“Hijrah, Ah…”

2,150 kali dibaca

Hijrah adalah peristiwa sejarah. Sejarah dimulainya Islam menjadi agama dunia, sekaligus sejarah munculnya orang-orang munafik (munafiqun).

Kita tahu, dalam sejarah, Nabi Muhammad adalah orang terakhir yang melakukan hijrah. Mula-mula, ketika orang-orang Mekkah yang mengimani kerasulannya dan mempercayai ajarannya terancam keselamatannya, diserang oleh orang-orang kafir, Nabi meminta mereka untuk mencari perlindungan ke negeri asing. Generasi awal orang-orang beriman ini akhirnya hijrah, atau mengungsi, ke Habasyah (sekarang Ethiopia). Ketika itu, Habasyah dipimpin Najasyi, seorang raja penganut kristiani yang lebih menyukai perdamaian dan mengharamkan adanya tindak kekerasan.

Advertisements

Di negeri asing ini mereka diterima dengan baik. Diberi kebebasan menjalankan ajaran yang belum lama diimaninya. Karena itu, banyak kaum beriman Mekkah yang kemudian menyusul ke sana, menghindari tekanan dan ancaman kaum Quraish.

Kita tahu, orang-orang kafir Mekkah tak pernah tinggal diam untuk membendung ajaran yang dibawa Muhammad, yang mulai menggelinding bak bola salju. Tekanan dan ancaman kekerasan terhadap orang-orang beriman semakin terstruktur dan masif.

Di saat-saat seperti itulah Muhammad mempertimbangkan tawaran para peziarah dari Yatsrib. Mereka mengundang Muhammad untuk pindah ke Yatsrib, membawa serta para pengikutnya. Mereka menjanjikan orang-orang mukmin dari Mekkah dapat hidup damai dan mengembangkan ajarannya di Yatsrib, kota yang heterogin. Muhammad menerima tawaran itu, dan di bawah ancaman pembunuhan, melalui jalan berliku, ia menjadi orang terakhir yang menginjakkan kaki di tanah baru.

***

Sejarah mencatat, hijrah Nabi terjadi pada September 622 Masehi. Sebagai fakta historis, maka hijrah memang menyimpan kompleksitasnya sendiri. Mula-mula ada sebutan kelompok muhajirin, orang-orang yang berhijrah, orang-orang yang berpindah dari Mekkah ke Yatsrib; di saat yang sama muncul kaum anshor, orang-orang Yatsrib yang mengimani kenabian Muhammad, dan menerima muhajirin sebagai saudara di tengah-tengah kehidupan mereka. Mereka ini dari dua suku yang berbeda, Aus dan Khazraj. Dua suku yang saling bersaing berebut pengaruh ini juga hidup bersinggungan dengan orang-orang Yahudi.

Secara politik, ketiga kelompok ini memiliki kekuatan yang seimbang. Karena itu, sulit dari ketiga kelompok ini muncul seorang pemimpin yang otoritatif, yang bisa mendominasi, atau diikuti dan ditaati, oleh semua kelompok. Pada titik keberimbangan kekuatan politik inilah Muhammad memperoleh momentum. Ia muncul sebagai kekuatan penengah, dan kemudian menjadi pemimpin Yatsrib, kota yang segera berubah nama menjadi Madinah.

Berawal dari hijrah dan kemudian menjadi pemimpin Madinah inilah, Muhammad akhirnya melapangkan jalan untuk memperluas penyebaran ajarannya hingga melintasi batas-batas wilayah kekuasaannya. Islam pun terus bergerak menjadi agama global. Namun, di saat bersamaan, muncul Abdullah bin Ubay, sosok yang menjadi duri dalam daging, dan untuk itulah kali pertama ada ayat al-Quran yang mengenalkan istilah munafiqun, orang-orang munafik. Pada masa itu, mereka adalah orang-orang yang berpura-pura beriman, tapi sesungguhnya hanya untuk kepentingan diri atau kelompoknya sendiri.

Istilah itu masih sering kita dengar hingga hari ini, entah dialamatkan kepada siapa…

***

Sebagaimana fakta sejarah, hijrah kemudian diberi pemaknaan yang melintasi fakta historisnya. Khalifah Umar bin Kattab, atas usulan Ali bin Abi Thalib, menetapkan hijrah Nabi sebagai patokan kalender umat Islam. Awalnya ini hanya masalah administratif. Ketika itu, surat-surat kekhalifahan lazimnya hanya diberi tanggal dan bulan, tanpa catatan tahun. Secara administratif ini akan membingungkan bahkan mengacaukan jalannya pemerintahan. Sejak itu, Khalifah Umar menetapkan hijrah Nabi sebagai rujukan, dan disebut sebagai tahun pertama. Surat-surat resmi kemudian diberi catatan tahun yang mengacu pada hijrahnya Nabi ke Madinah. Dan belakangan kita mengenalnya sebagai “tahun hijriah”,  kalendernya umat Islam dunia.

Pemaknaan atas hijrah sebagai fakta historis itu kemudian terus berkembang jauh dan hari-hari ini menjadi istilah yang sangat popular di Indonesia. Hijrah, yang arti dasarnya adalah berpindah atau meninggalkan, kemudian diberi pemaknaan yang umum; berpindah dari ketidakbaikan menuju kebaikan atau meninggalkan kemaksiatan menggantinya dengan amal saleh.

Tidak ada yang salah dengan pemaknaan umum itu. Yang berbahaya adalah ketika dengannya kita merasa berhak untuk memonopoli kebenaran. Hijrah kemudian menjadi label, menjadi merek, sebagai alat untuk memonopoli kebenaran itu sendiri —yang benar adalah mereka yang mendaku telah berhijrah.

Selama ini, terhadap orang-orang jahat atau tidak baik yang kemudian sadar dan beralih menjadi orang baik, kita punya istilah taubat. Bahkan ada istilah taubatan nasuha, sebaik-baiknya taubat.  Terhadap orang-orang yang baru berpindah agama untuk memeluk Islam, ada istilah muallaf. Kenapa istilah-istilah itu seakan tenggelam, dan berganti nama menjadi hijrah? Tapi kenapa orang-orang yang sebelumnya tak mondok kemudian menjadi santri tak disebut hijrah? Kenapa orang yang baru terdaftar menjadi anggoa Nahdlatul Ulama atau Muhammdiyah juga tak dapat sebutan hijrah?

Inilah kemudian kompleksitas hijrah paling modern: bukan lagi fakta historis, melainkan sebuah label atau merek dagang untuk memonopoli kebenaran oleh kelompok tertentu dengan segala simbolisasinya. Misalnya, hijrah adalah berganti gaya busana dari celana biasa (atau sarung, mungkin) menjadi celana cingkrang; dari muka klimis menjadi berjenggot; dari kerudung menjadi cadar.

Maka, belum lama ini ada seorang selebriti merekam dirinya sedang membuang minuman beralkohol ke wastafel, dengan tampang mulai berjenggot ia berseru: Aku telah berhijrah! Sepertinya, berhijrah ternyata semudah berpindah posisi duduk di pojok sebuah kafe sambil bergumam: hijrah, ah… dan kita tiba-tiba menjadi bagian dari kelompok yang mendaku memperoleh jaminan surga.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan