HP Baru untuk Eki

2,084 kali dibaca

Dua ekor sapi milik orang tua Eki telah terjual untuk operasi usus buntu ibunya. Kesedihan itu ditambah dengan permasalahan belajarnya di sekolah. Imbas dari pandemi yang tak kunjung selesai ini pembelajaran dilaksanakan secara daring. Keadaan seperti ini mengharuskan setiap siswa memiliki HP agar tidak ketinggalan pelajaran.

Dan inilah kesedihan Eki berikutnya: HP-nya rusak beberapa hari yang lalu dan tukang servis pun telah angkat tangan, tak mampu membenahi. Selain itu, ia tak berani meminta HP pada bapaknya yang sedang dilanda musibah begini.

Advertisements

Waktu pun terus berputar. Sementara para siswa belajar di rumah, para guru masih rutin berangkat ke sekolah melaksanakan pembelajaran secara on line. Pak Salam dan Pak Abdul tengah asyik bercengkerama di gazebo madrasah. Suasana madrasah yang ditanami banyak pepohonan dengan petak-petak taman dipenuhi bunga memang membuat udara tetap sejuk walau mentari sedang bersinar garang.

“Pak Abdul ngajar di kelas 8F?” tanya Pak Salam sembari sibuk antara memelototi HP dan lembar penilaian tugas daring di pangkuannya.

“Kelasnya panjenengan to Pak itu?” Pak Abdul menyahut.

Pak Salam menganggukkan kepala sembari menuliskan sesuatu di kertas jurnal penilaian. “Ada anak yang bermasalah Pak Dul?”

“Ada satu anak yang tak pernah mengumpulkan tugas selama masa pandemi beberapa bulan ini, Pak,” timpal Pak Abdul.

“Siapa Pak namanya? Eki ya?” sahut Pak Salam sambil menatap Pak Abdul dengan muka seriusnya.

“Betul Pak,” jawab Pak Abdul lantang. “Entah ke mana dan kenapa anak itu. Belum pernah mengumpulkan tugas sama sekali selama musim pandemi ini. Mungkin dia mabar, cuih! Bikin jengkel aja anak itu.” Pak Abdul bersungut-sungut.

“Apa Pak Dul? Modar? Astaghfirullaladziiim. Kasar sekali ternyata panjenengan ini ucapannya pada anak didik,” Pak Salam terkejut dan kecewa menyadari sikap rekannya.

Pak Abdul tertawa terbahak-bahak mengetahui Pak Salam salah dengar atas ucapannya. Guru matematika itu lantas menyahut ucapan Pak Salam, “Mabar, Pak Salam. Mabar! Bukan modar!” Pak Abdul tertawa lagi.

“Modar? Eh. Apa tadi?” sahut Pak Salam.

“Mabar, Pak. Main bareng. Itu loh, main game di HP bersama teman.”

“Ooh, main HP to… ,” Pak Salam menyeringai sambil mengangguk-angguk dan menggaruk kepalanya yang tak gatal.

“Maklum, orang jadul, Pak Duuul,” katanya kemudian.

“Eki itu anak pintar lo, Pak, sebenarnya. Dulu pernah mewakili lomba KSM Matematika. Bahkan juara tiga di tingkat kabupaten. Sayang sekali kalau sekarang dia jadi pemalas begini.” Pak Abdul prihatin.

“Iya, Pak, betul. Dia langganan juara satu di kelas. Tapi saya juga bingung ini. Nomor HP-nya dihubungi tidak aktif.”

Panjenengan tanya ke teman-temannya, atau datangi langsung rumahnya, Pak. Daripada menduga-duga. Sesungguhnya kebanyakan berpraduga itu jelek lo, Pak. Dosa,” nasihat Pak Abdul.

“Wah, pagi-pagi sudah dapat kultum gratis. Panjenengan sudah pantas jadi ustaz, Pak Dul, he-he-he….”

“Sebagai guru madrasah, bukankah kita memang merupakan ustaz, Pak Salam, he-he-he.”

Pak Salam pun ikut tertawa, “Iya Pak. Nanti akan saya tanyakan ke siswa yang lain.”

“Siiip. Apalagi sebentar lagi sudah ada KSM lagi, siapa tahu Eki masih bisa diandalkan. Nama madrasah kita masih punya peluang untuk bisa harum kembali, Pak.”

Selepas ngobrol dengan Pak Abdul, Pak Salam jalan-jalan mengelilingi taman madrasah. Dia menelepon Farhan, salah seorang siswa di kelas 8F. Setelah mengotak-atik HP-nya, akhirnya Pak Salam berhasil menemukan nomor Farhan. Ia lantas menelepon siswanya itu. Setelah beberapa kali ditelepon sempat tidak nyambung, akhirnya Pak Salam berhasil juga menelepon Farhan.

“Hallo. Assalamualaikum, ini Farhan siswa kelas 8F, ya?” sapa Pak Salam di ujung telepon.

Waalaikumsalam, inggih, Pak. Ada apa Pak?” Farhan yang sedang rebahan di depan TV menjawab telepon Pak Salam. Rasa lemas karena puasa pun ia lawan demi rasa terkejut mendapat telepon dari gurunya itu, ia bangun dari pembaringan.

“Begini, Nak. Selama pembelajaran daring ini, Eki belum pernah mengerjakan tugas, padahal dulu dia paling rajin di kelas. Saya sendiri merasa kesulitan untuk menghubunginya karena nomor HP anak itu tidak aktif. Untuk itulah, saya mau minta tolong kamu untuk cari tahu keadaannya bagaimana. Rumahmu dekat dengannya bukan?” pinta Pak Salam.

“Eki Fadla ya Pak? Iya Pak, benar. Kami satu desa, cuma jarak rumah kami agak jauh karena dia berada di pelosok. Saya di jantung desanya Pak. Agak kota gitu, he-he… .”

“Mana ada kota di desamu itu, Han. Sinyal saja sulit kamu. He-he … . Baik, misalkan minta tolong kamu datangi rumahnya bisa kan, Han? Kamu lihat bagaimana keadaan dia.”

“Bisa sekali, Pak. Nanti Bapak akan saya kabari bagaimana keadaan Eki.”

“Siiiip. Makasih ya Han. Puasa-puasa begini, semoga pahala kebaikan kamu akan berlipat lipat.”

“Amiiin… . Pak Salam bisa saja merayu Farhan wkwkwk.”

Sementara itu Eki Fadla sedang sibuk membantu pekerjaan bapaknya di samping rumah. Dengan cekatan tangan anak kelas delapan MTs itu menata batako yang baru dicetak. Keringatnya berleleran di pipi dan dahi. Bajunya pun lusuh dan basah oleh keringat. Tumpukan batako itu harus dia tata sendiri karena bapaknya sedang pergi ke ladang. Dengan keadaan zaman yang selalu berubah bapaknya harus memutar otak untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Apalagi sekarang keberadaan batako semakin tergeser dengan kehadiran bata ringan. Ketika Eki sedang sibuk bekerja kemudian datanglah Farhan.

Assalamualaikum, Ki… .” ucap Farhan sambil berjalan mendekati Eki dengan membawa secercah senyum.

Waalaikumsalam… ,” Eki menoleh ke arah Farhan yang datang dari arah belakang. Eki menyapa dengan raut muka terkejut.

Eki dan Farhan saling bersalaman sambil menepuk bahu kedua belah pihak. Mereka kemudian duduk di tumpukan batako.

“Jadi, sekarang kamu sibuk kerja begini Ki?” tanya Farhan.

“Daripada nganggur, Han. Kan mending kerja,” Eki menjawab dengan suara lirih.

“Iya sih. Eh, tugas sekolahmu bagaimana Ki?”

Eki berdecih, tak segera menjawab pertanyaan Farhan, “Nggak tahu, Han. Mungkin aku akan berhenti sekolah, nggak bisa sekolah lagi.”

Farhan terkejut dengan jawaban Eki. “Kenapa Ki? Kamu kan pinter? Sayang kalau berhenti sekolah.”

“Nggak ada biaya, Han. Ibuku habis sakit. Operasi gitu. Bapak mengeluarkan banyak uang untuk biaya pengobatan ibu. Sekarang utangnya di mana-mana.”

“Wah, kalau masalah itu kamu bisa ngajukan keringanan. Pasti bisa, kamu pinter, dan keadaanmu juga sedang sulit,” Farhan memberi saran.

Dengan lemas Eki menjawab, “Kalau masalah biaya, itu sebenarnya bisa diatur. Mungkin madrasah pun bisa memberi keringanan. Tapi bagaimana dengan HP? HP-ku rusak dan nggak ada uang untuk beli lagi. Padahal sekarang ini HP sudah jadi barang wajib bagi kita yang sekolah. Huft! Aku nyerah, Han. Jalan kesuksesan bisa datang dari mana saja. Tidak bisa di sekolah, mungkin suatu saat nanti aku bisa sukses melalui jalan lain, entah itu apa dan di mana.”

“Jangan menyerah, Ki. Aku akan membantumu,” ucap Farhan sambil menepuk bahu Eki.

Eki terbengong mendengar ucapan Farhan. Sesungging senyum lantas merekah di bibirnya.

Sepulangnya dari rumah Eki, Farhan memberitahu keadaan yang dihadapi oleh Eki Fadla melalui pesan WA kepada. Farhan yang sedang duduk di ruang tamu kemudian sibuk mengetik di keyboard HP.

Assalamualikum, Pak Salam. Kemarin saya sudah datang ke rumah Eki. Dia sedang membuat batako, membantu bapaknya. Saya hanya bertemu dengan Eki karena ayahnya sedang sibuk di ladang. Dia itu habis kena musibah, Pak. Ibunya habis operasi, jadi bapaknya mengeluarkan uang yang banyak. Dan sekarang HP-nya rusak, tidak ada uang untuk beli lagi,” tulis Farhan di whatsapp.

Di tempat lain Pak Salam sedang memeriksa HP, membaca pesan dari Farhan. Guru yang telah mengabdi di madrasah hampir seperempat abad itu mengusap wajah sebagai ekspresi gelisah menghadapi problem yang dihadapi siswanya. Dan Farhan melanjutkan mengirim pesan;

“Bagaimana kalau kelas 8F menggalang dana untuk membantu Eki Pak?” tulis Farhan lagi.

Pesan Farhan lama tak segera dibalas oleh Pak Salam. Namun setelah lama terdiam memikirkan jawaban apa untuk menjawab Farhan, jemarinya mulai menari di papan keyboard layar sentuh di gawainya. “Silakan dimusyawarahkan dengan temanmu, enaknya bagaimana.”

Merasa ide Farhan tidak direspons dengan baik oleh Pak Salam, akhirnya Farhan berinisiatif menggerakkan teman-temannya. Melalui grup WA kelas, Farhan mengajak teman-temannya untuk membantu Eki. Ia mengajak teman sekelasnya jualan takjil yang keuntungannya digunakan untuk membelikan HP Eki.

Ide Farhan itu disambut baik oleh teman-temannya. Mereka harus berkejaran dengan waktu karena ada kabar bahwa setelah lebaran Eki akan pergi ke luar Jawa untuk bekerja bersama ayahnya. Mereka pun tahu uang yang akan diperoleh tidak akan cukup untuk membeli HP. Walaupun begitu semangat mereka berjualan takjil tidak meredup, setidaknya mereka telah berusaha.

Perjalanan waktu terasa begitu cepat, bulan Ramadan telah usai. sayup-sayup suara beduk dan takbir mengalun dari sudut-sudut kampung. Usai salat ied yang dilaksanakan secara terbatas Eki duduk di ruang tamu, bertopang dagu di antara toples-toples jajan. Kedua orang tuanya duduk di kursi depannya.

Suasana lebaran kali ini terasa sangat berbeda bagi keluarga kecil itu. Tidak ada raut gembira. Apalagi ditambah suasana kelam yang dibawa pandemi ini. Keramaian yang biasanya ada di setiap lebaran kini berubah sepi. Keheningan rumah itu hanya terhenti oleh percakapan antara Eki Fadla dan kedua orang tuanya.

“Tapi Eki masih ingin sekolah Pak,” desis Eki.

“Tapi bapak sudah nggak punya apa-apa lagi, Nak. Semua telah terjual untuk pengobatan ibumu. Apalagi sekarang sekolah harus pakai HP,” sahut bapaknya.

Ruangan terasa semakin senyap, semua membisu. Hanya suara batuk ibu Eki yang terdengar menyayat hati.

“Sudahlah Ki. Ikutilah kata bapak. Kita bekerja ke Kalimantan. Kalau sudah ada uang nanti, kamu bisa sekolah ke mana saja. Toh sebenarnya sekolah itu tujuan akhirnya untuk cari uang. Lalu, bagaimana kalau sekolahnya hanya menghabiskan uang, untuk apa harus mati-matian cari biaya sekolah?” bapaknya kembali bersuara.

“Sekolah itu agar kita berilmu, Pak. Agar kita menjadi manusia yang beradab. Dan manusia beradab tidak selalu berarti manusia yang memiliki banyak uang,” sahut Eki.

“Terserah, buktinya sekarang kamu tidak bisa sekolah karena tidak punya uang. Mana buktinya orang berilmu itu beradab? Apa yang dilakukan gurumu melihat kesusahan keluarga kita?”

Eki terbengong dan menelan ludah berkali kali mendengar ucapan bapaknya.

Seminggu kemudian Eki dan bapaknya telah siap berangkat ke Kalimantan untuk bekerja. Mereka memakai masker dan membawa tas besar. Pelan mereka melangkah meninggalkan rumah. Eki mencium tangan ibunya mengharap keberkahan.

“Ke mana pun langkahmu menuju, semoga selalu mendapat kebaikan, ya Nak. Maafkan ibumu yang belum bisa membahagiakanmu,” ibunya berkata dengan lemah.

“Amiiin,” sahut Eki.

Ketika mereka hendak melewati gerbang langkah mereka terhenti karena di hadapan mereka berhentilah sebuah mobil. Tak berapa lama kemudian keluar dari mobil itu beberapa orang. Yang pertama keluar adalah Farhan dan Rudolf, kemudian diikuti oleh kepala madrasah, Pak Abdul, dan Pak Salam.

“Mau ke mana Ki?” sapa Farhan.

“Ikut bapak ke Kalimantan, Han. Aku pamit dulu ya,” Eki menyahut.

“Lho, mau ke mana Ki?” Pak Salam nimbrung, kemudian mendekati bapak Eki.

“Maaf Pak Guru, Eki saya ajak ke Kalimantan. Anak saya sudah tidak bisa mengikuti sekolah lagi. Tidak ada biaya,” ucap bapak Eki tida senang.

“Kenapa harus berhenti sekolah?” Kepala Madrasah ikut bersuara.

Semua terdiam.

“Kami sudah mendengar musibah yang dihadapi Eki,” Kepala Madrasah menoleh ke arah Farhan. Farhan mengambil bungkusan dari dalam mobil.

“Kemarilah Eki!”

Eki mendekat ke arah Kepala Madrasah yang sedang berada di depan bapaknya. Sementara itu Farhan mendekat memberikan sebuah bungkusan pada Kepala Madrasah.

“Ambillah ini Ki. Terimalah HP hasil kerja keras teman-temanmu ini. Gunakan dengan sebaik baiknya untuk belajar,” ucap Kepala Madrasah.

Farhan memberikan HP yang masih terbungkus rapi kepada Eki. Teman karib Eki itu berkata, “Kemarin kami jualan takjil untuk membantu membelikan HP kami, Ki. Tentu saja uangnya tidak cukup. Untung ada Bapak Kepala Madrasah yang ikut memberikan bantuan. Terimalah Ki,” ucap Farha sumringah.

Eki terbengong dan sebentar-sebentar menoleh ke arah bapaknya yang seperti didera bingung.

“Harapan kami, kamu tetap bisa sekolah Ki,” pinta Pak Salam kemudian.

Eki tak segera menerima bungkusan itu. Ia menatap bapaknya lekat-lekat.

“Dengan HP ini kami harap Eki masih tetap bisa sekolah. Kami pun akan memberikan beasiswa penuh baginya sampai dia lulus nanti,” kata Kepala Madrasah lagi.

Bapak Eki merunduk dan mencium tangan Kepala Madrasah lantas mengucapkan rasa terima kasih hingga berkali-kali. Eki tersenyum lebar, ia kemudian menerima bungkusan itu. Ia berjanji dalam hati akan belajar dengan sungguh-sungguh.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan