Jangan-Jangan, Kita Adalah Neo-Fir’aun

1,314 kali dibaca

Berbicara tentang Fir’aun, saya meyakini pasti sudah sangat masyhur dan mutawatir dalam benak kita semua. Sejak masih kecil, kita didoktrin oleh para guru guna menjadi pelopor kebaikan. Perwujudannya diarahkan untuk selalu mengarusutama tolong menolong, semangat mencari ilmu, menjadi pribadi jujur, dan tidak boleh berbuat jahat pada liyan. Tidak jarang dalam prosesi penyampaiannya menisbatkan sosok-sosok antagonis, salah satunya yaitu Fir’aun, sebagai cermin kehidupan.

Fir’aun adalah sebutan bagi setiap penguasa Mesir kuno. Jadi, entah siapapun sosok yang menjadi penguasa, serentak dengan itu, ia mendapat gelar “Fir’aun”. Pemahaman seperti ini yang nampaknya belum membumi di masyaarakat kita. Kebanyakan dari mereka masih menganggap bahwa Fir’aun yaitu nama asli dari seorang tokoh. Padahal hal tersebut adalah suatu hal kekeliruan.

Advertisements

Istilah Fir’aun mulai populer setidaknya sejak bergulirnya hikayat Nabi Musa. Kemudian, “kepopuleran” Fir’aun semakin bertambah lantaran diabadikan dalam kitab suci Al-Qur’an. Al-Qur’an menjelaskan Fir’aun dengan begitu gamblang dan detail. Fir’aun dalam Al-Qur’an dilukiskan sebagai sosok penguasa yang zalim dan kejam. Jabatan kepemimpinannya dimanfaatkan untuk melanggengkan berbagai kebijakan penuh penindasan dan kesewenang-wenangan terhadap rakyatnya (bani Israel).

Sebagai sosok pemimpin, ia sangat jauh dari kesan ramah, humanis, dan memberdayakan rakyat. Kegelimangan harta dan kenikmatan duniawi yang dimiliki hanya diperuntukkan untuk hadun nafsi (mementingkan diri sendiri). Salah satunya, membangun istana megah. Sebagai perwujudan menebalkan garis demarkasi dengan siapaun. Dirinya mengklaim harus “berjaya seorang diri”. Tidak boleh ada entitas lain yang sederajat, apalagi menyainginya. Lebih parah lagi, ia mengumumkan dirinya sebagai tuhan yang harus disembah oleh semua rakyatnya.

Melihat situasi sudah sangat parah. Bahwa seorang hamba berlagak melebihi kodratnya sebagai hamba. Allah Swt kemudian mengutus Nabi Musa untuk membawa misi perubahan melawan otoritarianisme dan kemusyrikan menuju pada tatanan pembebasan sosial dan penuh ketauhidan. Dengan bekal membawa bukti keterangan-Nya yang nyata, para umat bani Israil berhasil dibujuk untuk mengikuti ajarannya. Namun, saat berdakwah mengambil hati Fir’aun untuk beriman pada Tuhan (Allah Swt), acap kali menemui kebuntuan. Fir’aun masih bersikukuh pada pengklaiman dirinya sebagai Tuhan.

Hingga pada puncaknya, ketika Nabi Musa berhasil mendapatkan kitab Taurat, ia kemudian menghadap Fir’aun kembali untuk mengajak beriman sembari menyampaikan Taurat yang dibawanya, kitab Suci dari Tuhan (Allah Swt) untuk umat. Mendengar hal tersebut, Fir’aun langsung murka dan mengancam Nabi Musa. Nabi Musa mendapat perintah untuk meninggalkan Mesir. Lalu bergegaslah pergi menyelamatkan diri.

Kemanapun pergi, Fir’aun dan pasukannya tetap mengejar rombongan Nabi Musa. Derap langkah terhenti di depan Laut Merah. Tidak aja jalan lain. Yang tersisa hanyalah lautan berisikan air. Atas kehendak Allah, Laut tersebut terbelah membentuk jalanan. Tanpa berpikir panjang, Nabi Musa dan para peringkutnya segera menyeberang dan berhasil selamat. Nasib berbeda dialami Fir’aun dan pasukannya, ia terlelap di tengah lautan, karena atas kuasa Allah Laut tersebut tertutup kembali.

Begitulah kira-kira gambaran saat guru menceritakan sosok Fir’aun. Adapun pertanyaan siapa nama asli Fir’aun yang tenggelam kala itu, masih diperdebatkan kalangan sejarawan dan ahli agama. Ada yang menaksir Fir’aun Ramses II, ada juga yang menyebut Fir’aun Marneptah. Terlepas dari itu semua, Al-Qur’an secara sengaja memang menyembunyikan nama-nama Fir’aun tersebut. Sebab, maksud al-Qur’an adalah bukan mau ghibahin orang buruk, tetapi yang utama dalam rangka sebagai pijakan dan ibrah bagi manusia mendatang.

Namun sebenarnya, di era kini, apakah “Fir’aun-Fir’aun masa kini” itu ada? Bagaimana wujud dan karakteristik dari Fir’aun tersebut?. Perlu penelaahan dalam mendedah Neo-Fir’aun, individualis masa kini yang karakter, pemikiran, sifat, dan sikap bersesuaian dengan sosok Fir’aun. Jadi, siapakah sosok Neo-Fir’aun era kontemporer ini?

Pertama, Fir’aun semasa hidup mengklaim dirinya Tuhan dan penuh arogansi. Namun, di akhir hayatnya, ketika hampir (mati) tenggelam di Laut Merah, ia mendadak ingn bertobat, bersaksi mempercayai Tuhan yang dipercayai Nabi Musa dan bani Israil. Namun hal tersebut terhalang oleh Malaikat Jibril yang menyumpal mulut Fir’aun dengan pasir.

Jangan-jangan, Neo-Fir’aun adalah kita, orang yang sekarang secara sadar sedang asik menikmati materialistik, dan bermaksiat. Adapun momen pertobatan menunggu saat memasuki usia senja.

Kedua, dalam QS Al-Qashash ayat 4, Allah mensifati Fir’aun sebagai sosok memecah belah. Jangan-jangan, Neo-Fir’aun adalah kita, ikut terbawa arus memainkan peran dalam politisasi identitas. Disisi lain juga mengukuhkan sikap daulisme dalam suatu organisasi, komunitas, ataupun instansi.

Ketiga, dalam QS Al-A’raf ayat 123, Fir’aun tidak memberikan izin kepada para penyihir untuk beriman, dan berniat akan mengancam para penyihir jika hal tersebut dilanggar.

Jangan-jangan, Neo-Fir’aun adalah kita, tidak memberikan izin pada istri, adik, atau anggota keluarga mengeksplor dirinya ke dunia luar (berkarir) untuk kebaikan. Padahal hal tersebut tidak bertentangan dengan ajaran agama.

Keempat, dalam QS Ghafir ayat 29, Fir’aun memiliki sifat tidak mau mendengar pendapat orang lain.

Jangan-jangan, Neo-Fir’aun adalah kita, setiap kali melontarkan argumen pendapat dan ada yang menyanggah, kita malah acuh dan cuek. Setiap kali ada teman yang memberi masukan untuk diri kita, kitanya malah jadi sinis.

Kelima, dalam QS Az-Zukhruf ayat 54 dan Al-Mu’minun ayat 47, Allah menyebut sifat Fir’aun adalah memperbudak orang.

Jangan-jangan, Neo-Fir’aun adalah kita, senioritas menindas inferioritas, kakak yang merundung adiknya, suami menjajah istrinya dan sebaliknya, bahkan memanfaatkan kebaikan orang lain disuruh untuk membelikan keinginan pribadinya.

Keenam, dalam QS Al-A’raf ayat 132, Fir’aun berkata, bukti apapun yang dibawa Nabi Musa, ia tetap tidak mempercayainya.

Jangan-jangan, Neo-Fir’aun adalah kita, ketidaksukaan pada seseorang menjadikan kita menutup diri menerima apapun dari orang tersebut, meskipun itu adalah kabar gembira, bingkisan oleh-oleh dan lain sebagainya.

Ketuju, dalam QS Ad-Dukhan ayat 31, Allah menyebut sifat Fir’aun adalah sombong.

Jangan-jangan, Neo-Fir’aun adalah kita, disaat memiliki barang bagus, ranking kelas, prestasi kelulusan/wisuda, dapat pekerjaan, naik jabatan, harta banyak lalu di pamerkan lewat maya ataupun nyata. Musabab tidak bisa mengontrol hawa nafsu, alih-alih tahadduts bin ni’mah justru terperosok pada riya’. Jangan-jangan, adalah kita, saat memiliki teman, rekan kerja baru, teman-teman yang lama sudah tidak dianggap lagi.

Kedelapan, dalam QS Az-Zukkruf ayat 52, Fir’aun sangat merasa lebih baik dari daripada Nabi Musa.

Jangan-jangan, Neo-Fir’aun adalah kita, orang yang memiliki “penyakit merasa paling” (merasa paling baik, paling berderajat, paling sholeh, paling pinter, paling mahfum dan merasa paling lainnya).

Kita ini umatnya Kanjeng Nabi, tapi –secara sadar atau tidak, secara sengaja atau tidak– terkadang kelakuan yang diperlihatkan justru bertolak belakang dengan ajaran Nabi Saw dan lebih banyak mengindikasi ke arah Fir’aun. Semoga hal ini menjadi permenungan bagi kita semua (terkhusus saya pribadi), supaya kedepan bisa jauh lebih baik lagi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan