Implementasi Metode Salafi di Pondok Al-Alawiyyin Cianjur

504 kali dibaca

Pembelajaran pesantren di Indonesia kini telah mengalami transformasi yang signifikan seiring dengan perkembangan zaman. Pondok pesantren yang masih mempertahankan metode pengajaran tradisional, seperti metode salafi, kini makin jarang ditemui. Salah satu yang masih menerapkan metode salafi adalah Pondok Pesantren Al-Alawiyyin Cianjur, Jawa Barat.

Dahulu bernama Pesantren Al Mujahid, dan kini berganti nama menjadi Pondok Pesantren Al Alawiyyin. Pesantren Al Mujahid (Al-Alawiyyin) merupakan salah satu pesantren tertua di Indonesia, dan sudah berdiri sejak tahun 1760 M. Pendirinya adalah KH Alawi, yang merupakan mertua dari KH Sa’id Al-Kabir, ayah dari KH Syathibi Gentur Cianjur.

Advertisements

Estafet kepemimpinan Pesantren Al-Alawiyyin terus bersambung, dilanjutkan oleh menantu KH Alawi, yaitu KH Abdurrahman. Setelah itu dilanjutkan oleh menantu KH Abdurrahman, yaitu KH Kosasih, dan secara berturut-turut beralih KH Ingi Badruzzaman yang merupakan putra dari KH Kosasih. Sekarang, setelah wafatnya KH Ingi Badruzzaman, kepemimpinan Pesantren Al-Alawiyyin dilanjutkan oleh anak, menantu, dan cucu dari KH Ingi Badruzzaman. 

Pesantren ini tetap memegang teguh metode pembelajaran salafi, yang mana melibatkan penggunaan kitab kuning gundul atau kitab kuning tanpa syakal dan arti. Dalam konteks ini, peran kiai atau guru sangat krusial dalam setiap sesi pembelajaran, menandakan bahwa metode ini sangat bergantung pada bimbingan dan pemahaman yang diberikan oleh para pengajar.

Ada dua macam metode salafi yang masih digunakan di Pondok Pesantren Al-Alawyyin hingga hingga saat ini. Pertama, balagan, yang merupakan metode pengajaran kitab kuning dengan cara kiiai membacakan, menerjemahkan, dan menjelaskan materi kitab kuning. Santri bertugas menyimak dan menulis terjemah, syakal, dan keterangan tambahan yang diperlukan. 
Kedua, sorogan, yang merupakan metode belajar mengajar yang dilakukan secara individual. Metode ini berkebalikan dari balagan. Dalam metode sorogan ini, santri yang menghadap kiai satu per satu secara langsung. Tugas kiai mendengarkan dan mengoreksi bacaan, terjemahan, dan penjelasan materi yang disampaikan oleh santri.
Selain itu, Pesantren Al-Alawiyyin memiliki program kajian tahunan yang dibuka untuk umum dengan menggunakan metode pembelajaran balagan lugoh dan syarah sunda. Kajian ini disebut dengan kajian pasaran atau istilah lain mengkaji kitab kuning dari awal hingga akhir (khatam) satu atau beberapa kitab yang dikaji dalam kurun waktu yang ditentukan.
Kajian pasaran ini dilaksanakan satu tahun tiga kali di beberapa bulan tertentu. Ada tiga bulan untuk terlaksananya kajian pasaran di Pesantren Al-Alawiyyin ini. Pertama, bulan Ramadan. Yang dikaji pada bulan Ramadan kitab Tafsir Jalalain. Kajian ini biasa dilaksanakan pada tanggal 1-25 Ramadan.
Kedua, bulan Syawal. Kitab yang dikaji pada bulan Syawal adalah I’anatuttholibin. Kajian ini biasa dilaksanakan pada tanggal 20 Syawal  sampai 5 Dzulhijjah. Ketiga, bulan Rabi’ul Awal. Kitab yang dikaji pada bulan Rabi’ul Awal adalah kitab Fathul Qorib, Fathul Izar, Qurotul’uyun, dan Tijan Darori.
Kajian pasaran ini semuanya memiliki sanad ilmu. Jadi, setiap santri yang mengkaji kitab tersebut sampai khatam akan mendapatkan sanad ilmu. Sanad ilmu ini diperoleh dari Syaikh Muhammad Yasin Al- Fadani yang diterima KH Ingi Badruzzaman pada tahun 1983.
Syaikh Muhammad Yasin Al-Fadani merupakan salah satu ulama Nusantara yang populer di Timur Tengah. Beliau dikenal sebagai ahli sanad ilmu dunia yang memiliki kepakaran dalam bidang transmisi ilmu pada literatur keislaman. Sanad yang diterima oleh KH Ingi Badruzzaman terdiri dari berbagai ilmu keislaman dengan beberapa kitab, transmisi yang didapatkan bersifat primer dan menyeluruh. Sanad ilmu ini dalam bentuk tulisan diperoleh dengan talaqqi atau bertemu secara langsung dengan Syaikh Muhammad Yasin Al Fadani, sehingga cara ini merupakan cara yang valid juga reliabel dalam menuntut ilmu dan memperoleh sanad.
Bentuk sanad secara tertulis merupakan sebuah warisan intelektual Islam yang menjadi ciri khas transmisi ilmu yang valid dengan tingkat objektivitas yang tinggi, dari mulai penerima sanad sehingga penulis pertama.
“Sanad ilmu ini yang menjadi incaran para santri. Dengan sanad ini berharap kita mendapatkan ilmu yang berkah dan berharap sanad ini menjadi salah satu wasilah agar nanti di akhirat kita senantiasa diakui sebagai murid dari guru-guru kita, sehingga kita dapat berkumpul kembali di akhirat kelak,” ujar Iyus, santri Pesantren Al-Alawiyyin.
Multi-Page

Tinggalkan Balasan