Indonesia: Orientasi Islam Inklusif sebagai Premis Moderatisme

1,020 kali dibaca

Sampai sekarang, pluralitas agama bangsa Indonesia merupakan fenomena sosial yang unik. Paling unik di dunia. Sebab, pelbagai agama maupun ormas berbasis keagamaan yang ada menjadikan bentuk keaktifan suatu nilai kereligiusan bagi negara yang mengkonsensuskan akan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Namun, di setiap kemajemukan tidak bisa dimungkiri pasti terdapat pelbagai persoalan yang muncul akibat isu-isu keagamaan pada masyarakat Indonesia yang majemuk tersebut. Karena itu, seluruh problem hanya dapat ditangani melalui metode penyelesaian yang komprehensif, bukan dengan cara-cara pemaksaan dan kekerasan yang dampaknya akan merusak tatanan sosial yang lebih luas.

Advertisements

Rangkaian kasus-kasus kebebasan beragama yang berdampak pada konflik sosial di Indonesia menunjukkan bahwa negara belum mampu memiliki pola pemahaman yang utuh dalam menciptakan keharmonisan di level komunitas antar-pemeluk agama yang saling berkonflik. Kasus penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah di berbagai daerah kerap kali masih terjadi. Nampaknya kebebasan dan toleransi beragama di Indonesia mengalami isu yang sensitif yang menimbulkan gejolak perpecahan di masyarakat.

Fenomena tersebut perlu menjadi perhatian tokoh bangsa dan pemuka agama bahkan para cendikiawan dalam menyebarkan dan mengajarkan ajaran Islam للعالمين رحمة (rahmatan lil’alamiin ) demi kepentingan untuk membendung arus konflik yang lebih luas bermotif agama.

Secara historis, Indonesia sudah memiliki pola penyebaran Islam yang dilakukan oleh para Wali Songo yang dilakukan dengan mengedepankan rasa perdamaian, saling rukun dan harmonis antar-pemeluk agama, serta menguatamakan kebersamaan yang bertumpu saling menghormati dan menghargai antarsesama pemeluk agama, yaitu: Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katholik, dan aliran kepercayaan lainnya. Sehingga Islam sebagai agama dan segala nilai ajarannya bisa mewujud dan terinternalisasi dalam menciptakan interaksi sosial yang kuat antarwarga di Nusantara.

Dengan demikian, moderasi Islam perlu dirumuskan oleh berbagai kalangan di negeri ini sebagai tantangan yang harus dihadapi dan diupayakan menemukan formulasi solusinya dengan baik dan benar. Sebab, Indonesia di era ini secara ekonomi politik menjadi salah satu perhatian dunia internasional sebagai pusat rujukan bernegara dalam masyarakat yang majemuk (plural). Fondasi bernegara dengan semangat Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan yang sesungguhnya perlu diinternalisasikan untuk menciptakan interaksi sosial dalam bentuk asosiatif, yaitu: semangat kerja sama, gotong royong, tolong menolong antarsesama pemeluk agama.

Problematika Keagamaan

Aksi radikalisme yang muncul di negeri ini merupakan wujud dari gerakan perlawanan ideologi dan politik yang tidak sejalan dengan ajaran Islam menurut pemahaman mereka, yang menimbulkan berbagai rangkaian aksi teror, salah satunya gelombang kasus bom bunuh diri hingga menimbulkan banyak korban, baik yang terjadi bagi umat Islam maupun umat agama lainnya.

Sasaran gerakan terorisme yang cukup radikal saat ini perlahan mulai mengalami pergeseran, yaitu: fasilitas pemerintahan/negara dan aparat kepolisian. Sebenarnya, tindakan teror tidak hanya terjadi pada rangkaian aksi bom bunuh diri, melainkan juga pada aksi kekerasan pada kelompok minoritas agama. Selain itu, rangkaian aksi yang sering terjadi beberapa tahun terakhir di Indonesia yaitu: kasus kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah dan  penolakan pembangunan gereja.

Islam Keindonesiaan

Kemunculan istilah Islam moderat ini dianggap sebagai wacana yang strategis guna mencegah penyebarluasan radikalisme agama, sekaligus juga menolak paham liberalisme yang dirasakan sebagai ancaman terhadap Islam itu sendiri. Kedudukannya tentu dijadikan sebagai jalan tengah di antara ekstrem kanan maupun kiri.

Pendapat yang serupa, Abou Fadl sebagaimana dikutip oleh Chafid Wahyudi, menyatakan bahwa Islam moderat adalah mereka yang meyakini Islam, menghormati kewajiban-kewajiban kepada Tuhan, dan meyakini bahwa Islam sesuai untuk setiap saat dan zaman, li kull zamân wa makân. Mereka tidak memperlakukan agama laksana monumen yang kaku, tetapi memperlakukannya dalam kerangka iman yang dinamis dan aktif. Konsekuensinya, Islam moderat menghargai pencapaian-pencapaian sesama muslim di masa silam, untuk direaktualisasikan dalam konteks kekinian.

Opini ini sesuai dengan pendapat Quraish Shihab yang menyatakan bahwa perbedaan adalah sebuah keharusan dalam hidup yang diinginkan oleh Allah yang Mahakuasa. Di mana, perbedaan pendapat biasa terjadi dalam bidang sains, dan bahkan perbedaan respons manusia pada kebenaran Al-Quran, interpretasi terhadapnya maupun bentuk praktiknya. Premis menyandingkan Islam moderat dengan Islam inklusif.

Paham inklusif adalah pandangan keberagamaan yang didasarkan pada pandangan bahwa agama-agama lain yang ada di dunia ini mengandung kebenaran dan dapat memberikan manfaat serta keselamatan bagi penganutnya. Selain itu, ia tidak semata-mata menunjukkan realitas tentang adanya kemajemukan, melainkan terlibat aktif terhadap kenyataan kemajemukan. Sebaliknya, Islam eksklusif adalah suatu pandangan yang menganggap bahwa satu agama adalah benar dan yang lain sesat atau salah.

Jadi, moderasi Islam merupakan sikap anti kekerasan dalam mensyiarkan ajaran Islam, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, serta peran syiar para Wali Songo yang hingga kini dipahami sebagai Islam inklusif. Islam yang menjamin kemerdekaan setiap individu untuk menjalani kehidupannya, baik muslim maupun nonmuslim dengan mengedepankan toleransi antarsesama. Jika ditemukan adanya perbedaan pendapat dalam memaknai hukum Islam, maka perlu disikapi dengan arif.

Keragaman hanya bisa disikapi dengan kebesaran jiwa dan membuka dialog. Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia akan selalu diuji dengan berbagai isu kerukunan kehidupan umat beragama. Untuk itu, moderasi Islam bukan sekadar untuk memberikan kebebasan bagi semua pemeluk agama melakukan tindakan sosial sesuai kehendaknya, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai sosial yang melekat di masyarakat tersebut. Pada akhirnya toleransi hanya dianggap sebagai “obat mujarab” untuk mengatasi permasalahan sosial akibat kebebasan tanpa batas tersebut.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan