Indonesia Kita dan (Arti) Kemerdekaan

981 kali dibaca

Sebagai santri kita harus bersyukur kepada Allah Swt yang telah membawa Indonesia dalam pertumbuhan dan perkembangan hingga saat ini. Tentu saja kita semua berharap kelak Indonesia menjadi bangsa yang sukses.

Kemarin umat Islam banyak melakukan kegiatan guna memperingati tahun baru Hijriah. Berbeda dengan perayaan tahun baru Masehi yang semarak dengan tiupan terompet dan kembang api, justru kebanyakan umat Islam melaksanakan puasa dan berbagai tradisi lain yang amat sederhana dalam memperingati tahun baru Hijriah.

Advertisements

Kegiatan dalam mensyukuri satu Muharam, bulan yang mulia, di beberapa tempat bahkan dibacakan selawat dengan hikmat. Waktu peralihan yang dimulai sehabis Ashar hingga setelah Maghrib diisi dengan tirakatan dan zikiran. Laku santri semacam itu sungguh elok melatih kepribadian sebagai manusia yang disiplin, rendah hati, dan bersyukur. Tanpa maksud membeda-bedakan dengan ritual dari agama yang lain, yang tentu saja memiliki nilai kebaikan yang sama untuk sesama.

Kini, Indonesia memasuki tahun kemerdekaan yang ke-77. Hampir seabad sudah bangsa Indonesia menempuh kehidupan sejak diplokamasikannya kemerdekaan dan diakuinya kedaulatan kita sebagai negara bangsa dengan nama Republik Indonesia.

Nasionalisme yang kuat telah berjuang membebaskan kita dari penjajahan secara fisik, walaupun secara teori (misalnya, Poskolonial) masih dikatakan bahwa kita belum lepas dari penjajahan mental. Namun, secara faktual tertulis kita telah merasakannya lewat setengah abad. Usia yang untuk ukuran manusia Indonesia itu sudah masuk lansia, dan bagi seorang mantan Pegawai Negeri (PNS) telah jompo atau leot usai lewat masa pensiun. Namun, bagi Indonesia sungguh baru belia. Kita tahu, misalnya, demokrasi Amerika itu sudah berlangsung ratusan tahun, terhitung sejak Deklarasi Kemerdekaan AS 4 Juli 1776.

Indonesia kita dalam sistem demokrasi baru berjalan lebih baik setelah masa Reformasi. Pada masa Orde Baru belum tumbang tentu saja demokrasi kita ‘koma’/sekarat hampir wafat. Kini pun demokrasi kita tengah menghadapi ancaman sisa dari sejarah masa lalu yang makin canggih saja merampok kekayaan negeri, yaitu segelintir orang yang ditandai dengan nama Oligark.

Indonesia kita masih berhadapan dengan tantangan yang menghambat tugas mulia, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Faktor-faktor penghambat itu mungkin bisa ditafsirkan sebagai ‘ke-belum terbebasan’-nya dari jerat kelicikan dan keserakahan yang dahulu menjadi biang kerusakan, yang dulu kita sebut ‘penjajahan’, atau istilah Karl Marx, ‘penghisapan manusia atas manusia.

Memang betul ungkapan Bung Karno tempo dulu, yang inti bunyinya, setelah bangsa kita merdeka dan musuh yang jelas itu pergi, kita akan menghadapi musuh dari dalam bangsa kita sendiri. Ungkapan yang Soekarno ditiru dari ungkapan Kanjeng Nabi usai menghadapi perang besar.

Maka, semakin terlihat bahwa cita-cita dalam arti kemerdekaan itu masih jauh dari kenyataan. Rupanya kemerdekaan itu sedang dalam proses, sedang berlangsung. Kita semua masih memperjuangkannya. Kita semua masih berada di atas panggung sejarah yang maju ke depan.

Kemerdekaan ada di ujung waktu yang sedang kita alami ini, tinggal bagaimana kesadaran manusia Indonesia menyikapinya; apakah akan memilih kepedulian kepada sesama atau justru melakukan tindak ketidakadilan terhadap manusia; apakah akan menggunakan hati nuraninya ataukah menggunakan keserakahan untuk memperbesar perutnya.

Menjelang Kemerdekaan Indonesia yang ke-77, lantas bagaimana kita harus mengambil peran? Nampaknya solusinya sudah banyak dipikirkan oleh para Intelektual terdepan kita. Tugas kita harus terus mendukung pemerintah dan para Intelektual yang bermaksud baik dan masih menjalankan laku kebaikan dan kebenaran. Namun jika ada yang melenceng, tentu adalah tanggung jawab kita semua juga sebagai rakyat untuk melancaran kritik secara tepat.

Kritik adalah suatu tradisi yang amat baik guna membangkitkan kesadaran manusia dan kemanusiaan kita, khususnya manusia Indonesia. Dulu seorang wartawan cum sastrawan garda depan bernama Mochtar Lubis pernah menulis buku berjudul Manusia Indonesia (1977) yang berasal dari Pidato Kebudayaannya di TIM (Taman Ismail Marzuki). Buku tersebut berisi kritik terhadap mental orang Indonesia yang kurang begitu pas untuk era yang sudah modern. Sebagai idea tentu saja sangat menarik mempertanyakan ulang bagaimana manusia Indonesia itu hari ini dan ke depan. Walaupun kemudian buku tersebut juga mendapatkan berbagai tanggapan baik positif maupun negatif, namun kritik itu tetap penting agar supaya kita mampu merumuskan keadaan sebagai manusia Indonesia yang berkesadaran pada zaman.

Hal yang sama pernah terjadi pada masa sebelum kemerdekaan, seperti Polemik Kebudayaan di tahun 1930-an, suatu pertentangan ide-ide tentang kebudayaan seperti apa yang akan menjadi milik kita, Barat ataukah Timur. Para budayawan itu pun mendedahkan perspektif masing-masing. Sutan Takdir yang modern, Sanoesi Pane, yang memegang nilai-nilai ketimuran, dan seterusnya.

Dan setelah kemerdekaan terbitlah Surat Kepercayaan Gelanggang yang terbit 22 Oktober 1950 di Majalah Siasat, yang juga menyuarakan ide untuk dasar sikap dan pijak ke masa yang akan datang. Chairil Anwar, penyair legendaris kita tentu berperan penting atas ide-ide ‘kemerdekaan’ sebagai manusia yang berpikiran terbuka, bebas, dan kreatif. Para sastrawan seperti Asrul Sani dan Rivai Apin turut berperan penting dalam penerbitan Surat Kepercayaan Gelanggang tersebut.

Kita tentu saja harus tahu bahwa sastra dan kemerdekaan suatu bangsa itu seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Banyak sekali jasa yang telah diberikan para sastrawan, budayawan, pemikir jurnalis atas perjalanan bangsa Indonesia hingga saat ini. Semuanya saling kait mengait tak terpisahkan.

Banyak sekali contoh serupa, misalnya di Hungaria, seorang penyair bernama Athilla Jozsef sangat berjasa untuk bangsanya, bahkan di negaranya dibuatkan patung dan penghargaan khusus kepadanya, macam Chairil Anwar kita itu. Namun sungguh malang, ketika Athilla Jozsef masih hidup, kekuasaan di negaranya tidak pernah peduli alih-alih melakukan represi.

Di tempat yang lain, Korea, misalnya, penyair besar Yun Dong Ju sangat dihormati hingga sekarang. Dia dianggap berjasa baik kepada kemerdekaan bangsa Korea juga kepada bahasanya. Namun semasa hidup, ia sungguh kesulitan, bahkan ia meninggal di penjara dalam keadaan sakit. Kabarnya menjadi kelinci percobaan oleh tenaga kesehatan di penjara itu.

Indonesia kita dibangun dengan kecerdasaan akan pengetahuan, kepekaan akan pengalaman, semangat terus belajar dan memiliki niat mulia untuk kemslahatan bersama. Tugas semacam itu memang berat dan tidak bisa dikerjakan sendirian. Kemerdekaan adalah hasil dari kerja sama. Oleh karena itu penting bagi kita untuk saling mendukung dan melontarkan kritik dengan baik sebagaimana telah dicontohkan oleh para budayawan, pemikir, jurnalis, sastrawan di masa lalu.

Hanya dengan berdialektika seperti itu akan merintis sebuah jalan baru bagi kemerdekaan yang bukan hanya konsep melainkan kenyataan. Maka, sebagai siapa kita sekarang adalah penting mengambil peran masing-masing untuk cita-cita luhur kemaslahatan dan kesejahteraan seluruh rakyat. Walaupun ada tantangan di depan dan masih seringnya timbul salah paham, tetapi percakapan akan mengembalikan kehangatan bergaul sebagai warga negara. Mengutip ungkapan Karl Marx, “Tidak ada bangsa yang merdeka, jika jiwa manusianya tidak merdeka.”

Bagaimana membebaskan jiwa, salah satunya dengan melalui ekspresi bicara (perpendapat, berpandangan), menulis (mengkritik, sastra), singkatnya bercakap-cakap. Wassalam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan