Aku bangga, karena akulah anak kebanggaan bapakku. Aku bangga, seperti bapakku bangga, karena akulah satu-satunya anaknya yang laki-laki. Aku bangga, karena kelak akulah yang dijadikan penerus trah bapakku, sebab saudaraku-saudaraku semuanya perempuan —yang dianggap secara kodrati tak bisa meneruskan trah bapakku.
Itulah kenapa, sepanjang ingatanku sejak aku mengenal dunia, bapak memperlakukan aku secara istimewa dibandingkan dengan adik-adikku yang perempuan, atau juga anak-anak orang lain. Semua serba terjaga. Semua serba ada. Semua serba istimewa.

Bapakku bisa memberikan segalanya dengan serba itu karena ia adalah seorang politisi. Kau akan tahu, kata-kata seorang politisi yang berada di pusaran kekuasaan itu seperti sihir, seperti mantra, atau setidaknya seperti nujum. Yang dikatakannya harus menjadi nyata, mewujud, meskipun orang lain yang harus melakukannya.
Begitulah, dengan gampangnya aku memperoleh pendidikan terbaik, mulai dari tingkat dasar hingga ke jenjang pendidikan tinggi. Bahkan sekali waktu aku juga dimasukkan ke pondok pesantren, yang fasilitas dan biayanya ternyata seperti kelas-kelas sekolah internasional —tidak seperti pesantren-pesantren kuno yang ada di kampung-kampung.
Itu semua diikhtiarkan agar aku, yang menjadi anak kebanggaan bapakku ini, kelak menjadi orang terdidik, menjadi orang hebat, lebih-lebih agar bisa menjadi orang yang begitu berkuasa hingga mengharumkan nama keluarga, utamanya nama bapak. Hingga, suatu hari orang ramai akan berdecak kagum, “Oh, pantas saja, anaknya siapa dulu…”
Selain memberikan pendidikan yang terbaik, bapak juga mengikhtiarkan semuanya agar aku tumbuh dan berkembang sebagai anak yang tak pernah berkekurangan. Semuanya tercukupi. Segalanya tersedia. Tidak seperti anak-anak orang lain yang jika menginginkan segala sesuatu, atau membutuhkan segala sesuatu, tak selalu tersedia. Tak selalu ada.
Lebih dari semuanya, bapak menjagaku sedemikian rupa agar aku tidak bergaul dengan sembarang orang, dengan orang-orang sembarangan. Hanya dengan orang-orang terpilih, atau dengan anak-anak dari keluarga terpilih, aku boleh bergaul. “Dengan siapa kau bergaul, itulah yang akan menentukan masa depanmu,” itu yang sering diucapkan bapak. Bapak tak ingin aku terpengaruh oleh lingkungan pergaulan yang menurutnya tak baik. Karena itu, selalu ada orang yang ditugaskan oleh bapak untuk mengawasiku.
***
Dan di sinilah aku sekarang. Tumbuh menjadi orang yang nyaris sempurna sampai kemudian badai itu datang, membanting masa depan hingga hancur berkeping-keping.
Ibu yang mengasuh dan membesarkanku, ya istrinya bapakku itu, ternyatalah bukan ibu kandungku, bukan perempuan yang mengandung dan melahirkanku dari rahimnya, bukan perempuan di mana aku menetek air susunya.
Kebenaran itu aku dengar secara tak sengaja, ketika suatu hari dari dalam kamar, terdengar ibu dan adik perempuanku mengobrol, dan salah satu obrolannya menyebut bahwa aku bukan anak kandungnya. Aku bagai tersambar petir di siang bolong, dan terhuyung-huyung memasuki kamarku sendiri. Atap kamarku serasa berputar-putar, seakan memutar waktu secara tak beraturan.
Bagaimana mungkin ia bukan perempuan yang mengandung dan melahirkanku? Bagaimana mungkin bukan dari putingnya aku menetek air susunya? Bagaimana mungkin perempuan yang namanya tertera dalam akta kelahiranku sebagai ibu kandungku itu ternyata orang lain belaka. Bagaimana mungkin ini kenyataannya, ini kebenarannya?
Ketika aku sudah mampu menguasai diri, mengendalikan emosi, pertanyaan-pertanyaan itu aku berondongkan kepada orang yang selama ini aku banggakan, orang yang membanggakan diriku: bapakku. Di tengah malam itu, aku melihat bapak seperti orang lain. Begitu lama, ia hanya mampu menerawang awang-awang dengan tubuh yang bergoyang-goyang.
Mungkin setelah berperang melawan dirinya sendiri, bapak akhirnya memberikan jawaban. “Jika bapak menyebutkan siapa ibumu yang sebenarnya, kita semua akan hancur. Tidak akan seperti ini lagi. Kamu tak akan punya masa depan. Dan aku, bapakmu ini, tak akan bisa memberikan kehidupan yang kau peroleh selama ini.”
“Kenapa?”
“Bagaimana mungkin aku punya anak dari seorang pelacur.”
Malam itu, dunia benar-benar terasa lebih gelap.
***
Di tengah kegelapan itu aku meninggalkan segalanya. Di tengah kegelapan itu, aku berjalan terhuyung-huyung karena menggendong beratnya pertanyaan itu: benarkah aku anak seorang pelacur? Bagaimana mungkin aku akan menjalani sisa hidup tanpa mengetahui siapa ibu kandungku yang sebenarnya?
Di sanalah aku untuk beberapa lama, berlindung di balik kegelapan. Sampai akhirnya aku melihat ujung dari sebuah lorong. Aku mendengar kabar yang samar tentang siapa sebenarnya ibu kandungku setelah sejumlah orang tak kuasa lagi mengunci mulutnya rapat-rapat.
Ibuku adalah ia yang dicampakkan bapakku tak lama setelah melahirkanku. Yang menyakitinya bukanlah karena ia ditinggalkan. Yang melukai hatinya dan menghancurkan hidupnya adalah ketika aku juga direnggut dari pelukannya. Sebab, ketika itu, akulah satu-satunya kekayaan hidup yang dimilikinya. Akulah kebahagiaan hidupnya. Itulah cerita sebagian orang yang akhirnya berani mengurai rahasia yang sekian lama dikubur dalam-dalam.
Benar kata orang, kadang kebenaran akan terasa lebih pahit dari empedu dan kita akan terdorong untuk melepehnya. Itulah yang aku rasakan ketika memperoleh kebenaran tentang siapa sesungguhnya ibuku. Ia memang melacurkan diri, menjadi simpanan banyak pejabat atau pengusaha, tapi itu dilakukannya setelah menjadi perempuan yang dicampakkan. Bukan sebelumnya. Tujuannya bukan semata-mata untuk membangun kemapanan, tapi justru untuk menghancurkannya. Banyak kemapanan hidup pejabat atau pengusaha yang akhirnya hancur setelah menjadikannya sebagai gundik. Ia tak pernah merahasiakan apa yang dilakukannya. Dengan caranya sendiri, ia selalu membocorkan pergundikan yang dilakukan hingga satu-satu pejabat-pejabat atau pengusaha-pengusaha itu jatuh.
“Itulah kenapa bapakmu menutup rapat-rapat rahasia ini,” kata seseorang. “Agar kamu tetap terjaga, bersih, dan masa depanmu tak terganggu.”
Aku tak bisa berkata-kata menghadapi kenyataan itu. Teringat semua apa yang dilakukan bapak agar aku tidak pernah mendapati kenyataan seperti ini, agar aku tak terpengaruh oleh kehidupan ibuku sendiri.
“Ibumu juga belum tentu akan menerimamu, entah dengan alasan yang sama atau alasan yang berbeda,” kata seseorang lagi ketika aku mengajukan kemungkinan untuk mencari dan menemui ibuku.
Itu juga yang membuatku bimbang dalam menentukan pilihan. Jika memilih menempuh jalan yang telah disiapkan bapakku untuk masa depanku, maka aku harus tetap menyembunyikan rahasia tentang siapa jati diri ibuku. Jika rahasia ini terbongkar, semua rencana akan berantakan. Masa depan akan suram. Sebab, dunia bapakku adalah dunia citra. Dunia yang juga telah disiapkan untukku. Dunia yang hanya menerima orang-orang yang bercitra baik. Orang-orang yang bercitra buruk harus minggir ke comberan. Siapa sudi bergaul dan berkongsi dengan diriku jika tahu bahwa aku adalah anak seorang pelacur?
***
Tapi di sinilah aku sekarang. Di dalam gelap, selalu meraba-raba wajah ibu, perempuan yang dua puluh dua tahun lalu telah melahirkanku dari rahimnya sendiri. Wajahnya seperti apa, rasanya seperti kegelapan itu sendiri. Di saat-saat seperti itu, aku teringat kata orang, bahwa surga itu ada di telapak kaki ibu. Bagaimana mungkin aku bisa mencium telapak kakinya, bila wajahnya saja serupa kegelapan itu sendiri?
Betapa menyakitkannya waktu demi waktu aku lalui hanya dengan meraba-raba wajah yang disembunyikan kegelapan. Tapi apa yang salah, ketika kegelapan itu mulai tersingkap, yang aku rasakan justru lebih menyakitkan lagi.
“Oh no. Tidak. Bukan.”
Itulah yang pertama diucapkan oleh sosok perempuan yang aku yakin adalah ibuku ketika pada suatu hari aku bisa menemukannya setelah sekian lama dihantui bayangannya yang tersembunyi di balik kegelapan.
Dengan menempuh berbagai cara, aku akhirnya memang bisa menemukannya. Ia berada di suatu tempat, tempat ia biasa menghabiskan waktunya, tempat yang dijadikannya untuk menunggu dan bertemu dengan relasi-relasinya. Saat itu ia duduk dengan khusyuk memunggungi pintu. Duduk persis di tengah ruangan yang cukup luas.
Lama aku terhenti di depan pintu, mencari-cari kekuatan untuk mendekatinya. Di depan sana ia duduk seorang diri. Mungkin ia memang sedang menunggu seseorang. Tubuhnya ramping, dan masih terlihat sangat segar untuk perempuan seusianya. Tanpa bersuara aku akhirnya melangkah mendekatinya, dan duduk di kursi kosong yang ada di sampingnya. Kursi yang entah disiapkan untuk siapa.
Ketika ia merasakan kehadiran orang lain, ia menoleh dan kami saling menatap secara bersamaan. Aku tersedot oleh tatapan matanya. Kerling mata yang selalu tersembunyi di balik kegelapan. Pandangannya menyelidik dan penuh tanda tanya.
Tanganku gemetar memegang tangannya. “Akulah bayi lelaki itu, yang pernah kau lahirkan di muka bumi ini.”
Ia menarik tangannya, juga seluruh tubuhnya, menjauh. “… tidak. Bukan. Aku tak pernah melahirkan seorang bayi, dan tentu saja kau bukan anakku.”
Aku terpaku. Menatapnya dalam-dalam. Menatapi wajah yang selama ini tersembunyi di balik kegelapan.
“Aku hanya ingin merasakan rasanya memiliki seorang ibu yang melahirkanku dari rahimnya. Itu saja. Tak lebih.”
“Kau salah alamat. Dan di sini bukan tempatmu. Pergilah!”
Mungkin memang belum saatnya, begitulah suara batinku. Aku meninggalkannya setelah meletakkan kartu nama dan salinan akta kelahiran yang telah menerakan namanya sebagai ibu kandungku di atas meja, di depannya. Di ambang pintu, aku membalik badan, untuk menatapnya sekali lagi. Ia masih duduk dengan khusyuk di sana, kali ini punggungnya terlihat terguncang pelan. Dan aku segera melangkah pergi dengan dada penuh nyeri.
Selebihnya aku hanya bisa menunggu kapan kesempatan itu tiba: mencium kakinya.
Depok-Lampung Tengah, 21 Desember 2021.