Hikayat Amplop Kosong

1,420 kali dibaca

Terik matahari menampar-nampar wajahku. Langkahku pun mulai terasa gontai. Leleran keringat telah membasahi pakaian lusuh yang kukenakan. Aku berhenti sejenak di depan sebuah toko kecil. Kurogoh dompet di saku celanaku. Masih ada beberapa lembar lagi. Hari ini lembaran-lembaran itu tidak boleh kubelanjakan semua agar esok masih bisa makan. Aku putuskan untuk mengambil selembar uang bergambar pahlawan membawa pedang untuk membeli beberapa helai amplop di toko yang tampak sepi itu.

Pelan kuayunkan langkah kaki menapaki jalan beraspal yang menguarkan hawa panas. Sambil berjalan kulipat selembar amplop lantas kumasukkan ke dalam amplop yang lain. Amplop itu kini tampak menggembung.

Advertisements

Tersenyum bibirku membayangkan rencanaku nanti. Rencana ini kulakukan setelah mendengar pembicaraan orang-orang di warung kopi utara pasar tentang pesta yang digelar tidak jauh di depan sana, tempat di mana terdengar suara dangdut koplo mengentak-entak itu. Pandemi yang berkepanjangan ternyata tak memupus keinginan warga kota ini untuk tetap merayakan pesta.

Kubetulkan letak maskerku yang sebenarnya sudah betul. Tak lupa kubetulkan pula bajuku, walaupun lusuh setidaknya tak boleh ada satu kancing baju pun yang tak terkancingkan. Kulihat mobil-mobil mewah terparkir di pinggir-pinggir jalan. Kata orang memang yang punya hajat ini orang berada. Dan itu pasti mempengaruhi makanan yang disediakan untuk menjamu tamu undangan; lidahku bergoyang membayangkannya.

Semakin bergegaslah langkahku. Suara musik semakin nyaring berdentum memekakkan telinga. Kusisir dengan jemari tangan rambutku yang hampir seminggu ini tak kukeramasi. Semakin dekat pikiranku mulai berkelebat sesuatu di masa lalu. Jalan sempit menuju rumah ini seolah menyeretku pada belasan tahun di masa silam. Ah, apa perlunya aku mengingat waktu yang telah berlalu. Dan rasa lapar semakin mendorong langkakhku.

Tiba juga akhirnya aku di tempat pesta. Berdesakan aku dengan orang-orang menanti waktu bersalaman dengan tuan rumah. Tangan kami disemprot cairan demikian rupa oleh seorang gadis cantik di depan pintu masuk. Seorang Linmas datang menyibak kami yang berdesak-desakan. Diaturlah antrean panjang ini agar tetap berjarak, sesuai prokes. Kulihat para tamu yang panjangnya mengular ini berjabatan tangan silih berganti dengan tuan rumah yang tampak bagai sultan dan permaisuri yang berdiri gagah dan berwibawa di depan singgasana. Walaupun tampak lelah lelaki setengah baya itu tetap berusaha tersenyum. Aku terhenyak, mataku membelalak, senyum itu tiba-tiba memukul hati dan perutku yang perih.

Menjelang sore rupanya tamu yang datang semakin seperti semut, berduyun-duyun tiada hentinya. Dan mataku semakin terpaku pada sultan serta permaisuri yang tengah mengumbar senyum bahagia itu. Di belakangnya pasangan pengantin yang mereka nikahkan tak kalah berbahagia. Dan senyum itu membuat dadaku berdesir-desir. Selera makanku tiba-tiba sirna. Kuhela napas dengan cemas. Dan senyum itu semakin keras meremas batinku.

Bayangan masa lalu semakin berkelebat lincah. Dadaku membuncah. Kepalaku dipenuhi amarah. Ingin kubawa tubuhku menghilang dari tengah keramaian ini. Kuusap leleran keringat yang membasahi keningku. Rasa cemas yang menggerogoti jiwa membuat tubuhku terasa semakin lemas. Dan sayang, di belakangku puluhan orang tengah bergerombol ramai bukan kepalang, tak memberiku ruang untuk beringsut. Aku semakin cemas.

Jarakku dengan tuan rumah yang tengah berbahagia itu semakin dekat. Kuremas tanganku sendiri, menyesali diri telah melangkahkan kaki ke tempat terlaknat ini. Senyum indah perempuan bak permaisuri istana itu membuat kepalaku terasa berat, kakiku pun mulai bergetar. Kurapatkan masker untuk menutupi wajahku. Dan senyum kedua orang penyelenggara pesta itu semakin melukai hatiku. Tak salah lagi, senyum itulah yang pernah membuat masa mudaku penuh warna, dan betapa anehnya hidup yang kulalui ini, detik ini tiba-tiba senyum yang sama membuat hatiku bak diiris-iris sembilu. Pilu benar hidupku. Tiba-tiba pandangan mataku berubah gelap. Dan entah apa yang terjadi berikutnya. Dunia seolah lenyap dalam pekatnya kegelapan.
* * *
Desisan suara kipas angin diiringi udara dingin membangunkanku. Sebuah ruangan mewah nan luas tengah mengungkung tubuh lunglaiku. Aku terbaring di sebuah dipan dengan kasur teramat empuk untukku yang terbiasa tidur di gubuk reot. Di sampingku ada sebuah meja yang di atasnya terdapat segelas teh, ingin sekali aku meminumnya.

Namun tiba-tiba aku bingung kenapa aku bisa berada di tempat ini? Lalu pintu kamar terbuka perlahan, seorang perempuan muncul dari baliknya, ia menyeringai menyapaku. Dan teramat berat untukku menggerakkan otot bibir membalas senyumnya. Di luar sana suara alunan music masih menghentak ceria, jauh dari suasana hati yang tengah kurasa. Kucoba bangun namun ternyata aku tak kuasa.

“Minumlah tehnya, Pak,” pinta seorang wanita yang kutaksir sudah berumur enam puluh lima-an. Tanpa malu aku meminum teh dari uluran tangannya.

Sebentar kemudian dia memberiku sesuap nasi, dengan malu-malu aku melahapnya. Perlahan tenagaku pun kembali. Bulir-bulir keringat membasahi tubuhku.

“Apakah Bapak ini pernah bekerja pada Pak Darsa?” tanyanya dengan suara pelan.

Dahiku berkernyit untuk menjawab pertanyaan itu. Lalu aku menggeleng setelah merasa yakin tak pernah bekerja pada orang yang disebutkan namanya itu. Ah, aku ingat sekarang, aku bisa berada di ruangan ini karena tadi aku pingsan. Mungkin wanita ini sedang mencari tahu apa hubunganku dengan pemilik pesta ini. Ah, kejadian pingsanku di antrean para tamu undangan tadi membuat dadaku terasa nyeri kembali. Bedebah sekali hari ini.

“Baiklah, kalau Bapak sudah merasa enakan silahkan menuju ruang tengah, mari saya antar.” Ajakan wanita itu membuat tenagaku seolah hilang kembali.

“Untuk apa?” tanyaku

“Bukankah kedatangan Bapak ke sini untuk menghadiri undangan Pak Darsa?” tanyanya. Kutelan ludah dengan sangat kasar. Aku bingung sekali menentukan sikap.

“Mari,” ucapnya lagi.

Aku ikuti langkahnya meninggalkan kamar. Jantungku berdetak-detak tak karuan. Aku ingin meninggalkan tempat ini tanpa bertemu dengan tuan rumah, tapi bagaimana caranya? Dan nyatanya langkahku justru semakin menuntunku ke ruangan yang dijanjikan wanita yang kukira adalah jongos Si Darsa itu. Sungguh, aku ingin datang menemui mereka, tapi tidak untuk saat ini. Sungguh aku ingin mendatangi mereka, tapi untuk membuatnya bertekuk lutut padaku, bukan untuk situasi seperti ini. Ah, sudah berapa keinginanku dalam hidup ini yang kemudian hanya menguar menjadi kesumat perasaan lantaran tak pernah menjadi kenyataan?

Sekitar tiga langkah lagi aku akan duduk dengan mereka, sebagai pesakitan yang siap untuk dipermalukan. Ingin sekali aku lari, tapi justru itu akan membuatku semakin terinjak-injak oleh kejumawaan mereka. Aku harus berpura-pura tegar walaupun sejatinya sangatlah gentar. Kukuatkan tubuhku agar tetap tegak berdiri dan sanggup melangkah ke hadapannya.

Kedua suami-istri pemilik pesta menatapku dengan saksama. Untaian senyum terlihat dipaksakan menyambut kehadiranku. Kuyakin mereka tak tahu siapa diriku yang sedari tadi tak melepas masker. Aku disalaminya kemudian dipersilakan duduk. Disiapi pula aku dengan minuman dan beraneka ragam makanan.

“Apakah Bapak sudah baikan?” tanya Si Suami. Ah, namanya Darsa, masih jelas sekali dalam ingatanku nama itu. Tampangnya tak lebih tampan dariku, sayang, menurut wanita dompet tebal lebih menawan daripada rupa yang menawan.

“Silakan dimakan, Pak,” pinta istrinya. Kedua ucapan suami-istri itu kudiamkan belaka.

“Ah, Bapak pasti masiih sangat lelah. Tapi tak perlu khawatir. Kata dokter kami tadi, Bapak hanya kelelahan, tidak lebih. Silakan makan Pak, kami tahu Bapak masih lapar. Silakan, tidak usah sungkan-sungkan.”

“Baiknya Bapak melepas masker agar kita lebih leluasa berbincang-bincang. Siapa nama Bapak?” tanya Darsa lagi.

Tanpa memberikan jawaban, kulepas masker yang menutupi wajahku. Aku sudah menyiapkan sikapku, tak akan peduli pada apa dan bagaimana sikap mereka tatkala melihatku. Dan benar, seketika mereka terkesiap ketika maskerku telah terlepas. Kinanti tertunduk dengan raut wajah terkejut. Darsa menatapku dengan muka merah padam.

“Kromo? Untuk apa kau kemari? Apa kau merasa mendapat undangan atas pernikahan anakku?”

Pertanyaan Darsa kudiamkan. Telah tersulut amarahku oleh sikapnya, terlebih oleh masa lalunya, masa lalu kami.

“Kamu mau mengambil Kinanti dariku? Dia bukan istrimu lagi, dan tak akan pernah menjadi istrimu lagi. Camkan itu baik-baik!!!” Lantang ucapannya menjungkalkan akal warasku.

“Menjijikkan sekali bagiku mau mengambil kembali wanita murahan yang terlena pada lelaki lain karena hartanya. Cuih! Pantang bagiku memungut sampah yang jatuh di comberan!” teriakku tak kalah lantang.

“Aku bukan sampah, Mas!” sahut Kinanti, dengan suara terisak.

“Apa namanya kalau bukan sampah jika wanita rela meninggalkan suami dan anaknya karena tergila-gila pada harta lelaki lain?”

“Kau lupa pada segunung utangmu? Kau rela menjual nyawa anakmu?” sahut Kinanti.

“Begitu besarkah jasamu sampai kau lupa pada anakmu? Pada suamimu? Demi Tuhan, aku rela mati mempertahankan harga diri daripada menjual kehormatan!”

“Sudah! Tak perlu kalian ukir kembali masa lalu. Sekarang jawab pertanyaanku dengan jujur, Kromo. Untuk apa kau kemari jika bukan untuk Kinanti? Mau cari utangan untuk hidupmu dan anakmu?” pertanyaan Darsa menohokku. Menyakitkan sekali pertanyaan itu.

Aku tertunduk seketika. Tenggorokanku tercekat. Teringat aku pada Rukayya anakku yang tengah terbaring di rumah sakit beberapa minggu ini. Perjalanan tak tentu arah yang kulakukan beberapa hari ini untuk mencari pinjaman untuk pengobatan Rukayya ternyata hanya membuang tenaga saja. Hampir habis sisa-sisa uang yang kukumpulkan dari uang jasa parkir di pasar yang kini pengunjungnya kian surut saja. Dan sial itu bertambah ketika rasa lapar menuntun langkahku ke pesta ini. Sial, benar-benar sial.

“Dasar lelaki perebut istri orang, aku tak akan pernah meminta belas kasihanmu!” teriakku sambil berdiri. Masih jelas ingatanku pada peristiwa belasan tahun silam ketika istriku pergi ke pelukannya yang tak lain adalah juragan tempat dia bekerja. Ah, rumit benar jalan hidup yang kulalui ini.

“Kau jangan meninggalkan rumahku tanpa membayar makanan yang masuk ke dalam perutmu!” semakin keras teriakan Darsa.

Sambil berjalan kulempar amplop yang kusimpan dalam saku celanaku.

Sebentar kemudian kudengar deraian tawa melecehkanku. “Kau menipuku dengan amplop kosong ini demi mengusir lapar di perutmu? Kromo-Kromo. Mengenyangkan perut sendiri saja kau tak mampu, kau masih mencaci mantan istrimu yang kau telantarkan!”

Aku semakin melangkah cepat.

“Tunggu Mas!” Kinanti berlari mengejar seraya berteriak menghentikan langkahku. Terpaksa langkahku terhenti.

“Di mana Rukayya?” tanyanya pelan.

“Terbaring di rumah sakit.”

Kemudian langkahku tak terhenti walau tangannya terus menarik lengan dan berusaha menghentikan langkahku.

* * *

Mentaraman, 6 Juni 2021.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan