Gus Dhofir Zuhry, Kiai Muda yang Produktif

9,914 kali dibaca

Barangkali banyak yang tidak asing dengan kiai muda, Achmad Dhofir Zuhry, masyhur dengan sapaan Gus Dhofir Zuhry. Kiai yang juga filsuf dan ilmuwan ini terbilang vokal dalam merespons isu-isu kebangsaan dan keagamaan. Tentu, sudut pandangnya berlandaskan paham ahlussunah wal jamaah, mengingat Gus Dhofir adalah nahdliyin tulen.

Gus Dhofir sering memberikan bantahan-bantahan ilmiah terhadap fitnah maupun tuduhan-tuduhan sesat yang seringkali dilemparkan kepada nahdliyin dan amalan-amalanya. Salah satunya dapat kita lihat dari unggahan-unggahannya di Instagram, Facebook, Twitter (@achdhofirzuhry), dan kanal Youtube (@Ach Dhofir Zuhry Official & @NU Online).

Advertisements

Selain aktif di media sosial, Gus Dhofir juga termasuk kiai muda yang produktif, baik melalui publikasi di platform-pltform ringan hingga menerbitkan buku-buku ilmiah. Otoritasnya pada ilmu ushuluddin (hadis, bahasa Arab, tafsir, fikih) tidak bisa dikesampingkan, mengingat Gus Dhofir mengawali belajarnya di pondok-pondok pesantren salaf ternama.

Tak terkecuali, keahlianya pada bidang filsafat, Gus Dhofir mendapatkan khazanah ini tatkala mengenyam pendidikan di universitas dengan model pendidikan-pendidikan modern, sebuah bentuk sistem belajar yang cukup berbalik dengan pondok salaf. Alhasil, Gus Dhofir memiliki kelengkapan-kelengkapan khazanah keilmuan dari kedua poros tersebut.

Tak hanya memberikan statemen-statemen yang mencerahkan, Gus Dhofir juga menjadi kiai muda yang kritis. Seringkali, kritiknya ini dibangun dengan paradigma kombinasi filsafat dan ushuluddin, sehingga jika tidak berlebihan, apa yang dikeluarkan oleh Gus Dhofir menjadi wawasan baru yang unik, sudut pandang yang renyah.

Gus Dhofir memiliki semangat, bahwa filsafat itu sejatinya aman-aman saja, bahkan bisa menjadi salah satu alat dalam memahami ajaran-ajaran agama. Filsafat yang dijauhi oleh kebanyakan pondok salaf, oleh Gus Dhofir diajak dalam visi dakwah untuk kemaslahatan umat.

Pengembara Ilmu

Gus Dhofir lahir dari kedua orang tua yang bersahaja, di Gondanglegi, Pagelaran, Malang, Jawa Timur, pada 27 April 1984. Sejak kecil, Gus Dhofir sudah dekat dengan pendidikan-pendidikan pondok pesantren salaf, yang mana hal ini dapat ditilik dalam perjalanannya dalam menuntut ilmu agama. Mulanya, Gus Dhofir memulai mondok di Pondok Pesantren Assaidah Babussalam, sebuah pondok salaf di Kota Malang.

Selepas dari Pondok Pesantren Babussalam, Gus Dhofir melanjutkan mondok ke Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Menyudahi mondok di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Gus Dhofir melanjutkan mondok di pondok yang masyhur di Jawa Tengah, yakni Pondok Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati.

Dari Kajen ini Gus Dhofir banyak belajar dan mendalami ilmu ushuluddin. Mengingat cakrawala Pondok Pesantren Maslakul Huda, atau Pondok Kajen, lekat dengan kajian salafnya, bahkan salah satu masyayikh atau tokohnya adalah KH Sahal Mahfudz, yang semuanya mafhum dengan keahliannya pada bidang fikih dan ushul fikih.

Setelah menyelesaikan pengembaraan mondoknya, Gus Dhofir mulai menginjakkan kaki belajar di universitas, baik dalam negeri maupun luar negeri, mengikuti pembelajaran modern. Di antaranya, Gus Dhofir kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara Jakarta, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, dan Universitas Islam Asy-Syafi’iyah Jakarta.

Dari kuliahnya di dalam negeri ini, Gus Dhofir sudah mulai menekuni dunia filsafat dan sains, yang mana hal ini akan turut serta menjadi konsentrasinya dalam kajian dakwah. Setelah pindah-pindah kuliah di dalam negeri, Gus Dhofir melanjutkan kuliah di Malaysia, tepatnya di Universiti Malaya, salah satu universitas terbaik di Malaysia, kira-kira seperti Universitas Indonesia kalau di kancah nasional. Selepas dari Universitas Malaya, Gus Dhofir mengkhatami kuliahnya (2005) di University Queensland, Australia. Dari rangkaianya kuliah di luar negeri ini, menambah kemafhuman, atensi, maupun konsentrasi kajiannya pada filsafat dan sains.

Dari pengembaraan belajarnya, dapat dipahami kalau Gus Dhofir adalah pribadi yang bebas, selalu ingin tahu, dan selalu ingin menambah wawasan. Beberapa pengalaman atau kiprahnya di kancah internasional adalah, mengadakan program kerja bersama pelajar muslim se-Asia ke Luzon dan Mindanao, Filipina, menghandiri interfaith dialoge di Brunai Darussalam, mengikuti program penanggulangan korban penyalahgunaan narkoba di Srilanka, mengikuti Training Workhsop on Enhanching Life Skills For Pesantren-Based Drug Prevention yang diadakan oleh Bureau for International Narcotics and Law Eforcement Affairs (INL) US Departement of State, Amerika Serikat, mengikuti Mu’tamar ad-Dauli Lil Ulama’ wa -Mutsaqqafin al-Muslimin (Pertemuan Sufi dan Ilmuan Muslim se-Dunia), pernah juga diundang sebagai tamu kehormatan pada Frankfrurt Book Fair, tahun 2015 di Jerman.

Pada 2010, Gus Dhofir mendirikan Pondok Pesantren Luhur Baitul Hikmah dan Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Al-Farabi, Kepanjen, Malang. Di saat yang sama, Gus Dhofir juga merangkap sebagai pengasuh pondok pesantren dan ketua lembaga perguruan tinggi tersebut. Lembaga pembelajaran tersebut memiliki visi untuk mencetak lulusan yang religius dan intelektual. Dari sisi pesantrennya, secara khusus tidak ada perbedaan dengan pondok pesantren lainya, yakni berhaluan ahlussunah wal jamaah, yang menjaga tradisi kajian kitab salaf. Sedangkan dari sisi STF Al-Farabi, adalah satu-satunya (pionir) sekolah tinggi khusus filsafat pada waktu itu, khususnya di Malang. Nama sekolah tinggi tersebut terispirasi dari nama tokoh filsuf, sekaligus penemu alat musik keyboard: Abu Nasr Ibn Muhammad ibn Tarkhan Ibn Auzalagh Al-Farabi.

Kedua lembaga pembelajaaran tersebut memiliki tonjolan pada kosentrasi kajianya, yakni filsafat, ilmu kalam, dan tasawuf, mengikuti muassis dari Pondok Pesantren Baitul Hikmah dan STF Al-Farabi yang memiliki keashlian pada ranah tersebut. Ketika pesantren secara umum menolak atau menjauhi filsafat dan ilmu kalam dengan alasan potensi merusak akidah, maka lembaga tersebut berusaha “meluruskan” dan “mengajak” kedua term tersebut untuk ambil bagian dalam kajian keislaman.

Kalau dalam bahasa Gus Dhofir: semua rumpun ilmu itu ada karena filsafat. Dengan kata lain, menolak filsafat berarti menolak akal sehat. Alhasil, cakrawala diskusi, selain ngaji, di pesantren sangat hangat dan meriuhkan, mulai dari tema-tema sosial, budaya, hingga politik.

Dari sisi organisasi, Gus Dhofir masuk dalam pengurus Dewan Kesenian Kabupaten Malang, Pengurus Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Malang, anggota Lembaga Sensor Film Indonesia Malang, anggota Masyarakat Filsuf se-Dunia di Rheinische Freidrich-Wilhems-Universitat Bonn, Jerman, anggota ilmuan muda se-Dunia di Johann Wolfgang Goethe-Universitat Frankfurt am Main, Jerman. Sering juga menjadi pembicara dalam seminar baik di lembaga negeri maupun swasta.

Kiai yang Produktif

Dalam hemat penulis yang pendek, dari sudut pengabdian masyarakat, Gus Dhofir setidaknya memiliki dua sudut pandang, yakni sebagai ulama (kiai) dan sebagai pimpinan lembaga perguruan tinggi. Dua sudut pandang ini sebenarnya tidak berbeda jauh visinya (menyampaikan ilmu, mengajar, maupun merawat masyarakat). Jikapun berasumsi, biasanya kiai lebih cenderung informal, apalagi kiai muda, sedangkan kepala lembaga, apalagi pimpinan perguruan tinggi lebih cenderung formal. Akan tetapi, Gus Dhofir hadir dengan sikap yang kasual, santai, namun tetap berbobot, alhasil baik akademisi, santri, maupun masyarakat umum tetap merasa dekat tanpa ada sekat yang mengahalangi.

Pembawaan tersebut dilatarbelakangi oleh khazanah santri yang kental dan cakrwala filsafat yang ada pada diri Gus Dhofir. Khazanah santri dan cakrawala filsafat tersebut juga mempengaruhi konsentrasi pemikiran dan produktivitasnya. Hal ini tentunya dapat dilacak dalam produktivitasnya di media sosial dengan unggahan-unggahan dan narasinya, sekaligus dalam berbagai publikasi (penerbitan) buku yang ditulisnya.

Salah satu buku yang ditulis dan diperbincangkan banyak kalangan adalah Peradaban Sarung; Veni; Vidi; Santri (2018) yang menjadi salah satu buku best seller tahun 2019. Ada juga bukunya yang berjudul Nabi Muhammad Bukan Orang Arab? (2020), yang dijadikan objek kajian skripsi Rama Indra, mahasiswa Pendidikan Agama Islam, UIN Sunan Ampel, pada tahun lalu (2021). Hal ini secara tidak langsung menunjukkan, hasil-hasil produktivitasnya memiliki nilai unik dan bobot tersendiri.

Adapun, beberapa karyanya yang telah terbit (tidak termasuk artikel-artikel ringan di media massa), yakni: Gereja Di Padang Mahsyar (2003), Tersesat di Jalan Yang Benar (2007), Terjemah Shalawat Haji: Tahni’ah Li Quduni Hujjaj Bayt al-Haram (2005), Tafsir az-Zuhry Vok. I (2005), A’malul Yaumiyah (2010), Para Nabi dalam Botol Anggur (2011), Barisan Hujan (2013), Membangun Negara Hukum yang Bermartabat (2014), Presiden (2012), Mencangkul di Yunani (2012), Filsafat Islam (2013), Terjemah Risalah Ladunniyah Al-Ghazali (2015), Matahari Tumbuh Dari Senyummu (2013), Memanusiakan Manusia (2009), Filsafat Timur: Sebuah Pergulatan Menuju Manusia Paripurna (2011), Filsafat Untuk Pemalas (2016), dan Kondom Gergaji (2018).

Sedangkan, di media sosial, selain di akun media sosial Gus Dhofir yang sudah disebutkan (Insntagram, Fb, Youtube), secara khusus, Gus Dhofir juga mengampu kajian tafsir tematik tiap Ahad sore di kanal Youtube NU Online. Tema-Tema yang dikaji pun menarik, kaitannya dengan kritisnya terhadap problema kebangsaan dan keagamaan yang sudah disinggung.

Terbaru, Gus Dhofir mengkaji tema “Puasa Tapi Tidur Seharian?” Di antara tema-tema yang pernah dikaji adalah polemik pria tendang sesajen di Gunung Semeru, kerjakan doamu, doakan kerjamu, apa fungsi manusia dan masih banyak lainya. Total ada 138 unggahan video kajian. Jika dicermati seksama, Gus Dhofir juga memiliki atensi pada kajian gender, ulumul quran, sosiologi-antropologi, dan linguisitik. Hal ini bisa ditegaskan oleh pondasi ilmu ushuluddin waktu mondok dan filsafat yang sudah mengakar pada diri Gus Dhofir. Wallahu A’lam.

Multi-Page

One Reply to “Gus Dhofir Zuhry, Kiai Muda yang Produktif”

Tinggalkan Balasan