Gus Yahya, Aktor dan Sejarahnya

834 kali dibaca

Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) yang berlangsung di Provinsi Lampung, 24 Desember 2021, mengantarkan Gus Yahya terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU). Terpilihnya Gus Yahya, panggilan KH Yahya Cholil Staquf, sudah banyak diprediksi sebelumnya. Sebab, Gus Yahya dianggap mumpuni, punya pengalaman organisasi yang luas, dan akan mampu menghadirkan suasana baru. Selain dikenal pernah menjabat sebagai juru bicara kepresidenan di era KH Abdurrahman Wahid, Gus Yahya telah lama berkiprah dan berkontribusi di lingkungan NU, baik secara struktural maupun kultural.

Rekam jejak Gus Yahya yang komplit inilah yang mendorong Septa Dinata menulis biografinya. Terutama, saat Gus Yahya terlibat kontroversi kunjungannya ke Israel dalam rangka menjadi pembicara pada sebuah agenda American Jewish Commite (AJC). Dari situ penulis mulai tertarik mengenal lebih dalam sosok Gus Yahya.

Advertisements

Kehadiran buku ini tidak hanya sekadar hasil manifestasi rasa penasaran sang penulis, lebih dari itu secara eksplisit merupakan penanda momentum mengenalkan Gus Yahya pada publik bersamaan dengan terpilihnya Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU.

Dilahirkan di Rembang, 16 Februari 1966, KH Yahya Cholil Staquf merupakan putra pertama dari seorang ulama besar nan masyhur dalam kalangan nahdliyin, KH Muhammad Cholil Bisri. Gus Yahya dibentuk melalui lingkungan keluarga nahdliyin yang begitu kental.

Ayahnya berperan signifikan dalam membidani kelahiran Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di awal reformasi bersama tokoh NU lainnya. Sedangkan kakeknya, KH Bisri Mustofa dan pamannya, KH Mustofa Bisri atau yang lebih dikenal Gus Mus, merupakan dua sosok multitalenta dari kalangan nahdliyin yang turut serta membentuk kepribadian Gus Yahya.

Diketahui, kakeknya merupakan seorang penulis produktif. Ia menulis di bidang ilmu tauhid, fikih, Sejarah Kebudayaan Islam, linguistik Arab, hadis, hingga akhlak. Riwayat pendidikan keagamaannya dihabiskan di sejumlah pesantren di Jawa. Kiai Bisri juga terlibat dalam pelbagai narasi perjuangan kemerdekaan dan politik nasional. Di tengah kesibukannya itu, Gus Yahya diperlakukan secara berbeda dibandingkan dengan cucu-cucunya yang lain. Ia mendapatkan atensi istimewa, mengingat Gus Yahya merupakan cucu pertamanya.

Gus Yahya merupakan sosok yang lebih berkarib dengan pamannya, Gus Mus, dibandingkan dengan ayahnya sendiri. Gus Mus-lah yang berandil penting di balik pembentukan kepribadian dan karier Gus Yahya. Kelak, berkat kedekatannya dengan sosok sang paman ini, Gus Yahya dapat berkenalan dengan sosok Gus Dur, sebuah awal karier yang baik bagi Gus Yahya.

Geneaologi keilmuan Gus Yahya tidak terlepas dari keluarganya yang memiliki tradisi Nyantri di Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. Keluarga Gus Yahya memiliki hubungan erat dengan pesantren itu. Mulai dari ayahnya hingga tiga orang pamannya yang lain pernah nyantri di sana. Tradisi itu berlanjut hingga Gus Yahya. Saat itu Gus Yahya dikirim oleh orang tuanya ke Pesantren Al-Munawwir saat beranjak naik kelas 2 SMP. Di bawah bimbingan Kiai Ali Maksum, sang pengasuh pesantren, Gus Yahya tak sungkan ikut pengajian para santri senior yang kebanyakan berstatus sebagai mahasiswa.

Bagi Kiai Ali, Gus Yahya memiliki kemampuan di atas rata-rata dalam memahami kitab yang diajarkannya. Seringkali Kiai Ali menyuguhkan pelbagai macam kitab kepadanya. Bahkan ia kerap dipanggil ke ruangan khusus Kiai Ali dan diminta untuk menanyakan langsung hal-hal yang belum dimengerti. Di samping ketekunannya mempelajari kitab-kitab itu, Gus Yahya juga seorang pembaca ulung. Di samping ilmu keagamaan, ia juga mempelajari ilmu pengetahuan umum. Kekagumannya pada sosok Soekarno, berawal dari bacaannya terhadap Di Bawah Bendera Revolusi. (Hal-25)

Berkat sikap inklusifnya terhadap pelbagai ilmu pengetahuan itu, dirinya memilih kuliah di jurusan sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajahmada Yogyakarta. Kelak pilihannya ini membuat Gus Yahya semakin peka terhadap realitas sosiologis sekitar. Mula-mula ia merisaukan keberlanjutan pesantren di tengah zaman yang kian dinamis. Pertanyaan-pertanyaan risau ihwal keberlanjutan pesantren terus menggelayut di kepalanya. Pilihannya tersebut tentu tak lazim bagi seorang anak pertama ulama besar NU kala itu.

Apalagi ditambah keikutsertaanya di Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) dan menjadi orang penting di sana dengan menjabat Ketua HMI Komisariat FISIPOl UGM. Suatu jalan tempuh yang semakin tak linear bagi warga NU untuk berorganisasi. Kiai Cholil sangat risau mendengar hal ini. Dirinya takut Gus Yahya tidak menyukai NU lagi. Tak ada alasan pasti mengapa Gus Yahya lebih memilih HMI dari pada PMII yang notabene merupakan pilihan ideal bagi warga NU untuk berorganisasi.

Sumbangsih Pemikiran 

Seperti pengakuan penulis, buku ini terilhami oleh C Wright Mills ihwal relasi timbal balik antara sejarah dan biografi. Keduanya sangat berperan penting dalam membidani kelahiran suatu memoar. Sejarah dibentuk oleh aktor-aktor, sebaliknya sejarah sebagai struktur sosial yang lebih besar juga membentuk aktor. Gus Yahya dibentuk oleh suatu peristiwa sejarah dan dari proses pergumulan intelektualnya itu, dan di kemudian hari, ia mencipta sejarah.

Di balik proses “mencipta”, ada derap langkah dan gagasan yang begitu sublim. Di sana terjadi semacam penempaan diri sang aktor. Melewati pelbagai peristiwa hidup yang tak mudah demi menata kebersejarahan dalam hidupnya kelak. Aktor Gus Yahya merupakan seorang yang dinamis dan terbuka.

Jauh sebelum terpilih menjadi Ketua Umum PBNU, dirinya berkesempatan pergi ke berbagai negara untuk terlibat dalam agenda pembicaraan mengenai permasalahan umat beragama dan kebangsaan dengan beberapa tokoh-tokoh dunia, tepatnya semasih menjadi juru bicara kepresidenan Gus Dur.

Keterlibatannya dengan isu-isu keberagamaan dan kebangsaan itu memberikan sumbangsih gagasan yang teramat berarti bagi komunitas Muslim Indonesia, khusunya NU. Dari kunjungannya, ia berkesimpulan bahwa NU harus mulai bergerak meneruskan dan memperkuat pengaruhnya di dunia internasional. Harus ada figur yang mengakar dari kalangan NU yang mampu memainkan peran NU di kancah internasional dalam rangkan merespon perubahan global.

Untuk itulah NU harus memperkuat kembali ukhuwah basyariyah-nya. Solidaritas kemanusiaan yang menyampingkan perbedaan-perbedaan primordial itu ampuh meredakan tendensi fanatisme dalam segala maujudnya. Semangat ukhuwah basyariyah ini menjadi modal penting bagi NU terlibat dalam berbagai upaya untuk membangun perdamaian dan kehiduapan dunia yang lebih baik.

Karena itulah NU harus selalu dinamis dan terbuka merespons segala perubahan yang terjadi. Sikap inklusif yang mengedepankan integritas dan solidaritas organik penting diinternalisasi ke dalam tubuh organisasi agar supaya lepas dari belenggu kejumudannya. Setidaknya ada dua hal yang menjadi catatan penting bagi peran NU ke depan.

Dua hal itu ialah melihat secara adil implikasi realitas sosial politik dunia yang timpang terhadap dunia Islam dan relevansi doktrin-doktrin lama atau kerangka rumusan hukum lama yang masih digunakan untuk kerangka berpikir dalam menyikapi berbagai permasalahan tersebut (Hal-107). Baginya, untuk mengetahui solusi terbaik terhadap permasalahan tersebut, NU harus mengakui secara berani bahwa ini permasalahan yang sedang kita hadapi.

Dalam banyak hal, sumbangsih pemikiran Gus Yahya terhadap NU dibentuk oleh keterlibatannya pada isu-isu internasional. Dari keterlibatannya pada sejumlah agenda internasional itu, Gus Yahya kemudian merefleksikannya pada tubuh NU sebagai wujud dedikasi seorang kader NU sejati. Dibesarkan dari keluarga NU, Gus Yahya memiliki afeksi teramat dalam pada NU untuk ikut aktif berkontribusi baik secara pemikiran maupun tenaga.

Pada akhirnya, historiografi Gus Yahya ini menjadi bagian dari proses pengabadian yang paling berharga. Dari NU untuk NU, derap langkah perjuangan dan pemikirannya telah menjadi kebersejarahan yang begitu inspiratif. Kita tidak perlu buru-buru membacanya, kita juga perlu merenungkannya. Karena di tiap babakan bab yang tersaji, termuat pendaran hikmah berupa gagasan reflektif seorang aktor NU yang dibentuk sejarah dan mencipta sejarah dalam dinamika NU itu.

Data Buku

Judul : Biografi KH. Yahya Cholil Staquf ; Derap Langkah dan Gagasan
Penulis : Septa Dinata
Penerbit : LkiS
Cetak : Pertama, 2022
Tebal : 138 Halaman
ISBN : 978-623-7177-85-2

Multi-Page

Tinggalkan Balasan