Jelajah Pondok di Sumatra (4): “Sikola Arab” di Antara Dua Sungai

1,766 kali dibaca

Penjelajahan kita di Sumatra Utara khususnya di Tapanuli Selatan kita lanjutkan lebih ke timur Nabundong, yaitu Sungai Dua Portibi. Kita tidak sekadar menuliskan pesantren berdasarkan lokasi geografisnya. Kita juga akan melihat bahwa sejatinya pesantren-pesantren tersebut ternyata berjejaring atau terhubung satu sama lain.

Tulisan Jelajah Dunia Pesantren di Sumatra (2) dan Jelajah Dunia Pesantren di Sumatra (3) berjejaring karena ada relasi murid-guru antara KH Abdullah Harahap, pendiri Pondok Pesantren Nurul Falah Panompuan dengan Syekh Ahmad Daud Siregar pendiri Pondok Pesantren Darul Ulum Nabundong Gunung Tua Jae Tapanuli Selatan.

Advertisements

Pada Jelajah Dunia Pesantren di Sumatra (4) kita akan membahas mengenai jejaring yang menghubungkannya dengan Pondok Pesantren Nabundong. Saya melihat ada pentingnya bagi kita melihat jejaring di antara pondok pesantren tersebut untuk melihat pandangan dunia dan pandangan akhirat yang melatari dunia pesantren di Sumatra Utara, khususnya di Tapanuli Selatan.

Syeikh Mukhtar Harahap Belajar ke Makkah

Sebenarnya, hubungan Syekh Ahmad Daud Siregar dengan Syekh Mukhtar Harahap tidak terjalin secara langsung. Syekh Ahmad Daud Siregar belajar di Darul Ulum Makkah pada tahun 1916-1923. Sementara itu, Syekh Mukhtar Harahap belajar di Darul Ulum Makkah pada tahun 1925-1931. Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa keduanya tidak berada di tempat yang sama pada waktu yang sama di Darul Ulum Makkah. Jadi, yang menyambungkan mereka adalah Darul Ulum dengan segala kelengkapan yang melingkupinya.

Sebelum berangkat ke Makkah, baik Syekh Ahmad Daud maupun Syekh Mukhtar sama belajar di Langkat dan di Kedah. Untuk sementara, saya menyimpulkan bahwa sanad keilmuan mereka terutama yang berhubungan dengan tarikat An-Naqsabanyiah tersambung pada Syekh Abdul Wahab Rokan di Langkat dan kepada Syekh Idris Air Hitam Kedah Malaysia.

Ada satu hal yang menbedakan mereka. Syekh Ahmad Daud pulang dari Darul Ulum Makkah bersamaan dengan kisruh Wahabi, sedangkan Syekh Mukhtar justru berangkat ke Makkah bertepatan dengan kisruh tersebut. Barangkali, itulah yang mempengaruhi pilihan Syekh Mukhtar dengan menerapkan sistem pendidikan modern untuk santri-santri muda dan pemula.

Sekembalinya dari Makkah, Syekh Mukhtar mendirikan Pondok Pesantren Sungai Dua. Sebagian menyimpulkan bahwa frasa Sungai Dua diambil dari tempat beliau untuk pertama kalinya belajar ilmu agama. Sebagian yang lain mengatakan bawah frasa Sungai Dua diambil dari fakta bahwa pondok tersebut diapit oleh dua sungai.

Di pesantren yang berdiri pada tahun 1935 itu, kepada santri yang sudah lebih dewasa dan dewasa ia menerapkan sistem sorogan dan wetonan. Sifat-sifat yang secara dzahir terlihat pada pembelajar yang meguru ke Langkat-Kedah-Makkah tersebut adalah bahwa mereka bukan hanya guru-murid, melainkan juga merupakan mursyid-khalifah.

Pondok Pesantren Al-Mukhtariyah yang lebih dikenal sebagai Pondok Pesantren Sungai Dua, meskipun mengalami modifikasi sedikit, pada masa kepemimpinan Syekh Mukhtar Harahap, melaksakan pengajian yang bersifat sorogan. Di pesantren yang berdiri pada tahun 1935 itu diajarkan berbagai aspek ilmu-ilmu keislaman, seperti tafsir, hadits, tauhid, fikih, akhlak/tasawuf, dan bahasa Arab.

Sebagaimana kita katakana tadi bahwa Syekh Mukhtar yang memiliki nama kecil Yakub Harahap tersebut belajar menimba ilmu ke Langkat-Kedah-Makkah. Untuk sementara, dapat kita simpulkan bahwa pendirian awalnya adalah untuk belajar ilmu-ilmu esoterik atau tasawuf Naqsabandiyah. Oleh karenanya, di bawah pimpinan Syekh Mukhtar, pondok persulukan atau pesantren dewasa adalah “core-bussiness” dari pondok ini. Pembelajaran untuk kelas dewasa ini dilaksanakan dengan sistem sorogan.

Syekh Mukhtar Wafat

Pada sebuah waktu menjelang subuh ketika membersihkan diri di sungai Batang Pane, seekor buaya tiba-tiba muncul dan menyerang Syekh Mukhtar Harahap. Beliau meninggal pada usia 50 tahun. Ia meninggalkan dua putra yang masih di bawah umur; Zaharuddin Harahap (15 tahun ketika Syekh meninggal) dan Qomaruzzaman Harahap (5 tahun ketika Syekh meninggal).

Berdasarkan umur, Zaharuddin Harahap belum layak dan belum mampu memimpin pesantren. Oleh karena itu, pucuk pimpinan pesantren diserahkan kepada pengajar senior pesantren, yaitu Musthafa Buya Siregar (1948-1953). Beliau diberi mandat untuk mempersiapkan anak-anak syekh untuk memimpin pada saat yang tepat. Setelah itu, Zaharuddin Harahap memimpin pesantren dari tahun 1958-2000.

Terdapat beberapa penyesuaian yang dilakukan untuk menjawab tantangan zaman. Kurikulum pesantren disesuaikan dengan sistem pendidikan yang nasional yang berlaku, terutama pada tahun 1990-2000. Para siswa harus mendapat porsi pendidikan umum yang proporsional agar dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi seperti IAIN.

Semangat kembali ke sistem lama muncul justru dari pimpinan yang saat ini memimpin pesantren. Qomaruzzaman Harahap nampaknya ingin mengembalikan khittah Pondok Pesantren Al-Mukhtariyah ke masa pendiriannya. Ayak Qomaruzzaman ingin secara gradual mengembalikan ruh dan semangat pesantren, yakni kemandirian kembali kepada dirinya, para guru, dan santri. Santri senior harus kembali belajar kitab-kita klasik sehingga memiliki intellectual genealogy dan mempelajari ilmu tasawuf, khususnya Naqsabandiyah sehingga memiliki mystical genealogy.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan