Islam sebagai Agama Cinta dalam Novel Elif Shafak

1,573 kali dibaca

The Forty Rules of Love adalah novel yang ditulis oleh Elif Shafak, seorang novelis dan feminis Turki sekaligus satu dari dua penulis Turki, bersama Orhan Pamuk, yang sangat berani menyuarakan pendapatnya mengenai pembunuhan massal dan genosida yang dilakukan oleh Turki terhadap bangsa Kurdi dan orang Armenian.

Novel yang terbit pada 2010 dan sangat populer baik di dalam maupun di luar Turki ini menceritakan kisah paralel dua masa, yaitu masa abad ke-13 dan abad ke-21. Diawali dengan kisah Ella, perempuan Yahudi berusia empat puluh tahun di Northampton, Massachusets di abad ke-21 yang merupakan seorang ibu dari tiga anak dan istri dari suami yang diam-diam berselingkuh. Meskipun mengetahui perilaku suaminya, Ella sendiri memilih diam. Di tengah kebosanan, ketidakbahagiaan, dan konflik dengan keluarga, pekerjaannya sebagai reviewer agensi sastra mempertemukannya dengan naskah novel Sweet Blasphemy karya Aziz Zahara yang mengisahkan seorang darwis pengembara bernama Shams Tabriz di abad ke-13.

Advertisements

Dalam naskah Aziz Zahara itu dituturkan perjalanan Shams untuk menemukan Rumi. Shams digambarkan di awal cerita sebagai seorang darwis yang “cukup aneh” dan karena mengetahui soal bagaimana kematiannya kelak, ia merasa bahwa ia harus mencari seorang teman yang kepadanya Shams akan meneruskan pengetahuannya. Untuk itulah ia berkelana dari Samarkand ke Baghdad lalu Konya untuk bertemu sosok yang kelak menjadi teman spiritualnya sekaligus murid yang kepadanya pengetahuan Shams diteruskan, yaitu Maulana Jalaluddin Rumi. Meskipun ia tahu, harga yang harus ia bayar untuk pertemuan itu adalah nyawanya.

Sesaat sebelum Shams menginjakkan kaki ke kota yang akan mengantarkan ia pada Rumi, para wali atau awliya penjaga kota tersebut sudah memberikan peringatan bahwa di sana, Shams hanya akan mendapati cinta yang tulus dan kebencian yang paripurna, dan tidak di tengah-tengahnya:

In a little while, the wind returned with an answer. “O dervish, in this city you’ll find only two extremes, and nothing in between. Either pure love or pure hatred. We are warning you. Enter at your own risk.”

“In that case there is no need to worry,” I said. “As long as I can encounter pure love, that’ll be enough for me.” (Shafak, 2010: 68)

Perjalanan Shams menuju Konya, tempat Rumi, diceritakan dari beragam sudut pandang, termasuk Shams dan orang-orang yang ditemuinya: pengemis, pemabuk, pelacur, anak angkat Rumi, kedua anak lelaki Rumi, istri Rumi, Rumi sendiri, orang-orang yang kelak menjadi pengikut Shams, dan orang-orang yang kelak menjadi pembunuh Shams Tabriz.

Dalam narasi tersebut, ditunjukkan bagaimana orang-orang mengagumi dan membenci Shams dan bagaimana Rumi sendiri begitu mencintai Shams. Empat puluh kaidah cinta Shams pun dijabarkan satu persatu dengan berbagai konteks permasalahan hidup. Secara keseluruhan, novel ini menunjukkan bagaimana Shams merengkuh orang-orang papa, termasuk pengemis dan penderita kusta, pelacur, dan pemabuk dengan cinta dan kasih karena bagi dia, cinta pada Tuhan hanya bisa dimanifestasikan dengan mencintai ciptaan-Nya:

It’s easy to love a perfect God, unblemished and infallible that He is. What is far more difficult is to love fellow human beings with all their imperfections and defects. Remember, one can only know what one is capable of loving. There is no wisdom without love. Unless we learn to love God’s creation, we can neither truly love nor truly know God. (Shafak, 2010: 73)

Secara kritis, novel ini tidak semata mengisahkan fiksi historis tentang pertemuan Shams dan Rumi, tetapi juga menunjukkan representasi ideologi Islam sebagai agama damai yang mempromosikan cinta kasih, toleransi, dan memberikan kebebasan berpikir serta bersikap. Hal itu ditunjukkan oleh empat puluh kaidah cinta yang dirumuskan oleh Shams Tabriz:

As I went through all these experiences, I began to compile a list that wasn’t written down in any book, only inscribed in my soul. This personal list I called The Basic Principles of the Itinerant Mystics of Islam. To me these were as universal, dependable, and invariable as the laws of nature. Together they constituted The Forty Rules of the Religion of Love, which could be attained through love and love only. (Shafak, 2010: 33)

Furlanetto, dalam artikelnya yang berjudul The ‘Rumi Phenomenon’ Between Orientalism and Cosmopolitanism mengungkapkan bahwa ketika novel Shafak terbit, Rumi telah menjadi semacam budaya populer di Amerika karena banyak yang tersihir dengan pesan-pesan cinta dan toleransi dalam karya-karya Rumi sehingga buku puisi Rumi begitu laris di pasaran, bahkan isu terorisme 11/9 pun tidak bisa meredam popularitas Rumi. Meskipun ia berpendapat bahwa ada amerikanisasi dalam sosok Rumi dalam novel Shafak yang diparalelkan dengan kisah Ella dan Aziz dimana ada kesamaan pencarian teman spiritual dan transformasi spiritual, novel ini menampilkan sufisme dengan lebih universal dengan nilai-nilai moderat dan kosmopolis, tidak terbatas ruang dan waktu.

Meskipun penceritaan dalam narasi Shams dan Rumi sangat apik karena tokoh Shams diceritakan dengan perspektif banyak tokoh: baik yang mengaguminya maupun yang membencinya, narasi Ella dan Aziz memiliki kelemahan karena hanya dikisahkan dari sudut pandang Ella, tidak juga dari anak, suaminya atau bahkan Aziz. Namun, secara keseluruhan, novel ini sangat enak dinikmati, ia memberikan pemahaman dan pandangan yang lebih universal tentang Islam, yang direpresentasikan sebagai agama cinta yang universal melalui sufisme.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan