Hermeneutika, Metode Alternatif Memahami Teks Qur’an (2)

768 kali dibaca

Tidak kalah juga, Schleiermacher membagi dua tugas hermeneutik, yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis. Bahasa gramatikal merupakan syarat berpikir setiap orang, sedangkan aspek psikologis interpretasi memungkinkan seseorang menangkap setitik cahaya pribadi penulis.

Maka untuk memahami pernyataan pembicara, orang harus mampu memahami bahasanya sebaik memahami kejiwaannya. Akan tetapi, pada kenyataannya untuk memahami bahasa dan psikologis seseorang tidak mudah. Kemudian, Schleiermacher menawarkan sebuah rumusan positif dalam bidang seni interpretasi, yaitu rekonstruksi objektif-historis dan subjektif-historis terhadap sebuah pernyataan.

Advertisements

Rekonstruksi objektif-historis bermaksud membahas sebuah pernyataan dalam hubungan dengan bahasa sebagai keseluruhan. Sedangkan, rekonstruksi subjek-historis dimaksudkan untuk membahas awal mulanya sebuah pernyataan masuk dalam pikiran seseorang. Dari sini dapat diketahui bahwa tugas hermeneutik adalah memahami teks sebaik atau lebih baik dari pada pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik dari pada memahami diri sendiri.

Menurut Recoeur, tugas sesungguhnya hermeneutik dapat digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu mencari dinamika internal yang mengatur struktur kerja di dalam sebuah teks dan mencari daya yang memiliki kerja teks untuk memperoyeksikan diri ke luar dan memungkinkan teks itu muncul kepermukaan.

Sebuah teks tidak bisa lepas dari tiga unsur, yaitu intensi atau maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks, dan untuk siapa teks itu dimaksudkan. Dari ketiga unsur tersebut memaksa hermeneutik untuk melakukan dekontektualisasi teks dan rekontekstualisasi teks. Dekontekstualisasi teks maksudnya adalah materi teks melepaskan diri dari cakrawala intensi yang terbatas dari pengarangnya, sedangkan rekontekstualisasi teks adalah bagaimana teks itu membuka diri terhadap kemungkinan dibaca secara luas, di mana pembacanya selalu berbeda-beda.

Dalam perkembangannya, kelompok feminis Islam mulai menggunakan hermeneutik sebagai alat interpretasi Al-Quran untuk mencari makna yang lebih integral dan holistik. Bagi kaum feminis, apa yang dihasilkan oleh ulama ortodok dalam menafsirkan Al-Quran mengandung bias gender, sehingga dibutuhkan sebuah metode yang mampu menggali lebih jauh makna yang tersembunyi dalam teks.

Asma Barlas juga menyebutkan tiga metode untuk memahami teks Al-Quran yaitu, reading behind the text, reading the text, dan reading in front of the text. Bagi Barlas, metode hermenutik penting untuk diterapkan dalam rangka memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang maksud dan tujuan teks Al-Quran tanpa didasari dengan prejudis bias gender. Tak hanya itu, menurut Barlas, Al-Quran memiliki dua suara yakni, laki-laki dan perempuan. Tuhan sendiri lintas gender dan tidak memiliki gender. Begitu juga dengan suara-suara yang terdapat dalam kitab suci Al-Quran.

Pertama, reading behind the text. It mean to reconstruct the historical ‘context from which the text emerged, bagaimana teks dilihat dalam kaitannya dengan sejarah tempat dan waktu teks itu muncul. Dari teks masa lampau ini, teks bukan milik si penyusun lagi, melainkan setiap orang. Mereka bebas untuk menginterpretasikan. Dalam hal ini, penafsir harus mempertimbangkan faktor di luar teks yang menyebabkan teks itu lahir. Ada beberapa pendekatan yang bisa digunakan, yaitu sosiologi, antropologi, dan sumber-sumber sejarah.

Kedua, reading the text adalah bagaimana teks itu diinterpretasi dan bukan pada hal yang di luar teks. Interpreter atau penafsir penuh dengan prejudice yang akan menghasilkan dialog dengan masa sebelumnya sehingga akan muncul penafsiran yang sesuai dengan konteks interpreter.

Ketiga, reading in front of the text. It means to recontextualize it in the light of present needs, something that requires a double movement, from the present to the past and back to the present, bagaimana teks bisa menciptakan pandangan-pandangan yang ideal. Ada nuansa-nuansa baru yang sifatnya produktif atau dalam bahasa teks ada keterkaitan antara the world of the text dengan the world of the author, dan dengan the world of audience.

Pendekatan yang ditawarkan oleh Asma Barlas berbeda dengan pendekatan Gadamer dalam memahami teks. Gadamer melihat teks dalam bingkai waktu, yaitu masa lampau (past), masa sekarang (present), dan masa yang akan datang (future). Dari ketiga pendekatan yang ditawarkan oleh Gadamer, Asma Barlas mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda, oleh karena itu, ketiganya harus digunakan untuk saling melengkapi satu sama lain dan hasil interpretasi teks akan berbeda ketika hanya menggunakan salah satu dari ketiga pendekatan tersebut.

Selain tiga pendekatan tersebut, Margot Badran juga menawarkan cara lain yang lebih praktis untuk menghindari bias gender dalam penafsiran teks. Yaitu, pertama, merevisi ayat Al-Quran untuk meluruskan cerita-cerita yang palsu dalam sirkulasi umum seperti termasuk penjelasan tentang penciptaan dan peristiwa-perstiwa di surga tentang cerita Adam yang menunjukkan klaim atas superioritas laki-laki. Kedua, mengutip ayat-ayat al-Quran yang menerangkan secara jelas kesetaraan laki-laki dan perempuan. Ketiga, mendekonstruksi ayat-ayat yang menerangkan perbedaan laki-laki dan perempuan yang secara umum ditafsirkan dengan cara-cara yang cenderung menjastifikasi dominasi laki-laki.

Menarik, ternyata Fatima Mernissi mempunyai konsep yang sama dengan para tokoh hermeneutik lainnya dalam menafsirkan teks kitab suci, khususnya Al-Quran. Fatima menekakan pentingnya dekonstruksi sejarah dan penafsiran ulang atas ayat-ayat Al-Quran. Dekonstruksi sejarah dianggap sangat penting untuk melihat seluruh perdebatan dan pergulatan yang berlangsung di seputar masalah perempuan dan gender.

Di awal sejarahnya, perempuan Muslim sangat aktif dalam berbagai kegiatan publik, tetapi fase-fase selanjutnya mengalami penurunan. Bagi Mernissi, hal ini banyak disebabkan oleh intervensi dan over-control dari penguasa Muslim, maka lanjut Mernissi mereka harus bertanggung jawab atas rendahnya pandangan masyarakat terhadap perempuan.

Tak hanya Mernissi, Amina Wadud juga menawarkan rekonstruksi metodologi tafsir, yakni metode hermeneutik Al-Quran yang selalu berhubungan dengan tiga aspek, yaitu, pertama, dalam konteks apa teks itu ditulis, atau dalam kaitannya dengan Al-Quran adalah dalam konteks apa ayat tersebut diturunkan. Kedua, bagaimana komposisi tata bahasa teks atau ayat tersebut, bagaimana pengungkapannya dan apa yang dikatakannya, dan ketiga, bagaimana keseluruhan teks sebagai weltanschaung (pandangan dunia).

Maka, dengan metode ini diharapkan bisa menangkap spirit dan ide-ide Al-Quran baik yang tersirat maupun tersurat secara holistik dan integral, sehingga tidak akan terjebak pada pemahaman yang bersifat parsial dan bias gender.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan