Hikmah Puasa: Sabar Tak Mudik

573 kali dibaca

Kita adalah bagian dari masyarakat yang dibesarkan oleh tradisi merayakan setiap kemenangan. Idul Fitri, sebagai klimaks dari puasa sebulan penuh di bulan Ramadan, kita sebut sebagai hari kemenangan. Dan karena itu harus dirayakan.

Sejatinya, pungkasan dari laku menjalani ibadah puasa sebulan penuh adalah kembalinya kita menjadi manusia suci, bersih dari segala dosa karena memperoleh ampunan dari Tuhan. Karena itu pungkasannya disebut Idul Fitri, hari raya kesucian. Ia juga kita sebut sebagai hari kemenangan, karena selama sebulan penuh itu kita mampu mengalahkan segala godaan dan tarikan syahwat duniawi.

Advertisements

Keduanya, Idul Fitri dan juga hari kemenangan itu, kita rayakan dengan sebutan Lebaran. Untuk merayakannya, berjuta-juta orang yang tidak tinggal di tempat kelahirannya, di kampung halamannya, harus mudik. Setiap kita merasa wajib mudik, pulang kampung, untuk sesaat bertemu dan berkumpul dengan sanak keluarga. Dengan gemebyar busana baru, kita bertemu, bersilaturahmi, dengan sanak keluarga untuk saling memaafkan.

Lebaran, dengan tradisi mudiknya, selalu berlangsung meriah, seringkali mewah. Kemeriahan dan kemewahannya kadang menenggelamkan apa yang menjadi penyebab kita berlebaran. Sebab, ia tak hanya dirayakan oleh yang berhak merayakannya. Ia juga dirayakan oleh semua orang. Juga dirayakan oleh mereka yang puasanya tak genap sebulan. Bahkan juga dirayakan oleh mereka yang tak puasa. Wallahu a’lam.

Sungguh, Lebaran memang sebuah tradisi yang luhur, termasuk tradisi mudiknya. Dan tradisi itu terus kita hidupi selama bertahun-tahun seakan-akan telah menjadi bagian dari peribadatan wajib itu sendiri. Seakan-akan, jika puasa itu wajib, maka Lebaran, dan tradisi mudiknya, juga wajib hukumnya.

Dalam situasi normal, hal itu bisa kita pahami. Namun, dalam situasi pandemi Covid-19 yang masih terus mengintai dan mengancam, penolakan terhadap larangan mudik yang ditetapkan pemerintah sungguh sulit dipahami. Kenapa?

Kita harus belajar dari apa yang terjadi di India. Gelombang pasang Covid-19 di India salah satunya dipicu oleh perayaan keagamaan, yaitu ritual mandi di sungai atau Kumbh Mela yang dilaksanakan selama beberapa hari. Ritual keagamaan itu diikuti oleh jutaan orang tanpa menaati protokol kesehatan.

Itulah yang menjadi salah satu penyebab tsunami Covid-19, yang membuat angkat penyebaran virus ini mencapai lebih dari 4.000 angka kematian dalam sehari dan lebih dari 400 ribu munculnya kasus baru. Total, di awal Mei ini, terkonfirmasi total penyebaran Covid telah mencapai 21,9 juta kasus.

Tradisi mudik Lebaran kita ini bisa mirip-mirip dengan yang terjadi di India. Sebab, setiap Lebaran, jutaan orang hilir mudik untuk pulang ke kampung halaman masing-masing. Di kampung halaman, selama berlebaran, kita akan bertemu, bersilaturahmi, dengan begitu banyak orang yang juga baru mudik dari berbagai tempat. Tak pernah ada yang tahu siapa di antara kita yang telah tertular dan membawa virus itu. Bayangkan apa yang terjadi jika tidak ada larangan mudik, dan saat berlebaran kita abai pada protokol kesehatan. Gelombang pasang Covid-19 jelas menjadi ancaman yang sangat serius.

Sudah dua kali ini kita berlebaran dalam situasi pandemi Covid-19. Tahun lalu juga ada larangan mudik. Bahkan, selama Ramadan tahun lalu, banyak masjid dan musala ditutup dan kita dianjurkan untuk tarawih di rumah. Salat Idul Fitri pun juga dianjurkan dilaksanakan di rumah. Maka, menjadi sulit dipahami jika masih banyak yang menolak larangan serupa juga diberlakukan untuk Lebaran tahun ini.

Tapi itulah yang terjadi. Masih sangat banyak dari kita yang menentang dan menolak larangan mudik tahun ini. Hari-hari ini, misalnya, dari liputan media dan informasi yang berseliweran di media sosial, kita melihat begitu banyak orang, dengan berbagai cara dan modus, memaksakan diri untuk mudik. Pos-pos penyekatan yang dibuat petugas banyak yang diterabas oleh para pemudik.

Hal itu belum seberapa. Banyak orang yang mengungkapkan penolakannya atas larangan mudik dengan cara-cara tak terpuji; mengusung sentimen keagamaan, dan bahkan sentimen ras. Ada juga yang menghasut untuk melawan pemerintah dan petugas di lapangan. Seakan-akan, larangan mudik dianggap sebagai kebijakan yang merugikan Islam, yang menekan kebebasan beragama umat Islam.

Fenomena seperti ini seakan menghapus satu jejak hikmah puasa Ramadan: kesabaran. Puasa sebulan penuh di bulan Ramadan sejatinya mengajarkan kita untuk selalu bersabar. Bersabar menahan lapar dan dahaga. Bersahar menahan godaan syahwat duniawi. Tapi begitu Lebaran menjelang, jejak itu sirna; menghadapi larangan mudik kita tak lagi bisa bersabar. Kita tak sabar untuk menunda mudik. Kita lupa bahwa mudik itu tradisi dan tidak wajib hukumnya.

Jangan lupa, puasa kali ini tak hanya menguji kesabaran kita terhadap lapar dan dahaga serta godaan syahwat duniawi, tapi juga kesabaran dalam menghadapi pandemi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan