“Gus”, Novel Pesantren Dian Nafi

5,891 kali dibaca

Judul : Gus

Penulis : Dian Nafi

Advertisements

Penerbit : Kakilangit Kencana

Terbit : Desember 2014

Tebal : 198 halaman

Beberapa bulan terakhir, novel pesantren sedang ramai sekali dibicarakan. Mulai dari novel Hati Suhita karya Khilma Anis yang terjual sampai puluhan ribu eksemplar tanpa lewat penerbit mayor maupun toko buku besar, lalu novel Dua Barista karya Najhaty Sharma yang juga laris manis, disusul dengan novel Hilda karya Muyassaroh Hafidzoh dan DUR karya Nisaul Kamilah.

Menarik melihat bagaimana penulis-penulis baru terus bermunculan dengan karya-karya mereka masing-masing. Tentu saja Khilma Anis tidak bisa dimasukkan dalam kategori penulis baru karena karier kepenulisannya sudah dimulai bertahun lalu sejak ia pertama menulis Jadilah Purnamaku Ning dan diterbitkan Matapena pada 2008.

Tetapi, bercerita soal novel pesantren, kita tidak bisa melupakan Dian Nafi. Dia adalah seorang penulis berlatar belakang pesantren yang sangat produktif. Ia sudah menulis puluhan buku tunggal yang diterbitkan oleh Grasindo, Jendela, Zikrul Hakim, Quanta, Elexmedia, Bentang, Gramedia Pustaka Utama, Leutika, Hasfa, Imania, Mizan, Familia, Qudsi, Bypass, Javalitera, Plotpoint, Diandra, Bunyan, Bypass, Kakilangit Kencana, dan lain sebagainya.

Beberapa tulisan lainnya juga tergabung di berbagai antologi yang jumlahnya tak terhitung lagi saking banyaknya. Selain itu, Dian Nafi juga aktif di berbagai komunitas dan sering menjadi mentor dalam penulisan-penulisan termasuk penulisan sastra. Salah satu novel Dian Nafi yang berkisah tentang kehidupan pesantren adalah Gus. Novel setebal 198 halaman ini pertama terbit pada 2014 dan diterbitkan oleh Kakilangit Kencana. Meskipun tidak sepopuler novel-novel pesantren yang belakangan terbit, Gus ini sangat sayang dilewatkan.

Novel Gus ini bercerita tentang Mafazi, seorang Gus yang diharapkan untuk menjadi penerus orang tuanya dalam mengasuh pesantren, namun sama sekali tidak memiliki ambisi untuk menjadi kiai apalagi mengasuh pesantren. Ia berusaha “lari dari tanggung jawabnya”, jarang pulang ke rumah, dan menggunakan kuliahnya sebagai alasan. Sampai kemudian, terjadilah tragedi kebakaran di lingkungan pesantren di rumahnya yang mengubah banyak hal dan menjadi awal dari rentetan konflik tak berkesudahan.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan