Hikayat Sepucuk Duri dan Selawat Nabi

697 kali dibaca

Ia hanya sepucuk duri dari sekian duri pohon jeruk yang tumbuh subur di pekarangan depan rumah itu. Sementara ribuan orang tampak berdiri—larut melantunkan selawat nabi—menghadap ke sebuah panggung beberapa jarak di depan rumah itu, si duri berharap angin yang berembus ke arahnya tak bertambah kencang.

Sesungguhnya ia tak ingin meletuskan sebuah balon yang mengawang cukup dekat dengannya—yang talinya dipegang oleh seorang bocah yang digendong ayahnya itu. Namun, angin bertambah kencang. Hampir-hampir balon itu menyentuhnya. Untunglah, si bocah sekonyong-konyong menggerakkan tangannya—saking senang mengikuti musik rebana mengalun konstan, tetapi sesekali mengentak rancak. Hingga, untuk beberapa saat, si balon aman darinya.

Advertisements

Kendati hanya sepucuk duri, ia tahu keberadaannya di dunia ini cuma sekali. Oleh karena itu, ia menyimpulkan keberadaannya akan berarti apabila dapat bermanfaat bagi sesama makhluk ciptaan Tuhan. Sayangnya, saat membandingkan diri dengan bagian-bagian lain di pohon jeruk itu, ia merasa dirinyalah yang paling tak berguna.

Buah, demikian benaknya, setelah matang bakal dipetik dan dimakan oleh manusia. Yang ia dengar dari pemilik pohon itu, daging buah jeruk mengandung banyak vitamin yang amat bermanfaat bagi kesehatan manusia. Sementara, kulitnya pun berguna sebagai pengusir nyamuk yang suka berkunjung ke rumah itu—terutama menjelang senja. Bahkan bijinya pun berguna: selain sebagai bakal bibit pohon, dapat digunakan sebagai penawar racun.

Daun selain berguna sebagai pewangi dan penyedap masakan, juga menghasilkan oksigen yang amat penting bagi kelangsungan hidup binatang dan manusia.

Sedangkan dirinya? Sepertinya tak berguna sama sekali.

Memikirkan itu, ia iri pada mereka. Dan terkadang bertanya-tanya, mengapa Tuhan menciptakannya dengan bentuk dan kondisi seperti ini. Namun, saat menyadari dirinya hanyalah ciptaan, ia cuma bisa berharap: apabila tak berguna, setidaknya keberadaanya tak bakal merugikan pihak lain —seperti yang dialami oleh salah satu temannya sesama duri di pohon itu.

Pada suatu malam, seorang pemuda berjalan melewati jalan di depan rumah itu. Mendapati gadis anak pemilik rumah tampak berbincang dengan seorang pemuda di ruang tamu, pelan-pelan ia mendekati sebuah motor yang terparkir dekat pohon jeruk itu. Lalu ia mematahkan satu duri dari batang pohon jeruk lalu menusukkannya pada ban roda belakang motor itu.

Si duri tak tahu kenapa ia melakukan itu. Yang ia tahu, beberapa saat kemudian, saat si tamu pergi dengan motornya, baru beberapa jarak sekonyong-konyong berhenti, lalu menggerutu begitu mendapati roda motornya kempes.

Inilah yang melatari si duri tak ingin meletuskan balon itu; tak ingin membuat sedih si bocah yang tampak amat gembira itu.

Mengetahui sepucuk duri berpikir sejauh itu dan berkeinginan seperti itu, satu malaikat dari ribuan malaikat —yang tak terlihat oleh orang-orang itu— yang turut menghadiri majelis selawat itu, mendekatinya lalu mengilhaminya. Selarik pengetahuan sekonyong-konyong menancap kuat dalam benaknya yang menyiratkan bahwa segala yang diciptakan oleh Gusti Allah Ta’ala tak ada yang sia-sia. Baik benda-benda, tetumbuhan, binatang, terlebih manusia sebagai ciptaan paling sempurna. Masing-masing berguna sesuai kadar yang telah ditetapkan-Nya.

Ia jadi teringat, sekali waktu seorang bocah menyuruh temannya memetik buah yang belum matang di pohon itu. Namun, temannya itu enggan karena takut tertusuk duri. Ini berarti si duri dan duri-duri yang lain telah turut menjaga buah-buah yang belum matang itu —mengantarkan mereka sampai matang sebagai nikmat dari Gusti Allah Ta’ala untuk manusia.

Pada titik ini, berkali-kali si duri menyatakan syukur kehadirat Gusti Allah Ta’ala. Kemudian, bersama orang-orang yang terlihat semakin khidmat itu, ia turut menyenandungkan selawat sebagai ungkapan cinta pada Sang Nabi yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Kesugihan, 15:05, 11/09/2020.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan