terkesan, dengan cara Zain menentukan pilihan.

“Jadi, kau sudah menentukan pilihanmu, Zain?” tanya Irul.

“Insyaallah sudah. Meski sulit. Butuh penuh pertimbangan,” Zain menghela napas beberapa saat.

“Siapa?Alfi atau Aida?”

“Bukan, bukan keduanya.”

Irul kaget, “Loh, bukankah ceritamu tentang dua orang tadi?”

“Iya, tapi dari keduanya aku belajar. Alfi tentang penerimaan dan menghargai. Aida tentang kerelaan dan pengorbanan.”

Irul tambah penasaran, “Lalu pilihan kau jatuhkan kepada siapa?”

Zain tertahan sejenak, “Lia, Natalia. Ia jodoh yang aku pilih dan segera aku pinang. Janda beranak satu.”

Irul terbelalak, “Lia?!?”

“Ya, Lia. Ia bersedia menjadi mualaf. Menerimaku, menghargaiku. Ia rela dan berkorban. Begitu juga aku,” Zain menjelaskan.

Irul takjub. Ia memandang lekat sahabatnya. Zain telah menemukan tulang rusuknya yang hilang. Dinda yang dicari telah ditemukan. Melebihi cinta sejati. Tapi, kesediaan tentang penerimaan dan pengorbanan. Barakallahu ….

Multi-Page

Tinggalkan Balasan