Imajinasi Saintek pada Anak-anak Muslim

1,517 kali dibaca

Pada Oktober 2021 kemarin, sebuah film animasi islami baru saja rilis: Nussa Rara. Nussa Rara menceritakan dinamika sekolah kakak beradik muslim usia SD. Nussa, sang kakak, merasa tersaingi oleh anak baru di sekolahnya karena modal dan teknologi roket tugas sekolah miliknya lebih canggih daripada miliknya.

Nussa tidak terima bila ia harus turun ranking di sekolah karena selisih perolehan nilai akiibat roketnya yang kurang canggih. Nussa kekeuh dan terus berikhtiar dengan bahan-bahan seadanya.

Advertisements

Nussa dan Rara digambarkan sebagai sosok kakak beradik dengan atribut muslim tulen: menggunakan baju gamis, tertutup, turban di kepala, hijab, dan perangai ucapan yang sedemikian memukau.

Di islami.co, Nussa Rara pernah menuai polemik. Sebagian ada yang mengatakan kalau animasi ini mengandung ideologi Islam sayap kanan. Tudingan ini dilayangkan atas dasar lacakan mereka pada tim di balik layar Nussa Rara. Yang paling membuat resah mereka adalah, animasi Nussa Rara mendapat jam tayang primer di salah satu stasiun televisi di Indonesia ―membuat jangkauan penonton Nussa Rara lebih luas.

Sebagian kalangan lain percaya bahwa Nussa Rara tidak berpihak pada kubu Islam manapun, dan murni bermaksud menyajikan tayangan akhlakul karimah pada anak-anak muslim secara umum. Kalangan ini menyakini, beragam tudingan pada animasi Nussa Rara hanyalah sinisme terhadap kualitas animasi yang belum pernah digapai oleh para pengkritiknya.

Kalangan yang pertama, umumnya membaca Nussa Rara melalui kacamata cultural studies yang menghendaki adanya pembacaan kritis pada detail, simbol, gerak-gerik, konstruk wacana dan orientasi sehalus apapun yang tersemat dalam sebuah film. Bidikan utama kalangan ini adalah membongkar ‘ideologi’ di balik sesuatu (film, teks, musik, visual, dll).

Sedangkan, kalangan yang kedua melihat Nussa Rara berdasarkan basis normatif dan manfaat pedagogis yang mungkin timbul dari tayangan Nussa Rara pada anak-anak. Pandangan kalangan ini lebih positif, mengingat minimnya kartun islami di pertelevisian atau layar lebar Indonesia. Hadirnya Nussa Rara minimal dapat meredakan kekhawatiran mereka soal persaingan pengaruh kartun asing pada anak-anak.

Akan tetapi, terlepas dari polemik itu, Nussa Rara menampilkan hal lain yang sebenarnya dapat menjadi evaluasi kita bersama, yakni soal: bagaimana umat muslim Indonesia mengimajinasikan konstruksi seorang bocah muslim.

Apa yang ditampilkan oleh Nussa dan Rara akan sangat terasa dekat dengan imajinasi pedagogis yang terjadi sekolah-sekolah Islam di kawasan urban. Ekspektasi pada ranking, penguasaan sains-teknologi, dan tutur sikap yang ultra-islami banyak ditekankan oleh guru dan orang tua hingga membentuk etos tersendiri dalam diri anak.

Ekspektasi-ekspektasi tadi adalah pantulan dari semangat modernitas, di mana kecemburuan tak sadar pada kemajuan saintek Barat dan ekonomi neoliberal memahat imajinasi muslim pada gairah teknokratis dan islamisasi ilmu pengetahuan. Anak yang saleh, rajin salat, hafal Qur’an, dan jago ilmu eksakta mungkin adalah konstruk imajinasi dominan orang tua, guru, ataupun visi sekolah muslim dalam membentuk anak-anak.

Pada fase lanjutan tumbuh kembang anak, yakni masa kuliah dan lulus, ekspektasi tambahannya berupa bekerja pada sektor swasta, birokrasi, ataupun bisnis.

Dalam lintasan tumbuh kembang dari kecil sampai dewasa, mengapa tidak populer ekspektasi berupa anak saleh, rajin salat, hafal Qur’an, dan jago ilmu sosial atau filsafat? Ketika ilmuan-ilmuan muslim dikutip untuk menginspirasi anak-anak, yang ditampilkan adalah capaian-capaian sainteknya, bukan capaian sosial filosofisnya.

Ibnu Sina dan Al Khawarizmi mungkin adalah dua nama terfavorit. Capaian eksakta mereka sangat memikat untuk dijadikan kebanggan simbolik. Ibnu Khaldun dan Ibnu Rusyd, mungkin adalah dua nama yang paling berisiko.

Orang mungkin dapat mengatakan dengan bangga pada anak-anak bahwa Ibnu Khaldun adalah bapak sosiologi pertama, namun akan gugup seribu bahasa bila harus menjelaskan signifikansinya seperti apa. Cerita soal Ibnu Rusyd juga umumnya berhenti sebatas sosok teolog dan pemikir ulung, tanpa mengisahkan cakupan, corak pemikiran, beserta kontribusinya pada kemanusiaan seperti apa.

Tetapi, Ibnu Rusyd akan menjadi sosok inspiratif yang aneh bagi anak-anak di sekolah SD Islam. Mengapa seorang guru perlu menyebut Ibnu Rusyd sebagai teladan? Bila toh Ibnu Rusyd terpengaruh oleh tradisi Hellenistik Yunani dan sekaligus menjadi bapak filsafat sekuler Islam.

Di sinilah titik masalah mengapa sebagian orang tua, guru, dan sekolah Islam tidak mengharapkan sosok anak yang saleh, rajin salat, hafal Qur’an, tapi jago ilmu sosial/filsafat. Dan menaruh ekspektasi lebih pada anak yang jago ilmu saintek.

Menjadi agamis sekaligus menguasasi ilmu sosial dan filsafat adalah sama halnya menggugat relasi kuasa yang telah mapan. Karakter dasar ilmu sosial dan filsafat adalah evaluasi terhadap diri (baik itu ‘diri’ sebagai individu ataupun sebagai masyarakat). Ketika karakter ini berpadu dengan penguasaan wawasan agama, maka akan ada serangkaian evaluasi religi yang derajat tajam-tumpulnya tak tertebak oleh orang tua, guru, ataupun komunitas asal si anak.

Karakter anak seperti ini sering mendapat label pembawa kesesatan. Oleh karena itu, membuat kartun dengan sosok anak muslim yang bercita-cita menjadi ilmuan sosial adalah sama halnya menyemai benih pemberontak.

Bayangkan, misalnya, Anda membuat kartun seperti Nussa Rara. Tokoh utamanya, si bocah muslim yang saleh, bercita-cita ingin jadi sosiolog. Jalan cerita tentu tidak bisa mengabaikan latar keluarga, lingkungan ia tumbuh, dan iklim sekolahnya.

Dalam film Nussa Rara, intrik soal roket mana yang lebih canggih adalah intrik personal antara Nussa dan anak baru dan Tuhan.

Dalam film yang Anda buat, intriknya mustahil personal. Si tokoh utama harus mengalami pergulatan batin soal orang ataupun lingkungan sekitarnya; harus diwarnai oleh pertanyaan-pertanyaan mendasar; dan harus mengandung unsur advokasi, gerakan ataupun gugatan, karena tiga hal ini merupakan ejawantah lanjutan dari karakter dasar ilmu sosial yang evaluatif.

Film Anda, cepat atau lambat, akan memancing reaksi masyarakat. Polemik dari film Anda mungkin akan lebih terjal daripada polemik di islami.co. Tudingan terberat, mungkin Anda akan dicap melakukan propaganda pada anak oleh kalangan yang berseberangan dengan orientasi si tokoh utama.

Mungkinkah mencetak anak yang saleh, rajin salat, hafal Qur’an taoi juga jago ilmu sosial/filsafat, namun yang selalu berpihak dan membagus-baguskan status quo? Sangat mungkin. Tetapi seorang afirmis tulen tidak dapat dikatakan sebagai ‘ilmuan sosial’, melainkan ‘buzzer’ atau ‘cherrypicker’. Karena, karakter mendasar dari ilmu sosial adalah menghendaki adanya debat atau dialektika.

Evaluasi diri adalah sesuatu yang sangat tidak nyaman dan membutuhkan banyak keberanian. Oleh karena itu, sedikit kalangan yang mencita-citakan atau mengharapkan anak yang saleh, rajin salat, hafal Qur’an sekaligus jago ilmu sosial/filsafat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan