Ibuku Seorang Pelacur

3,269 kali dibaca

Aku bangga, karena akulah anak kebanggaan bapakku. Aku bangga, seperti bapakku bangga, karena akulah satu-satunya anaknya yang laki-laki. Aku bangga, karena kelak akulah yang dijadikan penerus trah bapakku, sebab saudaraku-saudaraku semuanya perempuan —yang dianggap secara kodrati tak bisa meneruskan trah bapakku.

Itulah kenapa, sepanjang ingatanku sejak aku mengenal dunia, bapak memperlakukan aku secara istimewa dibandingkan dengan adik-adikku yang perempuan, atau juga anak-anak orang lain. Semua serba terjaga. Semua serba ada. Semua serba istimewa.

Advertisements

Bapakku bisa memberikan segalanya dengan serba itu karena ia adalah seorang politisi. Kau akan tahu, kata-kata seorang politisi yang berada di pusaran kekuasaan itu seperti sihir, seperti mantra, atau setidaknya seperti nujum. Yang dikatakannya harus menjadi nyata, mewujud, meskipun orang lain yang harus melakukannya.

Begitulah, dengan gampangnya aku memperoleh pendidikan terbaik, mulai dari tingkat dasar hingga ke jenjang pendidikan tinggi. Bahkan sekali waktu aku juga dimasukkan ke pondok pesantren, yang fasilitas dan biayanya ternyata seperti kelas-kelas sekolah internasional —tidak seperti pesantren-pesantren kuno yang ada di kampung-kampung.

Itu semua diikhtiarkan agar aku, yang menjadi anak kebanggaan bapakku ini, kelak menjadi orang terdidik, menjadi orang hebat, lebih-lebih agar bisa menjadi orang yang begitu berkuasa hingga mengharumkan nama keluarga, utamanya nama bapak. Hingga, suatu hari orang ramai akan berdecak kagum, “Oh, pantas saja, anaknya siapa dulu…”

Selain memberikan pendidikan yang terbaik, bapak juga mengikhtiarkan semuanya agar aku tumbuh dan berkembang sebagai anak yang tak pernah berkekurangan. Semuanya tercukupi. Segalanya tersedia. Tidak seperti anak-anak orang lain yang jika menginginkan segala sesuatu, atau membutuhkan segala sesuatu, tak selalu tersedia. Tak selalu ada.

Lebih dari semuanya, bapak menjagaku sedemikian rupa agar aku tidak bergaul dengan sembarang orang, dengan orang-orang sembarangan. Hanya dengan orang-orang terpilih, atau dengan anak-anak dari keluarga terpilih, aku boleh bergaul. “Dengan siapa kau bergaul, itulah yang akan menentukan masa depanmu,” itu yang sering diucapkan bapak. Bapak tak ingin aku terpengaruh oleh lingkungan pergaulan yang menurutnya tak baik. Karena itu, selalu ada orang yang ditugaskan oleh bapak untuk mengawasiku.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan