Misteri di Kota Sunyi

948 kali dibaca

Akhirnya kakiku menapak kota sunyi ini. Jalan raya meliuk, membelah banjar ratusan bangunan tua yang membisu. Tak ada satu kendaraan pun yang lewat di jalanan, selain kucing liar dan tikus got yang kejar-kejaran, atau anjing, atau ular, atau musang yang kemudian bertahi begitu saja, dikerubung lalat-lalat hitam, digerayang ulat-ulat halus.

Sejenak angin membagi desir, sebelum ditindih suara lolongan anjing dan tangis bayi jadi-jadian yang menjerit dari rumah-rumah yang jendelanya terkuak.

Advertisements

Aku bergidik. Bulu kuduk meremang. Zida, istriku, menggenggam erat lengan kananku. Wajahnya pucat ketakutan. Saat kutoleh, sepasang matanya suram dan berembun. Ia menangis, menahan rasa cemas. Aku berusaha menenangkannya meski sebenarnya aku juga merasa takut.

Matahari merah jambu seperti bertumpu pada ubun apartemen kosong, di antara burung-burung terbang dan gumpalan kabut mirip kudup bunga kecubung. Aku dan Zida terus melangkah, ke arah gang yang persis diceritaka oleh Ki Sin, gang yang diapit sepasang kafe kusam, yang di temboknya terdapat coretan-coretan darah berbau amis, dan pada tikungan pertama, ada sapu bertangkai tulang, bersandar pada batu umpak yang menyunggi tempayan hitam. Kata Ki Sin, sapu itu adalah sapu sihir milik para penyihir di zaman Harry Potter. Dan menurutnya lagi, kota ini jadi sunyi karena penduduknya pindah setelah lelaki petapa itu tinggal di bekas penjara dan menyebabkan banyak makhluk halus merubung ke kota ini.

“Kita harus melawan takut, demi melunasi utang dan demi menjadi orag kaya,” bibir kudekatkan ke telinga Zida.

Zida melirik dan tersenyum sebentar. Matanya kembali dilanun kecemasan. Kami terus melangkah. Beberapa kecoa, kelabang, dan kalajengking melintas-lintas di kaki kami. Zida menjerit-jerit, tangannya kian erat memegang lenganku. Bibirnya yang pucat mulai melontarkan kata “ingin pulang”. Aku mengedipkan mata, memberi isyarat untuk bertahan.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan