Jejak Sejarah Gerakan Wahabi-Salafi

2,938 kali dibaca

Penulis               : Khaled Abou El Fadl
Judul                  : The Great Thetf: Wresting Islam From The Extremist
Penerjemah        : Helmi Mustofa
Penerbit              : SERAMBI
Cetakan              : pertama
Tahun terbit        : 2015.

Wahabi (baca: Salafi) merupakan salah satu gerakan yang mengusung tema puritanisme ajaran Islam. Mereka berkeyakinan, hanya dipahami dengan pendekatan tekstual, Islam sebagai agama dapat diaplikasikan dalam berbagai persoalan. Sebab, hukum dan aturan yang datang dari kitab suci diyakini berlaku bagi manusia secara universal.

Advertisements

Sudah mafhum bahwa ayat al-Quran mengandung kajian sosio-historis secara holistik, mulai dari sebab turunnya ayat, konteks turunnya ayat, relasi satu ayat dengan ayat yang lain, serta pesan tersirat yang disampaikan secara eksplisit kepada masyarakat luas khususnya umat muslim. Anehnya, semua yang ada dalam al-Quran oleh kaum Wahabi dipahami dengan pola maupun pendekatan satu perspektif, yaitu perspektif skriptualis/tekstual. Tidak ada yang lainnya! Miris bukan?

Buku ini menjelaskan tentang asal-usul kaum Wahabi, yang lahir dari aliansi al-Su’ud dan Abdul Wahab, yang belakangan juga dikenal sebagai salafi. Wahabi sebagai paham mempunyai dasar-dasar teologi yang dibangun secara kokoh oleh Muhammad bin Abdul Wahab pada 1792 M. Menurut ajaran Abdul Wahab ketika itu, umat Islam telah melakukan kesalahan dengan menyimpang dari jalan Islam yang lurus. Satu-satunya jalan harus kembali ke agama yang benar yaitu Islam (hlm 7), berdasarkan penafsirannya.

Dapat diambil benang merah bahwa kehadiran Wahabi tidak lain untuk memurnikan serta mengajak umat Islam seluruh dunia untuk tidak melakukan kesalahan. Dalam pandangan Abdul Wahab, jalan kembali ke Islam yang “murni” mencakup banyak aspek. Di antaranya umat Islam tidak boleh melakukan ritual agama yang mengandung unsur perusakan Islam, seperti ajaran tasawuf, doktrin perantara (wasilah), rasionalisme, ajaran syiah, serta banyak praktik ritual agama yang dinilai merusak bangunan akidah Islam secara gradual.

Di sisi lain, Wahabisme memperlihatkan kebencian luar biasa terhadap semua bentuk intelektualisme, mistisme, dan sektarianisme dalam Islam. Paham Wahabi ini memandang semua itu sebagai inovasi yang menyimpang yang masuk ke dalam Islam karena adanya pengaruh luar Islam (baca: bid’h). Kaum Wahabi cenderung menyikapi segala bentuk ritual maupun tradisi yang datang tidak dari wilayah Arab sebagai bentuk perkara yang dicurigai dengan menyakini bahwa pengaruh yang dibawa ke ajaran Islam bersumber dari tradisi dan bangsa seperti Persia, Turki, dan Yunani (hlm 9).

Kekhawatiran berlebihan terhadap pengaruh luar membuat kelompok Wahabi takut dengan pembaharuan maupun kemajuan di bidang agama. Kelompok Wahabi cenderung tertutup dari segi pemikiran semata-mata untuk melindungi dirinya dari adanya perusukan akidah dari pengaruh maupun intervensi budaya luar. Dari sini kemudian menyebabkan munculnya ciri khas Wahabi, yaitu menjunjung tinggi pemikiran eksklusif-rigid atas pemikiran maupun tradisi luar yang sejatinya bisa bersinergi dengan Islam sebagai agama maupun dengan ritual Islam.

Dalam ajarannya, Abdul Wahab terus-menerus menekankan bahwa tidak ada jalan tengah bagi seorang muslim. Dalam artian, hanya ada dua piihan yang ditawarkannya, yaitu menjadi seorang muslim yang benar-benar beriman (secara murni) atau tidak. Tentu berdasarkan penafsiran kelompoknya sendiri. Dan jika seorang muslim yang tidak beriman, dengan ukuran Abdul Wahab, maka dalam keyakinannya tidak ada sedikit pun rasa cemas untuk menyatakan bahwa si muslim tersebut telah kafir (hlm 13).

Tidak hanya persoalan teologi an sich, Abdul Wahab dengan gerakan Wahabinya juga berperan aktif dalam membangun jaringan dengan melanggengkan status quo demi kepentingan ideologisnya. Maka, pada tahun 1745 hingga 1818, Kota Dir’iyah (kota kecil bagian dari semenanjung Arab) sebagai pusat lahirnya gerakan Wahabi hancur karena serangan militer Mesir dan Turki. Akibatnya, semangat kaum Wahabi semakin menjadi-jadi dengan menjadikan hancurnya kota tersebut sebagai simbol penderitaan maupun pengorbanan mereka dalam berjuang menyebarkan ajaran Wahabi kepada umat muslim.

Dalam perjalanannya, kelompok Wahabi berambisi untuk menciptakan tatanan baru dengan mensinergikan agama-negara untuk menyokong kepentingan akidahnya. Tidak hanya itu, Abdul Wahab melirik Abdul Aziz ibnu Su’ud untuk membangun tatanan Wahabi di wilayah Semenanjung Arab hingga akhirnya muncul pemberontakan diprakarsai oleh Abdul Wahab sebagai pelopor gerakan Wahabi, dan Abdul Aziz sebagai penguasa wilayah dengan bantuan senjata dari Inggris.

Ideologi Wahabi dihidupkan kembali sekali lagi pada awal abad ke-20 di bawah kepemipinan Abdul Aziz ibnu Su’ud yang memerintah pada 1902-1953 M dengan semangat pemberontakan sebagai wujud balas dendam atas kekalahan dari militer Mesir dan Turki. Pendiri Negara Saudi modern yang berafiliasi dengan akidah Wahabi ini mencoba menggabungkan berbagai suku-suku di Najd yang kelak menjadi cikal bakal negara Saudi yang berpaham Wahabi.

Maka, pasca konsolidasi yang dilakukan oleh Abdul Aziz bin Su’ud, pemberontakan Wahabi pertama di Semenanjung Arab pada abad ke 18 M dengan agenda menggulingkan kendali Kekhalifahan Ustmani untuk memperkuat jenis Islam puritannya Abdul Wahab ke dunia Arab sebanyak-banyaknya. Mereka berupaya mengontrol Makkah dan Madinah secara masif dan sistematis dengan tujuan mendapatkan kemenangan simbolis agar mampu mengendalikan pusat spiritual dunia Islam (hlm 36)

Oleh karena itu, gerakan Wahabi/Salafi di Semenanjung Arab menjadi kekuatan besar untuk bersatu menegakkan ajaran Islam yang murni dengan berpegangan pada al-Qur’an dan Hadits sebagai pegangan hidup orang Islam di seluruh dunia.

Begitulah runtutan lahirnya gerakan Wahabi/Salafi yang tergambar melalui buku ini. Wallahu A’lam.

 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan