The Forty Rules of Love adalah novel yang ditulis oleh Elif Shafak, seorang novelis dan feminis Turki sekaligus satu dari dua penulis Turki, bersama Orhan Pamuk, yang sangat berani menyuarakan pendapatnya mengenai pembunuhan massal dan genosida yang dilakukan oleh Turki terhadap bangsa Kurdi dan orang Armenian.
Novel yang terbit pada 2010 dan sangat populer baik di dalam maupun di luar Turki ini menceritakan kisah paralel dua masa, yaitu masa abad ke-13 dan abad ke-21. Diawali dengan kisah Ella, perempuan Yahudi berusia empat puluh tahun di Northampton, Massachusets di abad ke-21 yang merupakan seorang ibu dari tiga anak dan istri dari suami yang diam-diam berselingkuh. Meskipun mengetahui perilaku suaminya, Ella sendiri memilih diam. Di tengah kebosanan, ketidakbahagiaan, dan konflik dengan keluarga, pekerjaannya sebagai reviewer agensi sastra mempertemukannya dengan naskah novel Sweet Blasphemy karya Aziz Zahara yang mengisahkan seorang darwis pengembara bernama Shams Tabriz di abad ke-13.
Dalam naskah Aziz Zahara itu dituturkan perjalanan Shams untuk menemukan Rumi. Shams digambarkan di awal cerita sebagai seorang darwis yang “cukup aneh” dan karena mengetahui soal bagaimana kematiannya kelak, ia merasa bahwa ia harus mencari seorang teman yang kepadanya Shams akan meneruskan pengetahuannya. Untuk itulah ia berkelana dari Samarkand ke Baghdad lalu Konya untuk bertemu sosok yang kelak menjadi teman spiritualnya sekaligus murid yang kepadanya pengetahuan Shams diteruskan, yaitu Maulana Jalaluddin Rumi. Meskipun ia tahu, harga yang harus ia bayar untuk pertemuan itu adalah nyawanya.
Sesaat sebelum Shams menginjakkan kaki ke kota yang akan mengantarkan ia pada Rumi, para wali atau awliya penjaga kota tersebut sudah memberikan peringatan bahwa di sana, Shams hanya akan mendapati cinta yang tulus dan kebencian yang paripurna, dan tidak di tengah-tengahnya: